Monday, September 9, 2013

MAN & MOON (Enam)

BAB ENAM

 Sekelompok wanita cantik berseragam merah-biru berkumpul di salah satu ruang di lantai dua gedung Alila. Mereka ribut. Satu sama lain bingung saling berpandangan. Seorang perempuan berseragam serupa sibuk mondar-mandir dari ruang itu ke ruang sebelah sambil membawa kertas-kertas catatan. Wajahnya muram namun ia berusaha tegar.




  Pagi itu memang tak mudah bagi Asara, nama perempuan itu, untuk menjelaskan ke anak-anak Srikandi yang dipimpinnya mengenai beberapa entry perubahan dalam pekerjaan mereka. Di ruang sebelah tampak Toni duduk sabar melayani Asara yang bolak-balik meminta penjelasan. Setiap Toni menerangkan di ruang bercat abu-abu itu, gadis tinggi berambut panjang terurai itu menyimak sambil mencatat. Sikap Asara sesekali penuh selidik. Toni memaklumi itu karena perubahan yang terjadi di tim Srikandi pasti mengejutkan Asara dan anggota timnya. Apalagi perubahan itu diikuti mekanisme perubahan salary atau gaji yang bagi mereka dipandang memberatkan. Memang, opsi itulah yang terpaksa Toni tempuh ketika usulannya beberapa waktu lalu ditolak Apuji Retta, atasannya.


Toni berusaha menenangkan Asara. "Perubahan ini sedikitpun tidak merugikan kalian. Bedanya kalian sekarang bekerja dengan target. Ini tidak akan sulit. Justru ia peluang kalian meningkatkan penghasilan. Selama ini di lapangan kalian sudah mengenal apa yang disebut pasar. Ini saatnya kalian mengenal prospek dan belajar seni menjual. Kalian hanya butuh adaptasi sebentar. Tolong kamu jelaskan ini ke anak-anak Srikandi. Oh ya Asara, setelah kalian selesai aku minta kamu kembali ke sini."

Saat Asara memberi penjelasan di depan timnya, Toni hanya menyimak dan mendengarkan dari ruangannya. Jelas di telinga Toni bagaimana kemudian setengah jam lebih Asara berusaha keras meyakinkan teman-temannya. Hujan interupsi dengan beragam pertanyaan memang menyerang bertubi-tubi, namun akhirnya Asara membuktikan ia memang pantas memimpin tim Srikandi.

Satu jam kemudian setelah pertemuan anak-anak Srikandi berlalu, Toni duduk sendiri di ruangannya menunggu Asara. Anggota-anggota tim Agresor pun tak tampak lagi satupun batang hidungnya sebab Toni meminta mereka ke lapangan mengawal tim Srikandi seusai pertemuan. Saat Asara muncul, Toni menyambutnya dengan senyum.

"Sar, aku lihat semuanya lancar?"

Asara tak menjawab pertanyaan Toni. Ia duduk dengan wajah masih diliputi keragu-raguan.

"Apa yang masih meresahkanmu, Sar?" Toni memandang dengan pertanyaan.

"Kami tak berpengalaman menjual sama-sekali. Aku takut anak-anak Srikandi berguguran saat mereka tak sanggup lagi bekerja dengan target seperti ini. Belum terbayang apa kami bisa atau tidak."

"Bisa. Aku yakin kalian bisa. Aku sengaja memintamu tinggal karena aku akan mengajakmu ke lapangan. Aku tak melepaskan kalian begitu saja karena bagaimanapun kalian jelas masih harus dipandu. Hari ini aku akan mempraktekkan langsung di depanmu apa yang harus dilakukan seorang penjual."

Asara tak keberatan. Tak menunggu lama mereka berdua pun berlalu dari ruangan dan sepuluh menit kemudian keduanya sudah menginjakkan kaki di pasar tradisional Sepang City, turut berhimpit di tengah hingar sesak pedagang dan pembeli di pasar itu, berjalan melewati berbagai los toko kelontong, los rempah dan sayur-sayuran, bahkan los pedagang ikan. Pada Asara, di pasar itu Toni dengan detil mengajarkan pemahaman bagaimana mengenal secara efektif prospek-prospek potensial serta bagaimana mendeteksi sinyal beli di pasar. Begitulah, dua jam lebih keduanya larut di tengah keramaian pasar hingga tak sadar di lorong-lorong pasar yang sesak dan licin itu tangan Asara terus bergelantungan di bahu Toni untuk menghindari jatuh atau terpeleset. Tapi di depan sebuah los sembako, Toni iseng ingin menggoda Asara. Toni sengaja meminta Asara memberi selebaran motornya ke seorang pedagang yang mukanya tak ramah sama sekali. Asara ciut, tapi Toni menyemangatinya. Inilah yang terjadi:

"Pergi jauh-jauh! Tahu orang lagi galau elo suruh beli motor. Cakep-cakep juga nggak ada otak elo!" Selebaran Asara dirobek-robek pedagang bertampang petinju itu.

Asara berbalik cepat dengan muka merah pucat. Toni menyambutnya terpingkal-pingkal.

"Uugh, sengaja kerjain aku ya. Brengsek!" Asara reflek memukul-mukul Toni.

"Hei, itulah yang disebut Customer Feedback," jelas Toni, masih tak hilang tawa lucunya.

Setelah lebih dua jam di pasar, akhirnya mereka kembali ke kantor. Tapi di kantor pelatihan untuk Asara belum selesai. Toni masih mengajari Asara cara-cara mengisi SPPK atau Surat Pemesanan Kendaraan dan membimbing Asara lagi  memahami  proses-proses pengiriman barang.

Di waktu bersamaan, saat Toni bersemangat dan antusias bersinergi bersama tim kerjanya di Alila, di tempat berbeda sekelompok sales marketing dealer Fridas justru berleha dan bermuram durja. Seperti biasa, mereka berkumpul di bawah rindang pohon beringin warung Mak Warjun. Sambil bermalas-malasan. Entah kenapa siang itu mereka tiba-tiba tak bicara satu sama lain. Masalahnya pasti klasik. Ternyata mereka sudah kehabisan rokok!

Di kandang mereka, di bawah beringin nan rindang itu, rokok selalu menjadi masalah, mempengaruhi suasana, hingga tampak mati kutulah mereka jika asap sudah berhenti mengepul karena sudah tak ada lagi yang bisa dibakar.  Lebih memprihatinkan lagi jika siang itu semuanya sudah kehabisan uang. Dan agaknya mereka pun sudah tak ada nyali lagi berhutang di warung Mak Warjun karena perempuan tua itu sudah memberi ultimatum keras.
 
     "Bayar dulu hutang kalian yang kemarin-kemarin. Totalnya sudah satu juta. Mulai sekarang tidak boleh kasbon dulu!" Begitulah omel Mak Warjun beberapa hari lalu.

 Kalau sudah begitu biasanya mereka berharap pada Tara. Kehadiran Tara selalu penting. Mereka masih percaya Tara adalah gudang ide dalam memecahkan persoalan-persoalan domestik. Tapi sejak pagi Tara belum juga muncul. Ditunggu, ditelpon, gudang ide itu tak juga kelihatan batang hidungnya.

"Makin lama makin asem mulut kita, heo!" Bedul pengak-pengok mulai blingsatan.

Beberapa sales lain mulai bergoler tidur-tiduran saja di bangku panjang.

Tragis!

 Jam dua siang barulah Tara datang. Ia hanya berdecak prihatin melihat keadaan teman-temannya. Tak ada yang merokok. Tak ada yang minum kopi. Semua seperti orang mati. Tara tahu, kalau sudah begitu, berarti teman-temannya benar-benar sudah tak punya uang.

Setelah matanya berpendar-pendar sambil memikirkan sesuatu, Tara heran ia tak melihat Kim dan Mito. Ia menepuk pundak Alin,  menanyakannya.

"Pak Miska menunjuk mereka turun ke lapangan memimpin sales-sales baru," jawab Alin. "Mungkin sebentar lagi mereka ke sini."

"Jadi sales-sales baru di dealer kita sudah mulai jalan ya?"

"Mulai hari ini."

"Bagus. Tepat sekali kalau begitu. Aku telpon Kim biar sales-sales itu dibawa ke sini," kata Tara.

Begitu selesai menelpon, sepuluh menit Kim dan Mito sudah muncul. Ternyata keduanya datang tak sendiri. Mereka diikuti belasan sales baru berwajah belia, masih unyuk-unyuk dan beberapa di antaranya wanita. Begitu bergabung, anak-anak baru itu memperkenalkan diri pada senior-senior mereka, termasuk pada Tara yang tersenyum penuh makna.

Tara melihat anak-anak belia itu masih bingung dan malu-malu. Entah apa yang sudah dipikirnya, tiba-tiba Tara meloncat dan tergesa-gesa  menarik tangan Yoni, Kance, dan Kim. Mereka dibawa ke kamar mandi di belakang warung Mak Warjun, mendiskusikan sesuatu di sana.

Alin yang melihat itu tak berpikir lain, kecuali merasa Tara sedang merencanakan sesuatu. Pasti dari nur akal temannya itu sudah muncul mutiara ide.Biasanya ide gila.

Tiba-tiba dari balik kamar mandi terdengar tawa Yoni meledak-ledak ditingkahi cekikik Kance dan Kim. Tak lama keempatnya bergabung lagi. Tanpa penjelasan Kim serta-merta meminta sales-sales baru bawaannya berbaris. Tak ada yang membantah. Semua patuh. Para unyuk-unyuk itu membentuk barisan. Kemudian Tara menghampiri sales-sales itu dengan sikap gagah dan wibawa yang dibuat-buat.

Alin garuk-garuk kepala melihat Tara. Sementara Mito dan Vani berpandang-pandangan. Yang lain bengong.

"Mau ngapain ini, heo?" Bedul bertanya ke Kance.

"Sudah jangan tanya-tanya, kita mau cari duit biar bisa ngerokok lagi," bisik Kance.

"Kok cari duit baris-baris segala, heo?"

"Hea-heo, hea-heo, berisik amat sih! Nanti tak sowek-sowek cangkemmu. Sudah, lihat aja nanti kita mau ngapain!"

Di depan sales-sales baru Tara mulai bersuara. "Saya ucapkan selamat datang dan selamat bergabung untuk kalian semua. Tadi kita sudah berkenalan. Agar lebih ingat, saya ulangi lagi nama saya Tara. Di dealer Fridas saya termasuk sales paling senior. Itu sebab saya berdiri di sini dan ditunjuk sebagai pelatih mental kalian."

Pelatih mental? Semua yang belum tahu rencana Tara hanya terpana mendengar istilah itu. Yoni, Kim, Kance, hanya menahan tawa. Cuma Bedul yang kelihatan songong, tak jelas apa artinya itu, ia bingung atau justru terharu.

"Sebagai pelatih mental, tugas saya membentuk karakter kalian agar ke depan menjelma sebagai marketing dengan spirit tangguh," Tara melanjutkan kata-katanya dengan ekpresi dingin. "Di dunia marketing faktor mental sangat penting. Di profesi ini kita bertarung dalam persaingan keras. Semua dealer bersaing ingin menguasai pasar. Itulah tantangan kita. Itulah perang kita. Jika mental kalian tak dibentuk, di lapangan kalian akan bekerja seperti pisau tumpul. Sementara orang sudah menguasai Mars dan makan-minum di sana, kalian masih ribut berdebat kusir mencari tahu Mars itu letaknya di mana. Di lapangan kalian akan bertemu bermacam-macam karakter manusia dan bermacam-macam situasi yang harus dihadapi. Maka di sini peran mental sangat vital. Buang gengsi kalian. Buang sifat malu kalian. Yakinlah bahwa hari ini kalian telah menapak di jalur yang benar. Saya bertanya, apakah kalian siap menjadi marketing petarung?"

"Siiaaaaaaap!" sales-sales baru itu menjawab serempak.

"Oke," tangan Tara bertepuk keras. "Apakah kalian siap memulai latihan mental hari ini?"

"Siiaaaaaaap!"

"Apakah kalian siap menyampingkan gengsi dan rasa malu?"

"Siiaaaaaaapp!"

"Oke!" tangan Tara bertepuk lagi lebih keras. "Sekarang saya tidak mau menunda. Siang ini juga saya akan uji mental kalian. Tapi sebelumnya, kalian saya beri waktu tigapuluh menit untuk menukar pakaian di rumah masing-masing. Uji mental ini adalah uji mental yang unik tapi akan berkesan, itu sebab saya meminta kalian menukar pakaian. Yang laki-laki saya minta memakai baju koko dan kopiah. Para wanita saya minta berpakaian busana muslim dan kerudung hitam. Oke, agar tak membuang-buang waktu, sekarang juga kalian tukar pakaian kalian dengan pakaian yang khas saya sebutkan tadi. Waktu kalian tigapuluh menit."

Tak banyak tanya, sales-sales baru itu segera melaksanakan perintah Tara. Mereka buru-buru meninggalkan tempat dengan motor masing-masing.

Melihat pemandangan itu Alin semakin tak mengerti apa rencana Tara. Apalagi kemudian dilihatnya Yoni, Kance, dan Kim, memaksa Vani dan Mito  mengikuti mereka pergi entah kemana.

Tara menyeru mereka. "Harus berhasil pinjam kerandanya ya, Yon! Ingat, merbot masjid itu pernah kamu tolong ambil kredit motor!"

"Tenang, bro!" jawab Yoni sambil melenggang menjauhi beringin bersama empat teman yang menyertainya.

Lalu Tara menyuruh Jim, Mori dan Noveri mencari pinjaman kopiah. Sementara Boman, Bedul dan Joe disuruhnya meminjam baskom dan nampan di warung Mak Warjun. Teman terakhir yang didekati Tara  tentu saja Alin.

"Al, tolong kamu ke pasar beli kembang tujuh rupa," kata Tara sambil menyerahkan selembar uang pecahan duapuluh ribu.

"Untuk apa?"

"Sst, jangan banyak tanya. Aku ajari kalian cara cari uang di saat-saat darurat."

Alin akhirnya ikut saja apa mau Tara. Lagipula ia penasaran ingin tahu apa gerangan ide yang sedang merasuk temannya itu. Alin menuju ke pasar Gintung karena tempat itu yang terkenal menjual kembang-kembangan. Limabelas menit lamanya Alin berputar-putar di pasar itu. Setelah kembang tujuh rupa dibeli, ia cepat-cepat berlalu dari pasar itu.

Sesampai di beringin, selain melihat Tara dan tiga teman lain, Alin juga lihat Yoni dan empat teman yang tadi menyertainya sudah muncul di situ. Tetapi Alin terbengong-bengong melihat sesuatu yang teronggok di dekat mereka. Sebuah keranda jenasah lengkap dengan kain penutupnya ia lihat dengan jelas ada di situ.

"Apa-apaan ini, Tar?" Alin menengok ke Tara yang duduk santai-santai saja.

"Sudah, jangan banyak tanya. Lihat saja nanti. Mana kembangnya?"

Alin menyerahkan kembang yang dibelinya ke Tara. Tak mau menunda kembang-kembang itu segera dibagi rata oleh Tara ke nampan-nampan dan baskom di depannya.

"Kembangnya wangi, heo." Bedul iseng mencuil kembang-kembang itu.

"Jangan geratil tangannya," Kance langsung menyepak bokong  Bedul alias si blarak gembul.

Kemudian tampak Jim, Mori dan Noveri muncul membawa kopiah-kopiah pinjaman mereka. Dengan semangat Tara membagikan kopiah-kopiah itu kepada teman-temannya. Tara semakin bersemangat begitu ia lihat sales-sales baru mulai bermunculan lagi  satu-persatu dengan pakaian sesuai kehendaknya. Setelah semua hadir barulah Tara memberi instruksi dan arahan.

Kepada sales-sales baru Tara berkata, "Ingat, apa yang kita lakukan ini merupakan latihan mental untuk kalian. Kita akan berkeliling kota membawa keranda ini. Sepanjang jalan bersikaplah serius seolah keranda ini memang ada isinya. Tampakkan wajah sesedih mungkin. Sesekali kembang-kembang ditaburkan di jalan. Dan jangan lupa, pungut semua uang saweran yang diberikan pengendara di jalan, jangan sampai ada yang tercecer. Kalian siap?"

"Siaaaaaaapp!"

"Oke," tangan Tara bertepuk keras, "tugas mengangkat keranda saya serahkan pada senior-senior kalian. Tapi nanti di jalan kalian bisa bergantian. Kita mulai saja sekarang."

Alin geleng kepala begitu ia mengerti kelakuan konyol yang ada di otak Tara. Tapi ia tak bisa mengelak, harus ikut. Dalam hati Alin hanya merutuk pada banyolan keterlaluan yang akan mereka lakukan. Apalagi kemudian Tara sekehendak hati membagi-bagi tugas.

"Lho Tar, dalam ketololan ini tugas kamu dan Yoni apa?" Alin sempat protes karena dilihatnya Tara malah mengajak Yoni naik ke motor.

"Aku dan Yoni tetap ikut, tapi sebagai penggiring dari atas motor," jawab Tara sambil cengar-cengir. "Sudahlah jangan rewel, ayo kita mulai."

Akhirnya mereka, gerombolan orang gila, mulai bergerak. Mereka keluar dari beringin, berjalan beriring-iring mengusung keranda. Mak Warjun berteriak histeris begitu iring-iringan keranda itu melintas di depan warungnya. Beberapa orang pun melihatnya penuh tanda tanya.

"Siapa yang mati? Siapa?" Mak Warjun berteriak-teriak dari warungnya.

"Kakeknya Yoni. Mati kesamber gerobak," Mori hanya menjawab suka-suka.

Ada juga yang bertanya. "Mau dikubur di mana?"

"Auk. Masih dipikirin!" Giliran Yoni yang menjawab penuh gurauan dari atas motor.

Tapi tak semua orang mempercayai mereka. Saat keranda itu melintas di depan Sekolah, seorang pria memandang curiga dan dengan sinisnya ia mengingatkan, "Hei anak-anak muda, jangan main-main dengan keranda itu! Kalian bergurau ya?"

Lagi-lagi Yoni yang menjawab dengan olokan. "Emang masalah buat elo?"

Akhirnya sampailah iring-iringan itu masuk ke ruas Jalan Kartini. Dimulai dari jalan utama itu, uang saweran mulai berhamburan.

Dasar orang-orang gila!

Bersambung

No comments:

Post a Comment