Wednesday, September 11, 2013

MAN & MOON (Tujuh)


BAB TUJUH

Di mana kebahagiaan ditemukan di panggung bergelombang kota ini? Di sebuah rumah mungil beratap asbes yang berdiri di tepian jalan dan menghadap langsung ke sebuah bangunan Sekolah Dasar, tanda-tanda kebahagiaan tampak sama muskilnya. Di rumah dengan desain aneh itulah Tara tinggal bersama ibunya. Ayahnya telah lama meninggal. Di rumah berdinding papan putih dan berpintu dengan cat merah seadanya itulah Tara melewati berbagai suka dan duka.


 Melihat keadaan rumah Tara tentu seperti melihat sebuah kosabangun rumah asal jadi, tidak khas, tidak pula pantas disebut berkonsep minimalis. Rumah itu bahkan bisa dibilang jauh dari realitas seni, seolah tempat tinggal itu hanya dibangun berdasar konsep psikologi manusia depres,i mengingat bentuknya yang ganjil, degil.  Rumah itu sudah berkali-kali dirombak, dan bentuk terakhirnya memang rancangan yang mengikuti selera Tara sendiri,  maklum saja jika modelnya jauh menyimpang dari rumus baku para arsitek bangunan. Entah akibat dari kontur tanahnya yang berubah, entah konsep pondasinya yang salah, tampak jelas rumah itu miring ke depan. Melihat rumah itu dari depan seperti melihat sebutir kepala manusia bertopi sedang menunduk. Keinginan Tara untuk memiliki sebuah bentuk rumah nyentrik tampak pula pada adanya dua jendela simetris di fasad dinding kiri dan kanan, sehingga jika dua jendela itu dibuka bersamaan seakan-akan tampaklah tampilan dua daun telinga. Untuk melengkapi keanehannya, daun pintu depan yang diletakkan di tengah sengaja dicat merah tomat hingga menyerupai hidung panjang. Mungkin belum pernah ada kerancuan konsep arsitektur tropis paling sesat kecuali pada bentuk rumah itu. dengan konsep rumah itu seolah Tara ingin menaklukkan keterbatasan. Memang, meski bentuknya seperti kubus, seperti kerucut, seperti bola sekalipun, rumah tetaplah rumah. Tapi mewakili model rumahnya, Tara seakan berpuisi: rumahku mengiris kemapananmu, aku tidak dijajah rumahku, akulah yang menjajah!


    Tara selalu bangga dengan bentuk rumah yang dibangun ulang di atas tanah peninggalan bapaknya itu. Kadang-kadang ia sering merenung secara menarik bahwa rumahnya merupakan adukan mind, memperpadukan keterbatasan dan kreatifitas. Tara tak apatis meski rumah itu buruk, sempit, atau aneh. Para tetangga sesekali menegurnya, tapi Tara selalu menjawab bahwa rumah itu sengaja dirancang sesuai selera. Soal selera tak perlu diributkan. Rupa, ekor, atau warna kuda tak perlu didebatkan. Naikilah kuda masing-masing dan mengembaralah ke tujuan masing-masing. Belakangan pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah muncul lagi karena para tetangga selalu kalah dan mundur jika berdebat dengan Tara. Tentu saja, mereka kalah dan mundur karena prihatin dan haru.

    Malam itu di rumahnya Tara baru saja selesai menunaikan sholat Isya. Namun ia belum terburu-buru beranjak dari sejadahnya. Ia tetap duduk. Hening dan tafakur. Di luar rumah lapat sepoi angin terdengar bersamaan dengan terdengarnya riap-riap riuh rerindangan daun pohon yang tumbuh menjulang di belakang rumah. Di kamarnya Tara tetap lelap dalam hening, lebur dalam doa yang hanya diucap lewat batinnya:

Subhannakallahumma,
aku berlindung kepada Engkau dari anarki kehidupan yang melemahkan aku, ibuku, teman-temanku
aku mohon ampunanMu pada barangsiapa kami berdosa
aku mohon perlindunganMu pada apapun kami tak berdaya
aku mohon pertolonganMu pada tiap-tiap kami berikhtiar dan berharap
aku mohon kesabaran dan syukur tetap bersama kami ketika Engkau menguji kami
sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hasrat-hasrat setiap hambaMu
Alhamdullillahirobbilalamin...

    Setiap Tara khusuk berdoa, detik itu ia seperti guncang, seperti menyerah, dengan perasaan seperti berlayar meski tak paham apa yang membawanya. Kemudian Tara hanya merasa wajah dan matanya lembab.

    Usai berdoa Tara meninggalkan kamarnya. Ia tak harus berpakaian serba putih untuk menghadap Penciptanya. Doa adalah avonturir batinnya dengan Sang Khalik--penghambaan--jadi tak perlu lagak dan merupa. Lagak dan merupa acap hanya membuat laku manusia merasa lebih besar dari Tuhan itu sendiri.

     Ketika duduk di hadapan ibunya, Laila, Tara dapati wanita sederhana lanjut usia itu sedang sibuk menyiapkan dagangannya untuk esok. Di Sekolah Dasar di depan rumah, perempuan itu memang membuka kantin kecil-kecilan, sekedar berjualan jajanan anak-anak.

     Dari luar kehidupan Tara dan ibunya selalu tampak baik-baik saja. Para tetangga tak pernah mendengar ada masalah serius di rumah mungil itu. Tetapi namanya kehidupan, masalah sebenarnya selalu ada, timbul-tenggelam seperti buih laut, namun Tara dan ibunya adalah sosok-sosok yang selalu pandai menyembunyikan masalah. Tiap masalah bisa diminimalkan jika setiap manusia legowo dan mengembalikannya lagi pada realita sikap hidup apa adanya. Masalah adalah produk pikiran dan hasrat yang kemudian saling bertali-temali dengan hukum sebab-akibat. Sudah sekian bulan tak jelas lagi status pekerjaan anaknya sebagai sales, ini juga sebetulnya masalah bagi Laila. Tapi perempuan tua itu tak pernah merewelkannya. Laila tak pernah berkehendak melawan keadaan di atas bumi yang sifatnya hanya sementara ini. Hidupnya mengalir seperti air. Laila memaknai hidup ini selalu dengan cara pandang yang sederhana. Baginya hidup hanyalah pelayaran waktu yang tak bisa diatur mutlak oleh navigasi manusia. Biarlah menjalani hidup apa yang sebenarnya saja sebab nasib adalah satu-satunya tujuan pasti yang sudah disepakati sebagai pelabuhan tujuan. Jika hidup digariskan indah, biarlah ia indah pada waktunya. Banyak orang patah asa dan bingung karena mereka mengira pelayaran hidupnya bisa diatur mutlak oleh navigasi kehendaknya sendiri. Timbullah kekecewaan, kefatalan, ketika manusia tak menjadi seperti apa yang diinginkannya. Dan sering terjadi, banyak manusia menghukum atau membelenggu dirinya sendiri, ketika ia berusa menjadi seperti apa yang orang lain inginkan. Jika Laila merewelkan keadaan anaknya, ia berpikir itu hanya akan menghukum Tara. Barangkali dalam falsafah jawa inilah yang disebut nrimo. Tapi nrimo bukan pasrah. Dalam pasrah tak ada lagi kehendak meski ada harap. Dalam nrimo masih ada kehendak, namun tak memaksakan kehendak. Prinsip nrimo adalah bagaimana idealnya manusia hidup berdasarkan konsep Tuhan.

    Laila memang tak pernah memaksa anak semata wayangnya harus jadi macam-macam. Telah berhasil menyekolahkan Tara hingga duduk di bangku akademik, meski tak lulus, sudah cukup memuaskannya. Tak berharap Laila anaknya harus kaya atau sukses setinggi langit. Setiap manusia sudah ada maqam mutlak. Soal akan jadi apa ia, akan sesukses apa ia, kapan ia kekurangan, kapan ia kaya, kapan ia melarat lagi, kapan kariernya melejit menjadi pejabat, atau kapan tangannya harus diborgol karena korupsi, itulah langgam hukum sebab-akibat ketika dengan nafsunya manusia ingin melampaui maqam mutlaknya. Apapun sepak terjang manusia, ia akan kembali ke maqam mutlaknya, sekalipun dalam keadaan hina.

    Tara segera tampil membantu kesibukan ibunya. Satu jam setelah selesai, Tara bergegas ke dapur membuat sendiri kopi untuknya. Lalu ia menyendiri di depan rumah. Di depan rumah itu ia membawa beberapa lembar kertas oretan. Itulah kertas konsep yang belakangan mulai menyibukkannya. Di kertas itu kemudian ia tulis apa saja yang ia pikirkan.

     Memang aneh, seumur-umur Tara sebenarnya tak pernah tertarik mengkonsep sesuatu. Bahkan ia sebenarnya paling malas menulis. Tapi sejak ia mengenal Andien tiga bulan yang lalu, dan sering menyaksikan pertunjukan-pertunjukan dongeng wanita itu, infuls pemikirannya berubah dan seketika menimbulkan minat baru dalam dirinya. Berkait dengan keahlian Andien berdongeng, Tara serta-merta tergagas sesuatu. Sesuatu yang memang tidak biasa untuk ukurannya. Tara sangat tertarik setelah melihat profesi pendongeng seperti yang dijalankan Andien. Tara tertarik setelah ia melihat betapa khasnya keindahan cara hidup seorang pendongeng seperti Andien. Hidupnya mengalir tak terikat, bebas, tapi punya daya yang menggetarkan. Mereka laksana mercu suar di tengah anak-anak, menghibur dan menjual kegembiraan. Tara tergagas setelah melihat semuanya. Seolah ada sebuah ledakan quantum di kepalanya, ia tergagas ingin mengembangkan pertunjukan dongeng Andien ke medium pertunjukan yang lebih besar di mana ia ingin ikut terlibat di dalamnya. Tapi ia juga jadi tertarik ingin menuliskan sesuatu tentang wanita itu. Ada letupan hasrat ke arah sana, tapi Tara tak mengerti, apa yang harus ia tulis, dan bagaimana ia harus memulainya.

     Pernah suatu malam Tara mengunjungi rumah sewa Andien. Malam itu Andien sedang berlatih. Wanita berambut pendek dan berbibir sensual itu duduk di lantai yang hanya beralas tikar, dan wajahnya serius sekali saat berlatih keras.. Malam itu Andien berlatih keras mungkin ia akan menghadapi sebuah pertunjukan penting. Kedua tangannya memegang dua boneka besar. Di kepala ia kenakan juga sebuah topi bebek yang lucu. Andien rupanya selalu menguasai materi dongeng yang akan dipentaskannya. Disaksikan Tara, wanita itu bolak-balik bicara sendiri bersama boneka-bonekanya. Ketika boneka harimau di tangan kirinya bicara, suara Andien berubah berat dan menggetarkan. Saat kancil di tangan kanannya yang bicara, suaranya terdengar lemah-lembut tapi penuh akal. Kadang-kadang boneka bebek di kepalanya ikut bicara, maka suara Andien berubah sengau: wek wek wek!

     Begitulah Andien si pendongeng itu. Malam itu, Tara yang datang mengunjunginya, hanya terpaku khusuk, sambil ikut duduk bersila. Andien baru berhenti setelah latihan dongengnya selesai.

     "Great!" Tara memberinya tepuk tangan.

     Andien hanya tersenyum. "Pernah dengar dongeng yang aku bawakan tadi, Mas?"

     Tara menggeleng. Dalam hati ia berkata: aku tak pernah kenal dongeng karena masa kecilku sangat tak bahagia, An!

     "Oh ya, bagaimana dengan rencanamu, Mas? Masih tertarik dan optimis mengembangkan pertunjukan dongengku ini?" tanya Andien lagi. Ia kemudian tak sungkan mencomot rokok dan membakarnya di depan Tara.
     "Tetap optimis, An. Aku sudah mulai membayangkannya. Bahkan aku mulai membuat konsep. Aku harap kamu tidak keberatan."

     "Aku sih tidak keberatan. Apalagi katanya Mas Tara akan ikut melibatkan semua teman-teman Mas, maka akupun sudah bisa membayangkannya," Andien menghembuskan asap rokoknya ke udara.

     "Moga bisa terwujud ya," kata Tara sambil memperhatikan tingkah-laku Andien, wanita yang punya kehidupan seperti tak pernah memikirkan apa-apa lagi kecuali dunia dongengnya. Betapa menyenangkan ia hidup, pikir Tara.

     Andien menghembuskan lagi asap rokoknya. "Aku ikut optimis akhirnya, karena aku lihat di sini dunia hiburan untuk anak-anak memang masih mungkin untuk dikembangkan. Percayalah, aku juga mulai ikut memikirkan gagasanmu, Mas."

     "Sebenarnya aku juga ingin menulis sesuatu tentang duniamu ini, An. Tapi aku belum pernah menulis. Tapi entahlah, suatu saat aku mungkin akan mencobanya."

     "Ah, keinginanmu terlalu banyak, Mas. Menulis itu sulit, walau katanya, kita hanya menuang gagasan dari pikiran."

     "Tapi aku punya teman seorang penulis. Aku lihat dia mudah sekali menuliskan ide-idenya."

     "Yah, semua memang bisa dicoba jika ada kemauan. Yang penting Mas coba wujudkan dulu satu-persatu apa yang Mas Tara pikirkan. Selagi aku masih di sini dan bisa memberi dukungan, aku akan mendukung apa yang Mas Tara pikirkan."  

      Ucapan itulah yang menjadi semangat bagi Tara.

     Hingga jam sepuluh Tara masih terpaku di depan rumah  bersama pena dan kertasnya. Ia mulai memegang kepala seperti bingung melihat coretan-coretan tangan sendiri. Sebuah sepeda motor tiba-tiba berhenti persis di hadapan tara. Seorang laki-laki turun. Wajahnya muram. Kusut. Lusuh.

     “Kim!” Tara menyapa, tapi tentu ia agak heran melihat paras masai sang teman yang datang mendadak itu.

     Kim,  yang entah sebab apa muncul malam-malam ke rumah Tara,  hanya diam tak menjawab. Setelah memarkir motor, Kim langsung duduk di samping Tara sambil menutup wajah dengan kedua tangan.

     “Ada apa?”

     “pusing, Tar!”

     “Oh, aku kira ada apa. Kalau pusing sih sudah makanan kita setiap hari. Pusing kenapa?”

     “Biasalah. Malam ini aku mendesak butuh uang. Aku sudah kesana-kesini cari pinjaman, nggak ada hasil. Mau pecah rasanya kepalaku.”

     “Oh uang, aku kira masalahnya apa. Kalau masalah uang sih sama kepalaku juga rasanya mau meledak. Lihat saja di belakang rumah, pohon uang yang aku tanam kemarin sudah bisa dipetik atau belum.”

     “Aku serius, Tar. Malam ini aku nggak sanggup pulang kalau belum bawa uang. Kok semakin lama hidup ini semakin sulit. Aku merasa semakin terpuruk.”

     Tara merangkul pundak Kim. “Aku tahu, pasti kamu dikejar hutang. Di rumahmu pasti sudah ada rentenir yang menunggumu. Memang begitulah resikonya jika kita berurusan uang dengan mereka. Hidup kita jadi tak nyaman. Tapi bersabarlah. Aku yakin kamu kuat.”

     “Sabar?” Kim memandang Tara dengan senyum pahit. “Kalau menghadapi tekanan para rentenir aku sudah biasa. Tapi yang ini masalah perut anak-anakku. Terus terang Tar, sejak tadi malam istriku sudah nggak masak. Kami biasa hutang beras bulanan di toko dekat rumah. Sudah seminggu pembayaranku meleset, jadi belum bisa ambil beras lagi. Aku nggak mau kepercayaan toko itu rusak, makanya aku pontang-panting begini. Aku sudah terpikir mau menggadaikan motorku.”

     Kepala belakang Tara berdenyut. “Jangan berspekulasi dulu. Kalau motor itu kamu gadai, masalahnya akan membuat kamu semakin repot. Jelek-jelek begitu motormu itu vital, ya untuk kamu kerja, ya untuk antar-jemput sekolah anak-anakmu. Terus, apa kamu tega melihat istrimu pulang-peri kerja jalan kaki.”

     “Untuk sementara, mungkin harus begini dulu jalannya. Kecuali jika kamu ada solusi untuk membantuku.”

     Tara melepaskan tangannya dari pundak Kim. Lalu katanya, “Kim, apa gaji istrimu sudah nggak cukup untuk sekedar bayar hutang beras? Maaf, sebenarnya aku tak pantas bertanya begini.”


     Kim menggeleng. Diam.

BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment