Monday, September 9, 2013

MAN & MOON (Prolog)



Semua penonton tercekat. Hening. Dalam hening, selaksa perhatian mengembun, laksana dipeluk gumpal kabut yang menukik deras. Dua mata bening  mencilak-cilak. Bisu. Mulutnya diam. Cerita seketika  terpenggal bagai anggur ranum tergantung di langit. Semua pandangan berpendar melayang-layang laksana juntaian awan. Namun tak ada heningnya bisa seketika disimpulkan diam. Itu tak panjang. Hanya jeda. Wajah wanita yang seindah musim semi itu akan menghamburkan kembali petilan-petilan bunga dalam laksa semerbak, mengharumkan seisi ruangan. Pagi pun di luar masih dipeluk hangat sang surya berjubah kilau emas, maka ruang itu akan ia kilaukan pula dengan takik-takik kisah dari bibirnya yang indah.

Hening. Dalam hening hanya petikan gitar dari pengeras suara di sudut ruangan yang terdengar.
Tubuh wanita  itu tiba-tiba meliuk-liuk meniru gerakan ular.
Matanya mencilak-cilak dalam putaran lebih cepat.
Wajah-wajah bocah yang menonton pertunjukan di ruang itu tampak beku sedingin awan kelabu melihat gerak ular yang diperagakan si wanita  pendongeng.
Dan....

Begitulah gaya Andien, wanita pendongeng itu, yang selalu sigap setiap ia berbagi tuturnya, yang menarik, heroik, tegang, tapi menggembirakan, di depan puluhan anak-anak yang dari tempat ke tempat terus ia temui untuk berbagi keriangan cerita dari dongengnya. Bahwa ia hanya seorang wanita penjaja dongeng, itu terbaik dari semua pilihan yang masih mungkin baginya, sebuah pilihan untuk melanjutkan hidup di kota persinggahannya. Ia senang melihat anak-anak, maka ia tak mau berhenti menjajakan keahliannya. Dongeng dengan kata memang telah lama ia tekuni seakan itulah baginya masa depan yang sudah dilipat mati. Andien sangat menguasai beraksi dengan dongeng-dongeng fabel, seakan itu telah mendarah daging baginya. Tak tampak ia gugup dan tak tampak ia ragu setiap tampil dengan boneka-boneka hewan lucunya. Dalam bentuk seekor harimau, terbayanglah di depan anak-anak bahwa ia sungguh-sungguh seekor harimau, yang mengaum, yang buas, bertaring dan menakutkan.  Dalam bentuk seekor kancil, terbayanglah ia sosok kancil yangcerdik. Kosatutur dan kosagerak yang mengalir dinamis dari Andien membuat dongeng-dongengnya cepat melekat dan menyentuh kepolosan anak-anak. Dongeng fabel memang akurat menyampaikan pesan moral ke anak-anak, di samping ia pun mengandung daya hibur untuk mereka. Boneka-boneka adalah media agar setiap mendongeng anak-anak tertarik dan berkesan. Anak-anak terlahir bagai kertas putih, itu sebab tak jarang pula Andien mengkreasi dongengnya dengan nilai yang seketika menanamkan pelajaran baik. Andien ikut tergetar jika akhirnya setiap anak tersentuh dan merasuk bersama ceritanya. Itu sebab ia tak berhenti.

    Hening....

    Dawai gitar masih berdenting.

    Tubuhnya Andien berhenti meliuk.

    Dan....

    Anggur ranum itupun kembali jatuh ke ruangan. Awan-awan di pelupuk bocah mencair. Bibir indah Andien si pendongeng mulai menyaput kabut. Suara Andien terdengar lagi mengalun di ruangan.

    "Ular merasa tidak senang melihat kelakuan tikus," terdengar lagi Andien berkata-kata. "Hei tikus, aku pasti mendapatkan tubuhmu yang mungil dan lezat itu!"

    Sementara mata Andien mencilak-cilak meniru mata ular, tak satupun anak di depannya berkedip. semua anak yang berada di aula itu sangat antusias mendengar suara dan menyimak gerak tubuhnya. guru dan orangtua ikut menyaksikan dari tepi ruangan.

    "Tikus tak gentar dan dia segera mengingatkan ular," tutur Andien lagi. " Hei ular, berusaha dan bekerjalah! Seharusnya kau malu pada semut. tubuhnya sangat kecil tapi tak pernah bermalas-malasan sepertimu!"

    Sementara mulut Andien mencuap menampilkan tikus bicara, ia menggerak-gerakkan juga boneka tikus di tangan kanannya dan meghadapkan boneka itu ke boneka ular yang menangkup di kepalanya.
Begitulah, binar-binar mata Andien tak akan redup hingga ia menyelesaikan pertunjukan dongengnya. Sepanjang pagi itu tikus dan ular terus bicara, mengalun dari bibirnya diikuti pula gerak-gerik lucu boneka-bonekanya.


Di suatu titik senja yang hening, ketika Andien sudah pergi meninggalkan pertunjukannya, berdiri di sisinya seorang pria yang mulai mengucapkan kekaguman terbata-bata, meyakini bahwa ia terpesona dan terbius akan dunia dongeng wanita itu. "Siapa sangka," kata pria itu, " tiba-tiba aku seperti menemukan inspirasi untuk mengatasi kegelisahanku."

    Andien tak bisa menepis kehadiran lelaki itu. Pertama kali kakinya menginjak kota persinggahan ini, lelaki itulah sosok pertama yang muncul bak pahlawan tanpa pamrih yang menawarkan budi baik hingga sekarang Andien berada di tempat yang sepantasnya.. Berbulan-bulan lelaki itu menjadi pijarnya saat kota persinggahan masih gelap dan asing, Kadangkala laki-laki itu ikut lebur menikmati pertunjukan-pertunjukannya. Ia lelaki yang baik di mata Andien.

    "Apakah Mas berminat juga menjadi pendongeng seperti aku?" tanya Andien sambil merokok.

    "Bukan. Lebih dari itu yang membuat aku bergetar. kamu telah menginspirasiku. Di mataku kamu seorang seniman. Aku melihatnya. Aku merasakannya. Telah tumbuh dan timbul di diriku semacam gagasan tiba-tiba, namun aku belum sempurna memahaminya. Entah apa, aku sekarang memikirkannya terus, untukmu, untukku. Sejak kau hadir, kepalaku mulai dikerubuti imajinasi-imajinasi.

    "Imajinasi apa? jangan kelewat batas menilai pekerjaanku, Mas Tara. Tidak pernah aku memikirkan bahwa ini seni. aku hanya penjual cerita, pengasong dongeng boneka, menjajakan ini hanya demi uang dan panggilan jiwa. Ini saja buatku sudah cukup agar di mana-mana hidupku bisa berlanjut dan terus bertemu anak-anak."

    "Tidak. Setiap orang harus menyimpan mimpi dalam hidupnya. Aku yakin kamu juga memendam mimpi. Tidakkah kamu ingin suatu saat kelak pertunjukanmu lebih bernilai dan lebih dikenal? Aku selalu terkagum-kagum melihat pertunjukanmu. Jika ini dikembangkan, biarlah aku menemanimu, kita jalan bersama. Kita buat pertunjukanmu gebyar. Apakah kau tak pernah memikirkannya, An?"
"Tidakkah itu terlalu muluk untukku?"

    "An, kau telah menginspirasiku. Berkali-kali aku melihat pertunjukanmu, bagiku itu serba mungkin. Di kota ini berdiri megah gedung pertunjukan. Setiap minggu para seniman panggung main opera dan sandiwara. Mereka mencetak cerita. Mereka mencetak tiket. Gedung pertunjukan itu selalu penuh. Jika mereka bisa, tidakkah kau berkeinginan juga seperti mereka?"

    "Aku tak pantas berpikir setinggi itu," timpal Andien.

    "Harus ada impian, An."

    Andien tak menjawab. Pikirannya menerawang jauh. Mimpi? Impian? Memang pernah terlintas, ia kelak berharap ada Rumah Dongeng bisa ia dirikan sendiri sehingga ia tak perlu lagi berpindah-pindah, melompat dari satu kota ke kota persinggahan berikutnya, atau berpetualang ke mana tempat kakinya ingin berpijak. Tapi Andien masih tak ingin diikat impian apapun. Impian tentang Rumah Dongeng itu hanya satu hal, sementara perjalanan demi perjalanannya merupakan hal lain yang belum mau ia tinggalkan. Ia ingin dunianya mengalir seperti air. Ia lebih menyukai kebebasannya. Kebebasan itu bisa membawanya kemana saja, tak terbelenggu, tak terkotak seperti anak ayam di dalam kandang. Bertahun-tahun ia membangun jati dirinya dari kebebasan dan perjalanan-perjalanan yang ia tempuh. Setiap perjalanan baginya tantangan, lebih banyak ia mendapatkan pula kesan-kesan mendalam. Andien ingin menjelajah ke seluruh negeri ini bersama dongeng-dongengnya. Namun tentang gagasan pertunjukan besar, itu belum pernah dipikirnya. Menarik juga. Tapi ia pikir, apa mungkin?

    Ah, ternyata tak hanya kota ini yang menarik, tapi juga mutiara-mutiara gagasannya. Di senja yang hening itu Andien kemudian hanya menerawang kembali bagaimana ia bisa singgah di kota paling selatan pulau Sumatera ini, kira-kira tiga bulan silam. Yang pertama diingatnya, malam itu sunyi, ketika ia mulai bergerak menjauhi kota persinggahan terakhirnya. Malam itu, sebagaimana kebiasaannya, ia belum menentukan akan tujuan. Sehari penuh ia ikuti saja sebuah bus antar-propinsi membawanya hingga menyeberangi lautan. Di tengah lautan ia masih tak pasti akan kemana. Ia merenungi saja perjalanan kapal yang mengapung di tengah amuk lunak ombak. Setelah kapal bersandar ia kembali mengikuti bus yang membawanya. Hari sore saat ia merasa makin jauh. Dari jendela bus, di sore yang memerah itu, pemandangan indah nan hijau membentang dimana tampak beribu pepohonan berebut tumbuh di lereng-lereng bukit yang kerucutnya pudar diselubungi awan. Di garis pesisir yang dilalui bus ia lihat kebun-kebun kelapa terurai sepanjang jalan. setelahnya muncullah tandan-tandan pisang padat berjuntai dari pohon-pohonnya yang membentuk pola bagus di antara hamparan lahan kacang. Tampak juga di matanya bidang-bidang luas tanah datar dengan banyak sekali surai-surai tanaman rambat, baring-berbaring, dan di baliknya bola-bola semangka menyembul mengintip dari balik dedaunan. Di ngarai-ngarai sepanjang jalan, bertebaran batang-batang durian dengan buah yang merumbai-rumbai. Ngarai-ngarai itu menyeruak bersama cecerukan tebing serta bongkah-bongkah batu besar seakan itulah karya abstrak alam yang melukisi permukaan bumi. Hatinya hanyut menikmati keelokan itu. Ia sangat menyukai pesona alam, namun entah kenapa sepanjang sore itu pikirannya belum tergoda menyinggahi tempat seindah itu, kecuali ia hanya sadar bus sudah membawanya memasuki gerbang Sumatera. Ketika sore berganti gelap dan bus bergerak menembus malam, entah kenapa tiba-tiba ia tertarik ingin turun. Di pelupuknya tiba-tiba hadir pemandangan lain. Bus melintasi sebuah kota, begitu mengagumkan, memikat nyata, terang-benderang dengan pancar magis menggodanya. Kota itu tampak berbeda di pelupuknya. Hati dan pikirannya tersandera. Rasa ingin singgahnya memancur. Kota itu seperti melambai-lambai memintanya berhenti dan singgah. Entahlah, tiba-tiba saja malam itu ia merasa telah menemukan persinggahan tepat. Ia yakin akan kota yang dilihatnya, bahwa itulah kota tujuan, seakan ia merasa pasti kota itu akan menentramkannya selama persinggahan. Akhirnya tak ada keraguan sama sekali saat bus ia minta berhenti, lalu  kakinya tertatih-tatih turun menyinggahi kota itu. Ya, inilah sekarang kota yang disinggahinya itu, kota yang tak terasa sudah tiga bulan menjadi ranah pijakannya.

    Tak ada seorangpun yang menyambut, berbuat, memberi perhatian, menyemangati, atau menghibur saat ia baru tiba di kota ini, kecuali lelaki bernama Tara yang kini berdiri di sisinya. Tara lelaki tenang, sederhana, namun hidupnya dipenuhi kegelisahan juga. Di tiap titik senja yang hening, laki-laki ini yang tak henti-henti merisau di hadapannya tentang sebuah impian.

    "Harus ada impian, An. Semua bermula dari rangkaian mimpi." Inilah kata-kata yang selalu diucapnya.

     Bagi Tara sendiri, sosok Andien menginspirasinya karena ia melihat betapa menariknya hidup seorang pendongeng. Ia tergugah melihat Andien yang mengalir bebas layaknya peziarah semesta, penuh imajinasi, sangat menyeni, menggetarkan. Selalu ada anak-anak, ada penonton, mengelilinginya, dan di tengah mereka Andien adalah mercusuar yang menghibur dan menggembirakan.
   
     Sebelumnya Tara belum pernah mengalami perjumpaan yang khas dan menggetarkan sebagaimana pertemuan yang terjadi antara keduanya. Di pendar malam itu tak sengaja Tara melihat Andien yang baru turun dari bus. Andien berjalan sendiri dalam bingung tak tentu arah dan Tara terdorong mendekati hanya untuk mengulurkan budi baik. Itulah ketidaksengajaan yang mempertemukan mereka. Ketidaksengajaan yang berubah hangat, mengesankan, setelah ia mengetahui bagaimana Andien. Itulah tramendum bagi Tara, pertemuan estetik yang mengubahnya secara emosional. Andien menggugah infuls imajinasinya.
   
     Tara akhirnya berkali-kali menyaksikan Andien pentas di depan anak-anak. Dalam beberapa pentas, Tara tak sungkan ikut melompat-lompat, tak peduli tingkahnya seperti anak-anak. Tara ikut trance. Ia hanyut dalam pertunjukan demi pertunjukan, sementara hasrat seninya mulai digugah, dibangunkan dari tidur panjang, menggeliat, melonjak-lonjak. Tara akui Andien telah menyemai dan menyimpul harapan dan mimpi baru di kepalanya. Tara tak berpikir lagi tentang pekerjaannya karena pekerjaan itu dianggapnya rapuh dan merapuhkan nuraninya. Maka, setelah melihat keterampilan Andien, Tara tak henti-hentinya mendorong impian-impian baru yang bisa mereka tempuh bersama.
   
     "Bagaimanapun kita harus coba ini, An. Kamu punya bakat dan potensi untuk lebih besar seperti seniman-seniman panggung itu. Aku yakin ini tidak muluk jika kita mau melangkah bersama. Aku punya banyak sekali teman yang bisa membantu mewujudkannya."
    
     "Agaknya kamu benar-benar ingin jadi seniman, Mas," komentar Andien.
   
     "Aku harus berani berubah sekarang. Aku gelisah dan suntuk, sementara aku lihat hidupmu ternyata menarik. Harus dicoba. Harus dicoba, An."
   
    Menarik. Sangat menarik sebenarnya. Bagi orang seperti Andien impian Tara sekilas sangat menantang. Tapi Andien belum tahu bagaimana membawa pertunjukan dongengnya yang sederhana ke sebuah panggung besar disaksikan beratus-ratus penonton, sementara ia pun tahu Tara  tak punya keahlian dan kapasitas apa-apa untuk menginisiasi  pertunjukan panggung.

     
 Dan waktu terus berlalu.
     Memang tak terasa,  tiga bulan sudah Andien berada di kota persinggahannya. Ia menempati kamar sewanya yang sederhana. Kamar itu baik dan pantas buatnya. Andien sangat berterima kasih kepada Tara karena lelaki itulah yang membantu mengurus segala sesuatu seperti yang dikehendakinya.

Mula-mula beberapa orang sekitar memang memandangnya aneh karena ketidaktahuan mereka tentang ide-ide kehidupan yang ditempuh Andien. Orang melihat pekerjaan sebagai pendongeng itu aneh. Tetapi lambat-laun mereka mengerti sendiri setelah beberapa orang menyimak,  mendengar, dan menilai pekerjaannya. Andien hanya menjelaskan kepada mereka dengan kalimat sederhana bahwa ia seorang pendongeng keliling, dan ini hanya sebuah ide, bukan hanya untuk menyokong keberlangsungan hidup, tapi juga pilihan untuk membebaskan diri dari keterpenjaraan stigma tentang perempuan dan ia ingin mengubah lewat dirinya bahwa bumi nan luas ini bisa dilihat, dimaknai, diziarahi, hingga wanita tak perlu melumut dalam kungkungan dunia tradisionilnya yang kerap dianggap lemah, rendah, pasif, terbatas, atau sekedar objek yang diatur ketat. Bagi Andien, pandangan-pandangan tradisional yang meremehkan wanita berkenaan dengan watak dan struktur fisiknya hanya rekaan budaya tak adil  tanpa landasan dalil-dalil Ilahiannya. Ketika wanita terus dilemahkan, dimarjinalkan, hanya dianggap pakaian, itu hanya ulah para laki-laki yang sekehendak hati dan egomaniak menafsir wanita untuk kepentingan mereka. Padahal catatan sejarah membuktikan seperti apa sesungguhnya wanita. Berandalan seperti Arok bukanlah apa-apa jika betis dan pancaran gua garba Dedes tidak menginspirasinya menaklukkan Tunggul Ametung. Kejayaan Napoleon pun berantakan oleh peran seorang wanita bernama Desiree. Lalu bagaimana dengan Kleopatra, Agustina de Aragon, Joan of Arc, Zenobia, Indira Gandhi, atau Laksamana Malahayati?
   
    Setiap seminggu dua kali Andien menjajakan keahliannya mendongeng. Sekolah dasar dan Taman Kanak-kanak di kota adalah tempat paling sering ia kunjungi. Andien pun mengiklankan keberadaannya di koran. Tak jarang ia mendapat kontak. Ia sudah terbiasa melakukan terobosan seperti itu. Di manapun tempat ia singgah, Andien tak pernah gagal mementaskan dongengnya, hingga ia tak cepat bosan atau kehilangan minat pada tanah pilihan yang ia pijak. Andien akan merasa puas jika ia berhasil membuka mata orang-orang bahwa kehadiran dongeng masih penting dalam kehidupan anak-anak.

No comments:

Post a Comment