Dahulu, ada sekitar 200 orang Suku Mandar naik truk,
tapi bukan untuk piknik. Ratusan orang Suku Mandar tersebut sedang dalam perjalanan
menuju arena pertempuran. Balok kayu, batu, bahkan celurit pun sudah
dipersiapkan. Siaga 1, kalau dalam istilah kemiliteran.
Tapi, dari belakang, ada sebuah sepeda motor mengejar
kawanan manusia yang siap saling bunuh tersebut. Sepeda motor itu berhenti agak
jauh di depan truk, lalu dipalangkan di tengah jalan. “Stop!” teriak
seseorang lantang, setelah turun dari motor.
Tidak ada rasa takut di sorot matanya, meski di
depannya ada sekitar 200 ‘manusia buas’, dengan masing-masing memegang senjata.
Truk pun berhenti mendadak. “Kalian semua ditunggu Mara’dia di masjid!”
lanjut orang tersebut. Tapi, ajaibnya, sekitar 200 orang Mandar yang sudah
panas tersebut mau menurut, berbalik arah, dan menuju masjid.
Singkat cerita, perang suku batal, dan para pemuda
Mandar justru asyik shalawatan di masjid. Dari luapan amarah, berubah menjadi
luapan cinta. Shalawat adalah ekspresi cinta pada Kanjeng Nabi. Lalu, siapa
yang berhasil mengubah keadaan tersebut? Masyarakat sering memanggilnya dengan
nama Cak Nun. Cerita heroik di daerah Mandar tadi sebenarnya cuma serpihan
kecil dari seorang Muhammad Ai(nun) Nadjib. Sebab skala perjuangan beliau sudah
nasional.
Ketika ada politisi dikagumi karena suka jalan kaki
1,5 tahun dengan APBN, beliau sudah melakukannya 20 tahun dan tanpa sponsor
apapun. Mohon maaf, sumpah demi Allah, saya hanya bisa menemukan data “jalan
kaki” Cak Nun hingga per Agustus 2013 kemarin, yaitu 28 provinsi. Untuk info
sampai tahun 2014, saya tidak tahu. Tanpa APBN. Sejak Orde Baru. Sudah 20
tahun. Dan, tidak dianggap...
Ketika Pak SBY ditekan publik untuk menyelesaikan
kasus Lumpur Lapindo, dengan gagahnya Pak SBY berpidato bahwa Lumpur Lapindo
adalah bencana alam nasional. Dengan cekatan, seorang presiden memerintahkan
dibentuknya suatu dewan nasional penanggulangan bencana Lumpur Lapindo. Seorang
presiden juga meminta ada anggaran khusus dari APBN untuk warga Sidoarjo yang
menjadi korban bencana alam.
Meski bukan seorang presiden, entah kenapa Cak Nun
juga kena getahnya. Sekitar 11.800 keluarga korban Lumpur Lapindo meminta
tolong Cak Nun. Singkat cerita, Cak Nun menelpon Ibu Rosmiyah Bakrie. Sungguh
ajaib, hati Ibu Rosmiyah tersentuh dan tergerak untuk menyuruh anaknya,
pengusaha Abu Rizal Bakrie, mau menyantuni korban Lumpur Lapindo. Meski secara
hukum, pengusaha Abu Rizal Bakrie tidak bersalah, bahkan seorang presiden
menyatakan bahwa hal itu cuma bencana alam. Jujur saya sendiri tidak tahu apa
isi pembicaraannya.
Seperti halnya saya juga tidak tahu apa isi
pembicaraan Cak Nun dengan Pak Harto, sehingga terjadi pergantian kepresidenan
Indonesia pada Mei 1998. Padahal, menurut kabar intelijen, ada 18 bom sudah
siap diledakkan. 8 titik di pom bensin, 8 titik di jalan tol Jakarta pada
tanggal 19 Mei 1998. Tinggal menunggu kode.
Tapi, Pak Harto memilih diam, dan membiarkan para
mahasiswa masuk ke Jakarta. Di luar dugaan para mahasiswa sendiri, Pak Harto
mengucap pidato pengunduran diri sangat cepat, yaitu tanggal 21 Mei 1998.
Sangat kaget, karena Pak Harto terkenal keras kepala, dan suka menggebuk lawan
politiknya. Sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, saya selalu tertarik
dengan pidato terakhir Pak Harto yang aneh: “Ra dadi presiden, ra patheken.”
Saya dan Pak Harto memiliki kesamaan. Orang Jawa yang
kental dengan unsur Solo dan Jogja. Orang Jawa bagian tengah berbeda wataknya
dengan orang Jawa bagian timur. Kalimat Pak Harto soal ‘ra dadi’
presiden (itu) ‘ra patheken’ bukan gaya bahasa orang Jawa tengahan.
Kalimat itu pasti diajari orang Jawa timuran. Tentu bukan diajari Amien Rais
yang asli Jogja.
Teka-teki itu terjawab sudah. Orang Jawa Timur yang
diakui Pak Harto, dan yang berhasil membuat hati Pak Harto legowo untuk lengser
keprabon, adalah Cak Nun.
Mantan musuhnya sendiri. Diancam penjara, tidak takut. Diberi jabatan menteri saat 1980-an, tidak mau. Diberi perusahaan, tidak mau. Pernah dicekal tidak boleh berbicara di depan publik, tidak dendam.
Mantan musuhnya sendiri. Diancam penjara, tidak takut. Diberi jabatan menteri saat 1980-an, tidak mau. Diberi perusahaan, tidak mau. Pernah dicekal tidak boleh berbicara di depan publik, tidak dendam.
Cak Nun justru menemani Pak Harto di saat sepi. Cak
Nun justru mendatangi Pak Harto saat ditinggalkan banyak orang kepercayaannya.
Cak Nun justru memapah Pak Harto untuk turun dari kursi, ketika banyak orang
mengelilingi Gus Dur dan Ibu Megawati. Maka dari itu, banyak jendral TNI dan
para pengusaha sangat takdzim dengan Cak Nun, karena “gurunya” diobati dengan
tulus.
Para jendral TNI dan pengusaha loyalis Pak Harto
menyaksikan sendiri bahwa Cak Nun ikhlas menemani Pak Harto sampai akhir hayat.
Tidak pernah meminta sepeser uang pun, apalagi minta satu perusahaan. Cak Nun
tetap keliling ke ribuan desa dan menu makanannya tetap tahu-tempe.
Pak SBY sangat takut pada Cak Nun. Minta bertemu jam
10 malam, tapi Cak Nun menolak. Karena kasihan, akhirnya Cak Nun bersedia
menemui Pak SBY jam 11 malam. Pada suatu malam di Kadipiro (Yogyakarta) itu,
keduanya sepakat untuk tidak bersaing. Pak SBY memohon Cak Nun untuk tidak
mencalonkan diri jadi presiden, soalnya waktu itu capres jalur independen masih
boleh. Apalah arti seorang jendral didikan Pak Harto dibandingkan dengan
“imamnya” Pak Harto? Seorang Muhammad Ainun Nadjib hanya tersenyum.
Sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, saya pun
mengakui, terlepas dari perbedaan peta kekuataan politik, keahlian
berkomunikasi Cak Nun juga jauh di atas Pak SBY. Saya tidak begitu heran 200
pemuda Mandar, Ibu Rosmiyah Bakrie, bahkan Pak Harto bisa luluh hatinya kalau
Cak Nun ngomong. Saya sampai suka berpikir kalau Muhammad Ainun Nadjib itu
“Bung Karno versi santri”.
Bagaimana tidak? Saat Cak Nun keliling di banyak
negara lintas empat benua, tanpa gelar presiden sekalipun, hanya sebagai
pendamping grup musik Kiai Kanjeng, beliau tetap singa podium. Semua penonton
selalu terkagum-kagum dengan cara Cak Nun ngomong. Sekadar info, Cak Nun fasih berbahasa
Inggris dan bahasa Arab. Mulai dari alim ulama Mesir sampai paus di Vatikan
sangat hormat, apalagi cuma profesor-profesor dari negara maju Eropa Barat.
Bahkan, saat di Korea Selatan pun pada Agustus 2014
kemarin, Cak Nun sangat dicintai. Sebelum Cak Nun ngomong, beliau disambut
dengan Tari Tortor dari Batak, Tari Piring dari Minangkabau, dan Tari Reog dari
Ponorogo. Atraksi itu tanpa disuruh pihak KBRI di Korea Selatan.
Selesai Cak Nun ngomong, orang Korea Selatan yang
jatuh cinta. Orang Korea Selatan lantas membebaskan biaya parkir dan sewa
gedung untuk “acaranya” orang Indonesia siang itu. Bahkan, terkumpul dana (setara)
Rp. 390.000.000,00 untuk membantu rakyat Palestina yang kala itu diserbu
Israel. Seperti Presiden Soekarno dahulu, disegani bangsa maju, menolong bangsa
tertindas.
Bicara tentang kepresidenan, ada perbedaan radikal
antara Pilpres 2004 dengan Pilpres 2014. Sepuluh tahun lalu, pilpres boleh
diikuti capres independen. Pada tahun ini, pilpres tidak boleh diikuti capres
independen. Alasannya, agar tidak semua orang bisa mencalonkan diri, sehingga
kandidatnya cuma sedikit.
Pada bursa pemilihan Gubernur DKI tahun 2012 kemarin,
ada jendral bintang dua yang gagal maju. Karena beliau tidak punya partai,
beliau menempuh jalur independen. Tapi, untuk diperbolehkan mencalonkan diri,
setiap bakal cagub harus mengumpulkan fotokopi KTP dukungan minimal sebanyak
400.000 ke KPU Jakarta. Jendral bintang dua ini gagal maju, karena hanya
berhasil mengumpulkan fotokopi KTP dukungan sekitar 150.000 saja.
Seperti kita tahu, meski dibuka kesempatan cagub jalur
independen, Pilgub DKI Jakarta ternyata tidak ada masalah. Kandidat tetap
sedikit, dan tidak semua orang bisa mencalonkan diri. Seorang jendral bintang
dua bahkan bisa sampai tertolak. Seperti kita tahu, pasangan Jokowi-Ahok
kemudian keluar sebagai pemenang pilgub Jakarta 2012. Tapi kenapa Pilpres 2014
kemarin tidak boleh ada capres jalur independen?
Jadi, alasan setiap capres harus dari partai politik
adalah agar setiap orang tidak bisa mencalonkan diri, bukan alasan yang
“sejujurnya”. Terserah mau percaya atau tidak, alasan sebenarnya setiap capres
harus dari partai politik adalah demi kebaikan Indonesia. Terserah mau percaya
atau tidak, mayoritas tahanan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah para
tukang becak. Sehingga, demi kebaikan Indonesia, setiap capres harus didukung
minimal 20% anggota DPR. Demi Indonesia bersih, sejahtera dan maju. Ini tidak
ada hubungannya dengan seorang Muhammad Ainun Nadjib.
Seorang presiden yang baik pasti lahir dari rahim
koalisi anggota DPR. Memang betul, sebab mayoritas tahanan KPK adalah para
tukang becak. Sejarah nasional pun sudah membuktikan; Bung Karno adalah
presiden yang luar biasa buruk, karena beliau lahir dari rahim rakyat.
Sementara Pak SBY adalah presiden yang luar biasa baik, karena beliau lahir
dari rahim koalisi 60% anggota DPR.
Alhamdulillah... Pada Pilpres 2014 kemarin, bangsa
Indonesia telah dianugerahi luar biasa, diberi dua kandidat yang sangat hebat;
(1) Macan Asia dan (2) Satria Piningit. Siapapun yang jadi presiden, insya
Allah akan sehebat Pak SBY. Sebab memiliki kesamaan lahir dari rahim koalisi anggota
DPR. Kalau dipimpin Macan Asia, Indonesia akan bangkit. Kalau dipimpin Satria
Piningit, Indonesia akan hebat. Masya Allah... Alhamdulillah. Dan, kelak waktu
akan membuktikan segalanya.
Pada suatu masa Indonesia pernah memiliki Trio
Legendaris asal Jombang. Salah dua diantara ketiganya telah tiada, hanya
tersisa satu berlian saja. Dua pendahulu punya riwayat; disia-siakan saat masih
hidup, tapi ditangisi saat sudah meninggal. Saya sendiri, secara pribadi, tidak
yakin berlian terakhir akan di-berlian-kan. Sebab syarat seseorang
di-berlian-kan oleh Bangsa Indonesia adalah bisa mengaum keras di televisi atau
pandai berfoto jalan kaki di koran.
Ciri-ciri manusia unggul adalah tidak suka
mengunggul-unggulkan dirinya. Ciri-ciri manusia berlian adalah manusia yang
ikhlas hatinya. Semoga bangsa ini suatu hari nanti akan mengerti apa itu ‘berlian’,
ketika Muhammad Ainun Nadjib belum menyusul Nurcholis Madjid dan Abdurrahman
Wahid. Bukan apa-apa, saya ini cuma tidak tega. Kasihan Indonesia. Cukup dua berlian
saja, sebab yang ketiga adalah yang terakhir.
DONI FEBRIANDO, Aktivis muda NU
No comments:
Post a Comment