Sunday, August 18, 2013

MAN & MOON (Lima)


BAB LIMA


 
Laksana menara gading dengan segala simbol artistiknya, yang serba indah dan privilese, didekorasi lanskap-lanskap bergaya, bertabur instalasi-instalasi berpancar kekuatan dan keagungan, berhalaman luas menawan dilingkari keasrian pohon-pohon sinawar, pinus, dan cemara; di sanalah sebuah gedung mewah berdiri menjulang layaknya singgasana-singgasana ningrat berdarah biru. Di sanalah sebentuk hegemoni tegak angkuh menyendiri seakan mengartikan eksistensinya sebagai satu-satunya dealer di kota Tapis Berseri yang tampil dengan kelas tersendiri. Di sanalah ia tegak menantang, menjadi dealer gedongan yang tiba-tiba melakukan gebrakan merebut pasar. 
   
Dealer gedongan itu menghias wajah gedungnya dengan kaca-kaca tinggi dan lebar yang diikat tulang-tulang steinless berkilat hingga tampak seperti akuarium raksasa. Di atapnya dibangun dua model menara terpisah berbentuk prisma runcing dengan sudut tajam mengarah ke langit. Halaman parkir depannya luas tak dipagar dan di setiap tepi halaman diornamen dengan taman-taman kecil berhias rerumputan gajah, asparagus, pepaleman, bunga susun berwarna-warni, pakis-pakis raksasa, serta beberapa jenis tanaman berdaun lebar. Satu halaman lain menghampar di belakang dan halaman belakang itu terhubung ke gudang besar yang dibangun terpisah. Untuk masuk ke gudang dan halaman belakang, tersedia pintu gerbang di sisi samping sebagai pintu alternatif, semua dirancang agar kesibukan di situ tidak mengganggu aktifitas showroom di gedung utama. Pintu gerbang samping adalah akses hilir mudik mobil-mobil truk  yang keluar- masuk melimpahi gudangnya dengan beratus-ratus motor baru yang akan dipasarkan, juga akses keluar-masuk mobil-mobil pengiriman barang. Untuk mempertahankan dominasinya yang melesat naik daun, dealer gedongan bernama Alila itu terus melengkapi gedungnya dengan fasilitas-fasilitas terbaik dan terus mengedepankan pelayanan untuk menunjang kinerja stafnya dan kinerja sumberdaya-sumberdaya marketing baru yang tiada lelah-lelahnya bekerja ketat dengan target berat.
    
 Posisi dealer Alila boleh dibilang sangat strategis. Meski berada di sayap kota, dealer gedongan itu berdiri di tepi simpang ramai sebuah jalur sibuk, membelakangi pasar tradisional Sepang City, berdekatan dengan empat komplek besar perumahan, juga bersebelahan persis dengan komunitas pedagang bertenda yang siang-malam menjual jajanan kaki lima, dan di peta kota ia berbatasan langsung dengan kampung-kampung rural perkotaan tempat berbasisnya penduduk-penduduk sub-urban yang bermata pencaharian tani dan dagang.
   
Dealer Alila hanya berjarak limabelas menit dari Tanjungkarang, pusat kota Bandar Lampung. Untuk melawat kesana di jam-jam sibuk tersedia banyak sekali jalan pintas jika ingin menghindari titik macet, terutama titik macet di Tanjungkarang yang terkenal dengan lalu lintas semrawutnya di jam-jam sibuk. Dari Tanjungkarang menuju ke dealer Alila akan banyak beroperasi lampu merah yang menghadang di banyak persimpangan, mulai dari persimpangan Bambukuning Square yang padat kendaraan karena campur-baur dengan stasiun kereta-terminal-mall-pertokoan-dan pasar-pasar jalanan, lalu berlanjut ke persimpangan Rumah sakit Umum, berlanjut lagi ke persimpangan pasar koga, persimpangan kampus, lalu dua persimpangan berikutnya yang akhirnya terhubung ke persimpangan ramai pasar tradisional Sepang City tempat dimana lila berdiri. Memilih melalui jalan pintas menuju ke Alila memang akan lebih nyaman dan lebih mungkin terhindar dari macet. jalan pintas itu melewati jalan layang yang terhubung dari sisi Timur Tanjungkarang melewati pemukiman mewah Villa de Green yang tembus ke ruas jalan Morotai, dan dari ujung jalan Morotai tersedia banyak sekali surai-surai jalan tikus yang melintasi pemukiman dan komplek perumahan dan akhirnya surai-surai jalan tikus itu terhubung ke pasar tradisional Sepang City.
 
 Kini, dealer Alila termasuk paforit para broker dan menjadi dealer kendaraan roda dua paling disukai oleh calon-calon pembeli yang berkunjung. Banyak orang yang berhasil digiring masuk ternyata baru terbuka matanya lebar-lebar bahwa di salah satu pojok kota ada perfect dealer yang menyajikan kenyamanan superlengkap. Memasuki showroom dealer Alila bagaikan berada di lobi Grand Emerald dimana setiap tamu disediakan kursi-kursi empuk, disejukkan oleh pendingin udara sepanjang waktu, dan mata pengunjung akan dimanjakan pula oleh wajah-wajah cantik menawan dari empat orang salescounter yang semuanya ramah dan murah senyum. Di showroom itu berbagai tipe motor dipamerkan dengan cara menarik, ditempatkan satu-persatu di etalase terbuka yang artistik, dan beberapa tipe didisplay sedemikian rupa menghadap ke dinding-dinding kaca. Beberapa poster dan banner menarik ukuran besar digantung di berbagai sudut ruangan dengan bingkai-bingkai mahal. Di sebuah meja panjang di dekat kursi-kursi tamu disediakan tiga set perangkat komputer yang terakses langsung ke internet dan setiap tamu bebas menggunakannya secara gratis. Di sisi kanan dan kiri showroom  disediakan toilet khusus bagi tamu dan semua toilet itu terawat bersih sepanjang hari. Untuk memanjakan pengunjung, showroom juga dirancang terhubung ke sebuah kantin terbuka yang menjual berbagai makanan dan minuman, dan di kantor itu disediakan enam set meja lingkar berkursi steinless bagi tamu-tamunya. Kantin itu terhubung juga ke ruang tunggu bengkel yang tak kalah fasilitas superlengkapnya mulai dari kursi-kursi yang nyaman, toilet, papan info elektronik, televisi, gerai suku cadang serta aksesoris dan ruang khusus cuci motor.  Sementara bengkel servicenya menempati sebuah ruang luas dengan dua lusin lebih tenaga mekanik terlatih yang dilengkapi peralatan serba canggih.
 
 Itulah dealer Alila, dealer yang secara tiba-tiba fantastis merebut pasar dan menjadi Top of Mind dalam lima bulan belakangan di kota Bandar lampung. Penjualan dealer ini tiba-tiba melejit dalam respon kerja yang cepat, menggebrak, dominan, berevolusi dari kelam senja ke kemilau cahaya, sebab sebelumnya memang Alila diketahui hanya sebagai dealer eksotis bergedung megah semata, tanpa pernah pencapaiannya meraih penjualan sebaik sekarang.
 
 Dealer Alila dikelola oleh suami-istri kaya, dan karena konon katanya mereka terkenal anggun dan dermawan, maka mereka dijuluki Rich of the Rose. Namun belakangan hanya sang istri yang bernama Felia yang tampil lebih menonjol menangani dealer itu, sementara si suami mulai tak hadir. Konon katanya, suami Nyonya Felia bernama Samir itu lebih sibuk mengurus bisnis bajanya di India.
 
 Di dealer kokoh dan megah itu Nyonya felia menempati ruang khusus di lantai empat dan untuk menuju ke ruangnya hanya mungkin diakses melalui satu-satunya lift di gedung itu. tidak sembarang orang bisa menemuinya sebab untuk masuk dan membuka pintu lift yang terhubung ke ruangnya harus menggunakan kartu elektronik khusus dan itu hanya dimiliki staf-sataf atas tertentu.
   
Dalam menjalankan bisnis dealernya, termasuk mengelola cabang-cabang dealer Alila lain yang berjumlah empat cabang di luar kota, Nyonya Felia yang ramah dan baik hati ini mempercayai seorang tangan kanan tegas yang sangat diandalkannya, seorang lelaki gemuk besar bernama Okan. Secara de facto sosok pria inilah yang banyak berperan mengatur dan mengendalikan Alila. ia paling berwenang mengangkat seseorang dan paling berkuasa juga memecat seseorang. Di Alila Okan menempati sebuah ruang khusus di lantai tiga. ruangnya adalah satu-satunya ruangan yang dilalui lift menuju ke ruang Nyonya Felia, dan untuk membuka pintu lift yang mengakses ruangnya ia tak butuh kartu elektronik. Di struktur manajemen Alila, Okan membawahi seorang Area Manager dan seluruh kepala cabang tunduk dalam kehendak-kehendaknya.
   
Saat ini Area Manager di dealer Alila dipercayakan kepada seorang perempuan, bernama Apuji Retta. Wanita ini belum setengah tahun ditunjuk Okan menduduki jabatan elit itu.  Di pundaknya dibebankan tanggung jawab, mulai dari pencapaian target penjualan seluruh cabang, target pemasukan bengkel, manajemen karyawan, hingga ke masalah promosi domestik. Apuji Retta termasuk salah satu dari segelintir orang yang memiliki kecakapan di bidang itu. Ia pintar dan supel, enerjik dan berwawasan, cantik dan menarik, berani, namun lebih dari semuanya tak ada yang paling menonjol ketimbang kepribadian uniknya yang tomboi gasing. wanita tipikal koleris ini telah menikah dan memeiliki anak. Jika dealer Alila tiba-tiba mencuat fenomenal, seketika menjadi market leader  di kota, jawaban tentu bermula dari otak perempuan ini. Ia impulser dari semua perubahan. Sejak ia duduk di dealer itu, ia berhasil mengaplikasikan postulat-postulat pemikirannya dan beraktualisasi hingga membuat semua pesaing kebakaran jenggot. Top grafik penjualan Alila dalam lima bulan belakangan telah memukul telak seluruh dealer, termasuk delaer Ardisialt yang merupakan maindealernya sendiri, dan yang paling terguncang tentu terjadi di group dealer Fridas.
 
 Di bidang marketing sepak terjang Apuji Retta memang tak terbilang. Perempuan ini kenyang menduduki posisi-posisi top dan strategis di berbagai perusahaan dan jabatan Area Manager di Alila merupakan karier gemilangnya. Namun di Alila sosok Apuji sebenarnya hanya otak dan impulser. Kemudian ia dibilang berhasil karena jeli berstrategi merekrut sumberdaya-sumberdaya kompeten yang satu-persatu datang mengelilinginya.  dengan pola rekruitmennya yang meyakinkan, ia mendatangkan anak-anak marketing yang memiliki reputasi, di antaranya tentu saja seorang mantan kepala cabang "gila"  bertubuh besar gembur, berkepala botak, bernama Polomento. Kemampuan Polo sebetulnya biasa, namun namanya sering meroket ke langit karena kegilaannya mengacak-acak tatanan di bisnis pemasaran otomotif kendaraan roda dua di kota ini. Konon Polo adalah seorang kepala cabang yang dipecat dari dealer Fridas dan Apuji memungutnya saat ia sedang menganggur. lewat kontak-kontak Polo inilah dealer Alila kemudian membuka negosiasi ke beberapa sumberdaya marketing Fridas yang dipandang berkompeten, di antaranya Fikar, Rien, dan Toni. Tapi Fikar menolak tegas, Rien malah memilih pindah ke Vista Finance, dan Apuji lega ketika akhirnya Toni bergabung. sejak Polo dan Toni digandeng, dari titik inilah tim Apuji mulai melakukan hantaman. Lini-lini baru mulai dibangun sebagai ujung tombak pemasaran. Apuji Retta mengoptimalkan seluruh potensi dengan pemikiran inovatif hingga timbullah kekuatan baru. Ia memanfaatkan seluruh pangkalan data pelanggan, memperbaiki metode, serta fokus mengkonsolidasi kekuatan marketingnya untuk masuk lebih dalam mengelola ceruk pasar. Polo pun tak terhenti aktif mengontak dan menyeleksi sales-sales dari berbagai penjuru dealer yang bersedia bergabung, beberapa di antaranya kemudian diambil dan dibentuk menjadi sebuah tim khusus yang bernama Tim Agresor. Toni sendiri, selain dipercaya menangani Tim Agresor, ikut bergerak memperluas jaringan broker dan menarik mereka semua ke wilayah mainnya dan ia menjalin kemitraan khusus dengan para field survei yang diikatnya dalam konsep simbiosis mutualisme.
   
Meski tak memimpin langsung di lapangan, Apuji tidak tinggal diam ikut menyemai sumberdaya. Apuji menggagas pula membentuk tim bayangan di lini pemasaran dengan merekrut belasan wanita cantik bergaji tinggi. Gugus tugas tim ini menggiring dan menarik minat agar lebih banyak pengunjung datang ke Alila. Tim bayangan ini, yang disebut Tim Srikandi, disebar ke penjuru kota dan sudut-sudut pemukiman rural. Tim Srikandi dibekali perlengkapan khusus dan ragam atribut kerja serta berbagai booklet yang mereka sebut Alila kit untuk merebut heart share dan mind share dari masyarakat. Maka sesuai dengan filosofi yang dikembangkannya, service is everything, Apuji perlahan tapi pasti berhasil mempengaruhi pasar dengan sentuhan-sentuhan pribadi yang mendalam dan gebrakan emotion appeal yang tinggi. Manifestasi ide Apuji Retta sama sekali telah membebaskan Alila dari lilitan ilusi. Ia tak puritan sebagaimana kebanyakan dealer yang mendesain konsep penjualan dengan berbagai kamuflase seperti perempuan takut tua yang memanipulasi wajahnya dengan suntikan botolium toxin di kening.

 "Tidak mudah merebut pasar. Jadilah dealer yang bisa dipercaya agar seluruh pelanggan iklas menghabiskan seumur hidupnya untukmu. Peliharalah mata yang memiliki senyuman, keceriaan, kelembutan, mata yang selalu pelanggan kenali sebagai mitra baik." Begitulah Apuji Retta mensupport timnya.
 
 Kini semua gebrakan market creation Apuji Retta berhasil. Apuji boleh dibilang secara quantum telah melambungkan reputasi Alila sejak kedatangannya. Tuhan mengirimnya laksana intan yang menerangi singgasana Markis de saint Meran. Cahaya itu ikut menerangi Polo dan Toni, dan bersama Tim Agresor yang mereka bentuk, keduanya terus meledak-ledak tak terbendung. Di dealer itu tamu dan pengunjung datang silih berganti tak henti-henti. Lima mobil yang bekerja mengantar barang pesanan ke rumah pembeli tak henti mondar-mandir siang dan malam. Di Alila motor-motor terjual seperti oncom dan tempe goreng. Para broker hilir mudik layaknya kawanan laron membawa berkas aplikasi dan order pembeli tak habis-habis. Lebih dari selusin field survei dari berbagai lembaga pembiayaan ikut sibuk di tengah euforia itu. Sesama field survei tak perlu lagi berebut tikam karena berkas aplikasi konsumen yang akan membeli secara kredit bertumpuk sepanjang hari di meja Polo dan Toni, juga di meja para salescounter.
   
Okan senyum dan selalu tersenyum. Sepanjang hari lelaki superpower itu tak pernah lepas mengawasi aktifitas dealer Alila dari monitor-monitor di ruangannya yang terhubung ke lebih selusin  kamera pengawas  yang ditempatkan di berbagai sudut dealer. Sekarang wajahnya optimis dan sumringah selalu, setelah melihat perkembangan demi perkembanga signifikan dan groot tajam penjualan Alila dalam lima bulan belakangan. Siang itu sambil menikmati cerutu ia pun sedang tenggelam di kursi singgasananya ketika tiba-tiba telponnya berbunyi. Ketika diangkat terdengar suara Apuji.
  
 "Maaf Pak, kita kehabisan barang untuk tipe tertentu sedangkan permintaan banyak sekali. Saya sudah melihat stock on market kita, ternyata semua habis termasuk di cabang-cabang. Sejak pagi Polo dan Toni ribut terus soal ini. Saya butuh disposisi Bapak lagi soal ini."
   
"Gampang. Nanti saya minta alokasi additional ke maindealer. Kamu catat saja tipe-tipenya dan tulis berapa yang kalian butuh. Saya jamin dua atau tiga hari apa yang kalian minta sudah tersedia. Tolong disupport terus anak-anak. Kejar terus selling in selling out. Target kalian bulan depan akan saya naikkan lagi menjadi 800 unit khusus di sini, dan di cabang-cabang daerah saya targetkan rata-rata 400 unit, berarti beban targetmu bulan depan berkisar di angka 2000 unit. Sanggup? Harus sanggup. Pasar kita sedang bagus."
  
 "Siap, Pak!"
   
 Begitulah Okan. Sekarang ia mengatur segala sesuatunya dengan keyakinan tinggi. Tapi, tentu semua tak lepas dari penilaiannya melihat kapasitas Apuji dan will power sumberdaya baru yang ia miliki saat ini. Dan yang paling sering menjadi perhatiannya ternyata Toni. Di mata Okan, lelaki muda itu spesial, berdedikasi, tipe pekerja keras. Okan memonitor, Toni memiliki semacam inner chanel comunication dan pesona guanxi dalam hal mendatangkan lebih banyak orang ke dealer Alila, entah itu para broker, entah mereka sales marketing dari dealer lain, termasuk para field survei, dan orang-orang itu tentu tak datang dengan tangan kosong. Agaknya Toni selalu terhubung ke ragam koneksi tak putus-putus. Okan berpikir, Toni memang pantas menduduki posisi sebagai supervisor marketingnya.
   
Yang mendatangkan Toni ke Alila adalah Polo. Di Alila Polo diberi kedudukan lebih tinggi dibanding Toni. Polo ditunjuk sebagai kepala cabang sebulan sebelum Toni bergabung dan lelaki botak inilah yang memotori dibentuknya Tim Agresor dengan kebijakan membajak secara membabibuta sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki dealer lain. Polo tipe manusia optimis dan plegmatis  yang kerap menggagas konsep-konsep tidak rasional namun ia tak pernah ragu berspekulasi dengan teori-teori absurdnya. Ia memiliki kemampuan mengagumkan untuk mempengaruhi dan menarik simpati, sekaligus menyebalkan tentunya, karena ide-idenya yang kelewat ajaib. Tak ada yang lebih ironik, bahwa ia sebenarnya sosok lucu yang sering membuat orang prihatis sekaligus tertawa. sering terjadi, orang tersipu melihat penampilan Polo, tak hanya lucu karena melihat bentuk tubuhnya yang longsor, atau karena tampangnya yang bolem, tapi juga lucu  melihat bagaimana ia berjalan. Melihat karakter Patrick di film kartun Spongebob, itulah bayangan sosok Polo. Namun apapun tanggapan dan respon di sekelilingnya, Polo dengan segenap jiwanya tak peduli. Polo sadar ia berpenampilan antik, namun jangan mengira antik itu tak berpikir atau ber-IQ jongkok, justru sebaliknya.
   
Di Alila, Tim Agresor merupakan sekumpul sales pilihan, dipimpin Toni. jangan mengira tim ini banyak anggota. Tidak. Tim ini hanya beranggota empat orang, tiga pria dan satu wanita. Tim Agresor adalah tim serius yang dibentuk secara ketat karena anggota-anggota benar-benar berpengalaman, bermental petarung lapangan, dan memahami detil seluk-beluk pemasaran. Empat anggota tim ini merupakan sumberdaya berkelas yang dibajak Polo, namun Toni meningkatkan lagi kemampuan mereka dengan revenue tambahan agar mereka tak berpikir lagi seperti cara berpikir sales kebanyakan. Setiap pagi mereka berkumpul di ruang khusus, saling berdiskusi dan membicarakan misi-misi, merancang sasaran, menghubungi dan mendrive koneksi-koneksi liquid para pihak ketiga yang mudah diajak bekerjasama, serta mengevaluasi efektifitas viral marketing dan skriptural marketing yang terus mereka giatkan. Kerja keras dan kerja cerdas merupakan pengaplikasian konsep yang mereka atur dalam tiga lapis perencanaan: rencana A, rencana B, rencana C! Di saat-saat genting dan dibutuhkan, tim ini tak sungkan-sungkan berekspresi ke dealer-dealer lain dan mengintip apa gerangan yang sedang dimasak di dapur tetangganya, dengan penampilan dan tindak-tanduk yang disamarkan tentunya. Intip-mengintip semacam ini bertujuan untuk mendeteksi kapasitas dan alur metric pihak pesaing yang berguna dalam melakukan market attacking. Di saat-saat tertentu mereka juga ikut turun mengawal tim Srikandi yang keliling ke seantero kota tak peduli kantor, toko, sekolah-sekolah, rumah, atau pasar-pasar, meski siang hari rasanya seperti di goreng di atas kompor. Tiga pria dalam tim ini bernama Mirzal, Tama, dan Genta. Sementara wanita yang tercantik bernama Mukar. Lho, kok perempuan namanya laki-laki? Tanya sendiri ke bapaknya.
 
  Apakah artinya gentar? Itulah yang dirasakan oleh dealer Ardisialt dan Fridas setiap kali mereka mencium kabar bahwa Tim Agresor turun ke lapangan. Jika tim ini turun, tak ada pasar yang mereka sentuh yang tak menjadi emas. Semua prospek closed!

Siang itu di dealer Alila Toni sedang duduk sendiri di kantin mengisi jam istirahatnya. Ia merokok berbatang-batang, minum kopi, dan mengunyah coklat pisang. Wajahnya yang kaku menyiratkan ia tangan besi, dingin, namun sesungguhnya ia lelaki dengan banyak hal baik pula. dari dagu dan bibirnya yang manis tentu masih tampak kelembutan di wajah jantannya itu. Tak ada yang menarik perhatian Toni siang itu kecuali merenung, memikirkan pencapaian-pencapaian timnya dan memikirkan rencana-rencana ke depan. Tapi saat melompat ke perenungan lain, ia menimbang dirinya sendiri, dimana ia merasa nilai-nilai dalam dirinya ada yang berubah. Ia merasa telah jauh meninggalkan sandaran masa lalunya. Apakah kecakapan dan kedudukan telah mengubahnya menjadi angkuh dan menjadi manusia dengan pembawaan yang rakus? Hanya dengan melakukan sebuah belokan menukik tiba-tiba segala hal berubah. Tapi Toni berpikir lagi, ia belum akan peduli. Matanya kembali bersinar-sinar. Bagaimanapun ia merasa ingin menikmati semua ini sebagai kebangkitan yang baru timbul dan ia buat.
 
  Di tengah-tengah hembusan asap rokok Toni ke udara, seorang wanita ayu berkacamata masuk ke kantin dan mendekati mejanya.
   
"Hei, Meo," Toni menyapanya dengan sikap baik. wanita itu sebenranya bernama Laras, namun di Alila setiap orang telah terbiasa memangginya "Meo" sebagai panggilan sayang. Di kantor ia menangani uang dan pembukuan kas.
  
 Wanita ayu dengan pipi menggemaskan itu duduk di depan Toni. ia mengeluarkan selembar catatan. "Ini mulai membuatku pusing," keluhnya. "Ini uang muka konsumen kredit yang belum masuk. Uangnya dipinjam Polo sudah berhari-hari."
  
 Toni melihat catatan itu. Mempelajarinya sejenak. Setelah memahaminya wajah Toni agak meredup. "Kenapa baru sekarang memberitahuku, Meo?"
  
 "Menurutmu bagaimana?"
   
Toni berpikir. Lalu katanya, "Beri dia waktu sampai lusa. seharusnya kamu tak boleh membiarkan ini terjadi, Meo."
   
 "Oke, aku juga masih menutupinya. Polo selalu memaksa. Aku kasihan jika melihat dia mulai memelas. Ini sudah sering, tapi atasanmu itu selalu ingkar. Aku takut jika Bapak dan Ibu Felia tahu. Itu sebab rekap penjualan kredit yang uang mukanya belum lengkap ini sengaja tak aku input ke sistem dan belum aku tulis laporannya ke buku besar."
  
 Toni meraih lagi kertas rekap itu dan memperhatikannya lebih seksama. "Gila, ini jumlahnya hampir sembilan juta," omelnya sambil menggelengkan kepala. "Permainan kalian sangat berbahaya, Meo."
  
 "Kalian?" Laras kurang suka mendengar kalimat Toni. "Kata-katamu seolah menuduh ada yang ikut aku nikmati dari ini."
   
"Sorry, Meo. Maksudku sistem di sini. seharusnya kamu tegas mencegah ini terjadi."
  
 "Sudahlah. Bagaimanapun Polo itu atasanmu. Asal tahu saja, beginilah kelakuannnya sekarang!"
  
 Laras pergi. Toni masih di kantin itu. Wajah Toni agak mendung, merasa terganggu oleh laporan Laras tadi. Antara yakin dan tidak yakin ia merasa seperti baru dipercik noda. Sepintas dipandangnya sekeliling dengan kesal. Kesangsiannya akan Polo tiba-tiba menyergap. Toni belum ingin meninggalkan kantin itu ketika seorang mekanik masuk dan mengatakan ada seseorang ingin bertemu. Siapa gerangan tamu itu? Toni terkejut dan senang begitu melihatnya.
   
"Rien!" Toni rasanya ingin memeluk sosok yang sudah berdiri di hadapannya. "Apa kabar orang Vista Finance yang cantik jelita?"
  
 Rien yang sengaja mampir mencari Toni di dealer itu hanya geleng-geleng kepala. "Rupanya kawanku sudah jadi priyayi di sini."
   
Toni tertawa. Digenggamnya erat uluran tangan Rien. "Kita mau duduk di sini atau ke ruanganku?"
     "Di sini saja. Tempat tak penting," kata Rien sambil duduk di salah satu kursi di meja lingkar kantin. "Aku tak mau melihat ruanganmu sebab aku takut kamu semakin lupa diri memamerkan kedudukanmu. Aku sudah mengira. Hebat sekarang kamu, Toni."
  
 Toni menghampiri Dina, petugas kantin, memesankan minuman dingin untuk Rien. Lalu ia kembali ke meja. "Sialan, kamu pikir aku sudah lupa diri. Kamu yang melupakan aku. satu-satunya field survei yang tak pernah ke sini hanya kamu. Jadi orang sibuk ya di Vista Finance?"
  
 "Aku ditempatkan di dealer yang membuatku tak bisa bergerak sama sekali," jawab Rien. "Beberapa hari lalu lagi mereka mungkin akan menyidangku. Mengerikan."
   
"Pasti Ardisialt!" seru Toni sambil tertawa. "Apa perlu aku meminta atasanku menelpon kantormu agar penempatanmu pindah ke sini? Aku serius."
   
"Silahkan. Coba saja. Tapi nanti, jika aku di sini, jangan harap aku akan mematuhi semua kehendakmu."
   
"Toni tertawa lagi. "Aku sudah tahu. Aku sudah dengar julukanmu. Si Raja Tolak!"
   
 "Sialan! Tapi begitulah Ton," Rien agak membuang muka dari pandangan Toni. "Aku mengerjakan pekerjaanku secara profesional, tapi mereka membalasku dengan julukan seperti itu. Sales-sales sekarang semakin menyebalkan. Mereka hanya orang-orang yang bekerja karena terdesak, jadi tidak berkemauan menjiwai pekerjaannya."
     "Beda, Rien. Kita dan mereka sudah berbeda. Anak-anak sekarang mindsetnya merosot dan power kompetensinya asal-asalan. Kekurangan dan ketidakmampuan mereka terlihat jelas dan telanjang. Mereka mentah."
   
"Ya, seni menjual, keindahan bekerja, kebenaran dan kejujuran, nyaris punah."
  
 "Situasi juga berubah, Rien. Bahkan aku sendiri saat ini, di tempat ini, tak begitu banyak lagi bisa memenuhi harapan seperti itu. Ya, seni menjual dan keindahan bekerja, masa-masa itu pernah kita nikmati di Fridas."
  
 Dina muncul dengan minuman dingin pesanan Toni untuk Rien. Perempuan itu menghidangkan juga piring berisi coklat pisang. "Biasanya teman-teman Mas Toni minumnya kopi," kata Dina sambil bergegas kembali ke tempatnya.
     "Yang ini beda. Lihat saja warna jelitanyanya. Apa iya bidadari minum kopi," sanjung Toni sambil memandang Dina. Tak ada sahutan dari Dina, lalu Toni memandang kembali ke Rien. "Dicicip coklat pisangnya, Rien. Jangan melamun."
  
 Rien balas memandang lekat ke wajah Toni. "Kamu tahu yang aku pikirkan? Aku berpikir bahwa kita telah meninggalkan kawan-kawan kita. Kadang aku berpikir kita telah mengkhianati masa lalu yang membentuk kita. Kadang-kadang aku rindu berkumpul lagi di Fridas." Rien mengucapkannya dengan yakin.
  
 "Kamu terlalu sentimentil, Rien."
   
Rien melepas tatapan lekatnya. "Bagimu mungkin arti kawan sudah tak berarti. Pikiranmu pasti mengatakan mereka tak berguna lagi. Bagimu kawan hanya akan menyusahkanmu," dicercanya Toni.
   
Sesaat Toni merasa ada dingin mengalir di tubuhnya. Agak aneh baginya mendengar Rien berkata ketus seperti itu. Kata-kata Rien menusuk namun ia tak dapat menutup telinga. Namun segera ia memberi jawaban mengikuti kata hatinya. "Bukan mereka tempat kita melihat masa depan, kawan. Kamu bisa lihat sekarang bagaimana teman-teman kita itu. Mereka sendiri sudah kehilangan kehendak atas pekerjaan mereka. Mereka mempermainkan masa depan mereka sendiri di bawah pohon itu. Walau sudah tak kumpul lagi bersama, aku tahu perkembangan buruk itu. Itukah yang harus kita pikirkan? Sementara masa depan kita di sini tak bisa menunggu."
  
 "Jangan kamu bilang bahwa ini masa depan, Toni. Tak ada di sini yang namanya masa depan," suara Rien berubah keras, sengaja menyerang kata-kata Toni. Kemudian dengan sinis ia menambahkan kata-katanya, "kita hanya mengisi waktu saja sementara kita belum mendapatkan pekerjaan yang mantap dan pasti. Kamu akan tahu nanti, pada akhirnya kemakmuran dan kejayaan hanya tetap milik mereka, bukan kita. Kamu pasti mengerti siapa yang aku maksud mereka. Secara simbolik kita ini bangsa merdeka, tapi sebenarnya kita belum merdeka."
   
Toni menyandarkan punggung ke kursi. Ia tak mengerti kenapa Rien tiba-tiba memojokkannya. Tapi ia tetap mengulum senyum dan berkata, "Kamu sepertinya berusaha mempengaruhi pikiranku, Rien. Lebih baik kita bicarakan hal-hal lain saja."
   
"Inilah yang aku maksud. Kamu sudah berubah Toni," Rien malah menudingkan jarinya ke arah Toni. "Kamu merasa sudah paling hebat sekarang. Sejak awal hanya kamu yang terpengaruh Polo. kamu buta, Toni. Buta melihat sisi lain Polo yang tak pernah kamu ketahui. Kamu pikir Fridas memecatnya bukan tanpa sebab? Di balik penampilan idiotnya, dia itu pendusta ulung, Toni! Tapi oke, aku akui dia hebat. Sejak awal sudah aku ramal kalian pasti akan hebat di sini. Kalian diberi kedudukan dan fasilitas serta orang-orang hebat yang mendukung. Aku juga sebenarnya  memantau terus perkembangan kalian. aku sudah baca semua strategimu. Banyak dealer menjerit karena pasarnya terserap di sini. lini marketing dan desain broker yang kalian rancang memang hebat. Aku juga membaca booklet-booklet dan website kalian. Aku tahu skriptural marketing dan viral marketing itu sumbernya dari kepalamu. Di sini semua kehendakmu tercapai karena CRM Shelley Sessoms di sini modelnya paling bagus sehingga Metric marketing kalian tampil tanpa cela. Itu membuatmu merasa paling hebat sekarang. Aku katakan sekali lagi, kamu hebat Toni!"
   
Toni tersenyum. Dilihatnya Rien  masih matang menganalisa teori-teori marketing yang diimplementasikan di Alila, termasuk membaca CRM (Customer relationship management) Shelley Sessoms yang mengandung sebelas garis besar pemusatan pelanggan yang harus diperhatikan setiap perusahaan berbasis marketing untuk mengelola pemasaran secara total, serta teori Metric marketing yang didedahkan Tim Ambler tentang bagaimana cara dan apa yang harus dilakukan untuk mengukur kemampuan pasar internal.
   
Tapi senyum Toni kemudian pahit. "Ini bisnis, Rien. tapi terima kasih kritikmu. Soal sentimentilmu itu, seharusnya kamu juga tidak meninggalkan Fridas. Jadi tidak perlu kamu sepihak menyudutkan aku. Sudahlah, minum dulu minumanmu."
   
Rien  ragu menyentuh gelas itu. Seperti tak ingin.
   
Toni memperhatikan sikap temannya. "Rien, ayolah jangan terlalu sentimentil. Kita masih kawan, bukan?" tegurnya.
     Rien tak enak. Ia minum juga. Lalu ia berucap, "Kamu tahu, keputusanku meninggalkan Fridas adalah satu hal yang aku sesali. Tapi aku tak mungkin menjilat keputusanku lagi. Kita ini pegang prinsip Toni, kita punya harga diri. Saat kamu sudah bosan dan gagal di sini, aku sarankan kamu jangan kembali ke Fridas demi harga dirimu."
   
"Jangan naif, Rien." Mata Toni redup dan mulutnya menelan ludah pahit. "Berarti kamu berdoa aku gagal di sini, ya?"
   
Rien mencibir. "Kalau boleh aku lancang, aku memperkirakan kamu akan gagal. Di sini kamu akan goyah bukan karena strategimu patah. Bukan, bukan itu. Faktor utama yang akan menyulitkanmu di sini adalah Polo. Ya, Polomento. Kelak kamu akan tahu siapa Polo," tegasnya memperingatkan Toni.
  
 "Jangan buruk sangka, Rien." Toni kurang suka mendengar pendapat Rien. "Kadang-kaang orang tak seburuk yang kita pikirkan.
   
Rien berusaha untuk senyum, tapi sekedarnya. "Kamu belum tahu sekarang. Kamu masih terkurung kegembiraan di sini jadi kamu belum mau melihatnya. Tapi memang, nikmati saja olehmu, Toni. Kamu sedang di atas. dealer di luar sedang terguncang oleh kalian dan sekarang tak ada yang lebih hebat kecuali kalian. seandainya aku masih di Fridas, Pasti tak terelakkan kita bertarung. Mudah saja aku membuatmu tak berkutik. Semua isi kepalamu ada di ujung kuku jariku."
  
 Toni tersenyum sabar mendengar kata-kata angkuh itu. Rien bicara memang sudah tak seperti biasa. Rien  seperti sedang menginjak-injak pribadinya. Namun Toni biarkan semua berlalu di pikirannya saja.
  
 Rien bicara lagi. "Maaf Toni, kesannya aku datang hanya untuk menyusahkan hatimu saja. Sebelum pergi aku hanya ingin berpesan, kamu boleh mempengaruhi sales manapun dari dealer manapun untuk mengangkut penjualan mereka ke sini. Tapi tolong, jangan pengaruhi teman-teman kita di Fridas. Mereka sudah dipersusah, jangan kamu hancurkan lagi. Kasihan jika pada akhirnya mereka harus menjadi pengkhianat. Sudah terlalu banyak pengkhianat-pengkhianat yang meninggalkan Fridas."
   
Toni sekuatnya menahan perasaan. Tapi muntah juga lahar panas itu. "Kamu menuduhku, Rien? Aku katakan, aku tak pernah sekalipun mempengaruhi mereka. Andai pernah kamu dengar ada yang mempengaruhi mereka dari sini, itu pasti Polo dan aku sudah mencegahnya."
  
 "Jangan munafik dan berlagak tanpa dosa. Sebelum kita bertemu di sini, setengah jam aku melihat-lihat kesibukan dealer ini. Penjualan kalian di luar jangkauan otak warasku. Aku tahu, sementara dealer lain mengumpan roti tapi kalian membalas pasar dengan lemparan keju. Nenek-nenek berkonde  pun bisa menguasai pasar dengan cara-cara seperti itu. Cara itu tak abadi dan akan cepat runtuh, Toni."
   
"Cukup!" Toni habis kesabarannya. "Kamu sudah keterlaluan. Kamu keterlaluan, Rien! Kamu terlalu dalam menuduh kebijakan-kebijakan di sini. Aku bertaruh, justru kamu yang tak akan bertahan lama di Vista Finance karena sikap-sikap idealismu. Memang baiknya kamu jadi penulis saja seperti ayahmu. Jadilah kalian pengkhayal tujuh turunan!"
  
 Rien diam. suasana berubah menjadi hening tak menyenangkan. Udara hangat tiba-tiba terjerumus menjadi panas, memenuhi ruangan itu. Tapi Toni tetaplah Toni. Wajahnya kemudian menyiratkan penyesalan atas kata-kata kasarnya tadi. Namun tak ada lagi obrolan bisa dilanjutkan keduanya hingga Rien berlalu dari hadapan Toni.

Setelah pertemuan singkat itu, Rien terpingkal-pingkal sendiri, ia merasa menang baru saja mengerjai Toni.

BERSAMBUNG
    

No comments:

Post a Comment