Wednesday, November 26, 2014

MABRUR SEBELUM HAJI

“Kau harus mabrur sebelum kau berangkat ke sana..!”
“Kau harus mabrur sebelum kau berangkat ke sana..!”


Kalimat itu begitu menghentak. Tapi setelah lewat beberapa detik, Hati saya malah tergelitik nyaris terpesona dengan makna kalimat unik itu. Bagaimana mungkin kemabruran seseorang sudah harus dimulai sebelum ia sendiri berangkat ke tanah suci. Bukankah perjalanan ibadah ke sana untuk mendapatkan haji yang mabrur..? Ah, bagaimana mungkin?


Dalam buaian semilir angin sore, saya terus mengunyah-ngunyah makna kalimat itu. Benar-benar kalimat yang mengusik keingintahuan saya. Begitu menelisik , perlahan masuk ke sela-sela memori saya yang mulai payah diajak sprint dalam belajar dan menyerap informasi. Ah, saya harus jujur mengakui, lambat nian nalar saya bisa mencerna kalimat itu dan memahami maknanya. Pengolahan informasi tertatih-tatih dalam sel-sel memori saya yang serasa menyempit.

“Kenapa bisa begitu..?”
Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulut saya. Itu bagus, sebelum keburu eror jaringan saraf saya memikirkan makna kalimat itu. Saya tatap wajah teduh itu dengan binar mata ingin tahu. Ni orang asal jangan sembarang ngomong aja tapi ia sendiri ga paham maksud kata-katanya itu. Lintasan pikiran saya sempat berkelibat seperti itu. Tapi hati saya menepis pikiran liar itu. Orang dengan wajah teduh ceria seperti ia dengan kalimat lembut menawan tak layak dicurigai. Ia pasti punya jawaban asik untuk pernyataan yang menggelitik itu. Ia orang soleh yang cerdas. Racikan kata-katanya sedap dan krispi. Jeli memilih dan memilah kata, jadilah kalimat-kalimatnya menjadi ramuan yang sedap di telinga kaya gizi pula. Dan sama sekali terhindar dari mengumbar kata-kata kacangan yang kosong makna dan tanpa data.

“Hahaha..”

Ia malah tertawa kecil memamerkan deretan gigi jagungnya yang indah. Rona wajahnya enak nian ditatap, memancarkan aura kehangatan dan kedekatan. Seakan sudah dapat menduga saya akan berkata seperti itu. Sebentuk kepuasan tergurat di garis bibirnya yang proporsional. Saya merasa tersinggung sebenarnya, tapi saya tak punya alasan mengapa merasa seperti itu. Saya balas tawa kecilnya dengan kalimat lebih terbuka…
“Oke, sekarang jelaskan kenapa bisa begitu…?”

Saya harus tegaskan kalimat itu dengan tetap memasang senyum nomor tiga dan wajah ceria sebisa saya. Seakan saya diajarkan bagaimana memasang wajah cahaya setiap kali berhadapan dengan lawan bicara. Saya merasakan betul pantulan cahaya dari wajahnya setiap kali ia berbicara pada saya. Ah, kau pasti menganggap aku berlebihan kan..?! Tidak kawan, saya tidak berlebihan. Setidaknya seperti itulah yang saya rasakan. Mungkin kau-pun pernah merasakan, betapa asik berbicara dengan seseorang meski hanya berbicara topic-topik ringan dan sederhana. Atau malah sebaliknya, kita bisa merasakan asik berbicara meski membahas topic yang berat dan pelik. Saya piker itu termasuk keterampilan berbicara. Makanya saya memantas-mantaskan diri meniru bagaimana ia berbicara dengan pantulan cahaya hangatnya.

“Kau tahukan, bahwa Haji itu rukun Islam ke lima, artinya yang terakhir..!”
Ia membuka kalimat lanjutan secara datar saja.
“Iya..!”

Jawab saya spontan. Tanpa menunggu komando, nalar saya mulai bereaksi cepat. Kalimatnya membuat sepersekian jawaban di memori saya bekerja. Diolah dan menyatu dalam sebuah jawaban kecil. Tersimpan di salah satu sel otak saya yang akan siap dikeluarkan menunggu perintah berikutnya. Tapi saya terlambat, kalimat berikutnya menyusul keluar dari mulutnya memberi penjelasan tambahan.

“Itu artinya, orang-orang yang pergi ke Baitulloh untuk ibadah Haji adalah orang-orang yang seharusnya sudah beres rukun islam yang pertama sampai ke empat-nya. Syaadatnya sudahbenar. Sholatnya sudah benar. Begitu pula saum dan zakatnya. Maka, saat ia berangkat Haji, ia sudah menjadi seorang yang mabrur, seorang yang baik ibadah-ibadahnya. Sehingga menjadi Haji mabrur menjadi sebuah formalitas saja sebenarnya.”

Saya diam. Merenung. Tersenyum. Saya tatap wajahnya yang teduh namun hangat itu dengan rasa kagum. Betapa sederhana kalimat itu menjadi sebuah kaedah. Mengapa saya tak berpikir dan memahami seperti itu? Padahal sudah puluhan tahun terlewati seiring melajunya usia.

“Terima kasih banyak atas pencerahannya.”

Ujar saya cepat. Karena diapun hendak segera berlalu. Dengan berat dilepasnya pelukan eratnya nan hangat. Saya beruntung bertemu dia, banyak nian kalimat-kalimat hikmah yang saya dapat saat kami ngobrol kilat, memang hanya sepintas, seperti sekarang ini, saat saya bersiap-siap akan berangkat bersama kloter 17 JKS, dan bertemu beberapa menit saja sebelum saya naik bis ke bandara ke tanah suci.

“Jangan lupa banyak berdoa di sana..!”
Sambil berbalik badan ia berlalu dan hilang di kerumunan pengantar dalam keremangan subuh.

No comments:

Post a Comment