BAB DUA
Selalu begitu setiap pagi. Segera, setelah ayahnya pergi ke Sanggar Aksara, Rien juga bersiap pergi ke kantor. Rien sudah rapi mengenakan seragam kerja. Saat duduk sarapan di meja belakang, ia dihampiri ibunya.
Tindak-tanduk Rere dan Dias mulai berubah dan mereka mulai kehilangan objektifitas dalam memilah-milah calon debitur di lapangan. Keduanya mulai ikut-ikutan terkontaminasi konstruksi sesat instant marketing yang hanya fokus mengejar target dengan menghalalkan segala cara. Dengan halus Rien mulai menolak dan menghindar, apalagi setelah disingkapnya bahwa Rere dan Dias mulai dimanfaatkan oleh Gimon, seorang pria bergigi ompong yang sehari-hari mondar-mandir sebagai broker di dealer Ardisialt.
Pernah suatu ketika Rien hanya tersenyum ketika melakukan survei terhadap tiga calon debitur dari aplikasi sampah yang diberikan Rere dan Dias. Tiga calon debitur itu ternyata seorang pengangguran yang menyamar sebagai ustad, seorang mahasiswa drop out yang luntang-lantung tapi dengan kios service elektro milik temannya ia berlagak sebagai bos kios, lalu terakhir seorang buruh penyemprot hama yang gemar berjudi dan minum tuak.
Belakangan terbukti Rere dan Dias ternyata bajingan juga. Bermula dari gosip yang beredar di kantor bahwa ada dua konsumen bermasalah atau debitur hitam ada di daftar tagihan macet Rien. Ternyata itu bukan sekedar gosip.
Selalu begitu setiap pagi. Segera, setelah ayahnya pergi ke Sanggar Aksara, Rien juga bersiap pergi ke kantor. Rien sudah rapi mengenakan seragam kerja. Saat duduk sarapan di meja belakang, ia dihampiri ibunya.
“Selalu saja Ayahmu mengkritik pekerjaanmu,” kata Muna sambil menuangkan air minum untuk Rien.
“Kemarin dia mengomel tak habis-habis. Pagi ini masih juga dia
mengomel. Ibu serba salah dengan sudut pandang Ayahmu. Ibu berharap
kamu berbeda, tapi dia berkeras kamu jadi penulis sepertinya.”
Rien meneguk air yang baru disiapkan ibunya. Piring sarapan yang sudah
kosong didorongnya ke depan. Lalu ia palingkan perhatian ke wanita
yang telah melahirkan dan membesarkannya. “Ibu tak perlu khawatir,”
katanya sambil menatap lekat ke wajah ibunya. “Kadang-kadang Ayah
memang pandai sekali meraba keadaanku dan menghubung-hubungkannya
dengan sudut pandang yang dia ketahui tentang pekerjaanku. Beberapa
lembaga pembiayaan memang bukan tempat yang baik untuk perempuan. Tapi
bukan tipeku bersikap lemah. Seperti yang Ibu harapkan, apapun yang
terjadi, aku akan terus bertahan di sini. Meskipun aku perempuan, aku
tak pernah takut pada pria manapun.”
Muna sempat terdiam. Ada perasaan yang mengganggunya. “Menurutmu
sendiri bagaimana?” kata perempuan itu kemudian. Di wajahnya terbersit
kegundahan. “Ibu sebetulnya tidak tahu persis seperti apa lembaga
pembiayaan itu, Rien.”
Sinar mata Rien meredup. Tapi ia tak ingin menceritakan apapun pada
ibunya, bagaimana gejolak dalam pekerjaannya sekarang, bahwa setiap
hari rasanya ia ingin menghantam orang. Ia tak ingin mengecewakan
perempuan itu. Biarlah ibunya tahu yang baik-baik saja. Apalagi ia
tahu ibunya banyak berharap. Nampak jelas di mata sang ibu bagaimana
ia bangga atas pekerjaan yang baru lima bulan dijalaninya. Tapi Rien
tetap menjawab pertanyaan ibunya.
Kata Rien, “Apapun orang bilang tentang lembaga pembiayaan tergantung
siapa yang menyikapinya, Bu. Tidak semua lembaga pembiayaan seburuk
seperti yang Ayah pikirkan. Sejauh ini aku enjoy dan baik-baik saja.”
Rien memaksa dusta itu berkelabut, sementara pikirannya menerawang
jauh, kembali ke berbagai hal di kantornya yang panas membara.
Semua memang di luar perkiraan Rien.
Bulan September tahun lalu adalah bulan pertama Rien menginjakkan kaki
di kantor barunya, Vista Finance, lembaga pembiayaan yang
mengkhususkan operasi keuangannya memfasilitasi kredit kendaraan roda
dua. Rien masih ingat bagaimana dia berpikir itu hari terbaiknya
karena diterima bekerja di perusahaan itu sebagai field survei. Dalam
sejarah lembaga pembiayaan di kotanya, belum pernah ada perempuan
diterima dengan posisi itu. Rien senang, karena saat masih aktif
bekerja sebagai sales marketing di dealer Fridas, empat tahun ia
mengamat-amati dan berpikir betapa beruntungnya mereka yang bekerja
sebagai field survei di lembaga pembiayaan. Cukup lama ia
mengidamkannya. Di mata Rien, field survei itu keren, rapi, penting dan
selalu dibutuhkan. Bagaimana tidak? Lembaga pembiayaan merupakan
mitra inti dealer yang membiayai setiap berkas aplikasi kredit dan
field survei adalah ujung tombaknya. Di dealer-dealer penjualan yang
menjalin kerjasama, setiap lembaga pembiayaan menempatkan sedikitnya
dua orang field survei. Seluruh berkas aplikasi kredit yang masuk ke
dealer baik dari konsumen langsung maupun dari hasil kerja sales
marketing dan para broker, diserahkan pada field survei untuk diproses.
Hasil analisa lapangan field survei akan menentukan apakah konsumen
kredit atau calon debitur layak diberi fasilitas kredit atau tidak.
Fungsi mereka sangat vital dan keren. Itulah yang mendorong Rien
pindah begitu dilihatnya ada peluang.
Masih diingat Rien saat-saat pertama itu, hari pertama ia menginjakkan
kakinya di Vista Finance. Hari itu ia mendapati dirinya berada di
bangunan tujuh lantai yang sibuk. Di lantai pertama ia saksikan lusinan
orang keluar-masuk pintu, dan di dalam ia lihat lebih banyak lagi
kumpulan orang duduk mengantri di deret-deret kursi ruang tunggu.
Seorang perempuan, anggun dan cantik, Rien lihat cermat memanggil
satu-persatu para pengantri di depannya. Kemudian tampak dua perempuan
lagi, cantik-cantik semua seperti melon dibelah dua, sigap dan cekatan
melayani para pengantri yang menghadap setelah nama mereka dipanggil.
Para pengantri itu tentu datang untuk berbagai keperluan, namun lebih
banyak mereka adalah para debitur yang membayar angsuran kredit.
Di lantai dua, Rien menyaksikan pemandangan yang berbeda. Kehadirannya
disambut wajah-wajah tak bersahabat. Lebih dari selusin laki-laki
berwajah garang melangkah kesana-kemari. Ada yang berteriak. Ada yang
berdebat. Ada yang kalut seperti pengidap amnesia. Namun lebih aneh
lagi, ada yang berjalan dengan gaya mabuk terhuyung-huyung. Orang-orang
di lantai dua tak satupun mencerminkan manusia kantor. Cara bicara
mereka sama kasarnya seperti wajah mereka. Hari pertama itu Rien segera
paham, mereka itu para kolektor atau para tukang tagih.
Rien disambut oleh seorang pria murah senyum. Dari lantai dua si murah
senyum membawanya ke lantai lima. Di ruang lantai lima itulah Rien
bertemu dengan orang-orang yang sebagian sudah ia kenal. Di situ ada
lebih dua lusin laki-laki keren berkumpul di sebuah meja panjang.
Semua berpenampilan rapi dan wajah mereka bersih-bersih, sangat kontras
dengan yang dilihatnya di lantai dua. Ternyata ruang kerja para field
survei ada di lantai lima. Beberapa orang mendekat begitu Rien
muncul. Mereka yang telah mengenalnya memberi salam sambil
mengucapkan, “Selamat bergabung!” Ada juga yang langsung bergurau
menjuluki Rien: Cat Women! Sementara Rien masih ingin
berbincang-bincang, si murah senyum buru-buru mengajaknya lagi ke
sebuah ruangan.
Pagi itu seorang field survei sempat berbisik ke Rien, “Hati-hati jika
bicara di ruangan itu. Tempat itu mengerikan. Itu ruang singa.”
Sebuah peringatan!
Di ruang itu Rien dihadapkan pada laki-laki paruh baya bertubuh tinggi
besar, angkuh, hidungnya bengkok, tangan penuh bulu, wajahnya
memancarkan dominasi, dan tatapan matanya bisa membuat orang lain
gamang dengan naluri tak pernah takut menghantam. Laki-laki itu
menyalami Rien dengan cengkraman kuat tak peduli Rien perempuan. Ia
sempat kagum sebenarnya, karena dilihatnya Rien satu-satunya perempuan
yang berani bergabung sebagai field survei di kantornya. Ia juga kagum
mendengar jawaban Rien saat ia bertanya, “Kenapa kamu berani pilih
pekerjaan ini?” Jawaban Rien sederhana, “Dunia ini bukan milik
laki-laki, Pak.”
Begitulah. Mula-mula pria paling berkuasa di kantor itu mewawancarai
Rien dengan senang. Keduanya bicara ngalor-ngidul tentang seluk-beluk
pekerjaan. Dalam pembicaraan semua kalimat laki-laki itu menyiratkan
esensi bertarung, tak ada tawar-menawar, apalagi debat kusir. Tapi
pagi itu satu kali Rien coba-coba membantah, laki-laki itu langsung
menampar meja dan menegaskan pendapatnya tak boleh dibantah. Rien
geram, ingin rasanya ia mencakar-cakar wajah bengis itu, tapi setelah
dipikir tak mau ia terpancing, Rien hanya mengangguk. Namun Rien
segera menyimpulkan, yang dihadapinya pagi itu memang pemimpin
berkarakter “singa” yang memiliki kekuasaan memerintah dan otoritas
superbody di perusahaannya. Setelah semua selesai, si murah senyum
membawa Rien keluar. Mereka kembali ke ruang field survei dan bergabung
di sana.
Hari-hari berikut Rien sudah memulai pekerjaannya. Namun Rien kecewa,
ia ditempatkan di dealer yang tak sesuai keinginannya. Di tempatkan di
dealer Ardisialt, Rien meradang. Bagaimana tidak? Selama bekerja
bertahun-tahun di dealer Fridas, sudah tertanam di benaknya bahwa
dealer Ardisialt adalah musuh abadinya. Rasa tidak harmonisnya adalah
bawaan dari perang dingin bisnis berkepanjangan antara dealer Fridas
dan dealer Ardisialt. Namun penunjukan itu tak bisa diubah. Pihak
Vista Finance tak mau melihat sangkut paut semacam itu, maka
penempatan Rien di dealer Ardisialt adalah tugas yang harus
dipatuhinya.
Rien sadar ia akan mendapat kesulitan. Ia tahu orang-orang di
Ardisialt akan melihat wajahnya tak ubah mereka melihat Dealer Fridas
yang sangat mereka benci. Tak seorangpun mau bekerja dengan fakta ia
akan diabaikan atau diperlakukan seperti musuh. Namun itulah kemudian
yang terjadi. Di bulan-bulan pertama Rien menjalankan tugasnya di
salah-satu dealer cabang Ardisialt di pusat kota, bulan-bulan pertama
itu dilaluinya dengan sulit. Rien tak bisa melepas kenyataan bahwa ia
memang mantan orang Fridas, maka ia dikucilkan dan jarang disapa oleh
sales-sales marketing Ardisialt, sementara tiap hari orang
mondar-mandir di matanya, saling bercerita, memberi pelayanan, berbagi
berkas aplikasi, tapi ia hanya menonton. Untunglah di bulan-bulan
pertama itu, sementara banyak orang Ardisialt bersikap sinis dan
memusuhinya, ia masih terhubung pertemanan baik dengan dua sales
marketing baru, bernama Rere dan Dias. Dua orang itu yang banyak
membantunya, menghubunginya, memberinya berkas aplikasi secara
sembunyi-sembunyi. Bagi Rien, kehadiran Rere dan Dias ibarat soulmate
yang mengobati patah hatinya dan memberinya kekuatan hidup di ladang
musuh yang penuh ranjau. Tiga bulan pertama berkas-berkas aplikasi yang
Rien peroleh dari Rere dan Dias tak ada yang bermasalah. Hampir semua
konsumen kredit atau calon debitur dari mereka Rien proses dan di
dalam laporan hasil survei lapangannya Rien rekomendasikan dengan note:
layak! Namun memasuki bulan keempat Rien mulai waspada. Ia lihat
lama-kelamaan Rere dan Dias mulai ngawur.
Tindak-tanduk Rere dan Dias mulai berubah dan mereka mulai kehilangan objektifitas dalam memilah-milah calon debitur di lapangan. Keduanya mulai ikut-ikutan terkontaminasi konstruksi sesat instant marketing yang hanya fokus mengejar target dengan menghalalkan segala cara. Dengan halus Rien mulai menolak dan menghindar, apalagi setelah disingkapnya bahwa Rere dan Dias mulai dimanfaatkan oleh Gimon, seorang pria bergigi ompong yang sehari-hari mondar-mandir sebagai broker di dealer Ardisialt.
Pernah suatu ketika Rien hanya tersenyum ketika melakukan survei terhadap tiga calon debitur dari aplikasi sampah yang diberikan Rere dan Dias. Tiga calon debitur itu ternyata seorang pengangguran yang menyamar sebagai ustad, seorang mahasiswa drop out yang luntang-lantung tapi dengan kios service elektro milik temannya ia berlagak sebagai bos kios, lalu terakhir seorang buruh penyemprot hama yang gemar berjudi dan minum tuak.
Belakangan terbukti Rere dan Dias ternyata bajingan juga. Bermula dari gosip yang beredar di kantor bahwa ada dua konsumen bermasalah atau debitur hitam ada di daftar tagihan macet Rien. Ternyata itu bukan sekedar gosip.
Sejak ada dua debitur
hitam masuk dalam daftar tagihannya, di kantor Rien mulai dilolong oleh
gerombolan colector atau para tukang
tagih. Bahkan Rien sempat berhadapan dengan kepala colector bernama Contro, seorang pria sangar berbadan besar. Sambil
mengelus perut buncitnya yang tampak mau tumpah, Contro mengingatkan bahwa Rien
harus bertanggungjawab terhadap tagihan-tagihan prematur yang macet itu.
“Aturan main di sini sudah jelas. Kamu
yang harus tutupi tagihan macet itu,” kata Contro dengan pelototan mata penuh
ancaman.
Semua field survei di Vista Finance
ternyata sudah terbiasa menutupi tagihan prematur mereka yang macet menggunakan
uang pribadi. Itu aturan mainnya. Aturan main seperti itu sungguh di luar
perkiraan Rien, dianggapnya sangat tak adil, namun Rien tak ingin
berbantah-bantah dengan Contro. Rien akhirnya mulai menyisihkan gaji bulanannya
demi mengikuti aturan main itu. Agar tak terulang, Rien semakin selektif dan
ketat dalam menjalankan pekerjaannya.
Beberapa waktu setelahnya, berkat
lobi-lobi yang dilakukan para atasannya, aplikasi untuk Rien di dealer
Ardisialt bisa dibilang mulai lancar. Beberapa sales mulai bersikap terbuka.
Sayangnya itu terlambat dan itu bukan lagi puncak harapan yang rien cari. Rien
sudah merasa dikecewakan oleh Rere dan Dias, maka tak ada lagi keriangan dan
kegembiraan yang melimpah di hatinya meskipun banyak aplikasi kredit disodorkan
untuknya. Justru Rien “mengamuk” dan “apatis” dengan berbalik menolak
aplikasi-aplikasi permohonan kredit dari dealer itu. Rien malah merasa: orang-orang Ardisialt sedang berkonfirasi
untuk menghancurkannya!
Sales-sales Ardisialt yang belum banyak
tahu Rien dibuat tercengang oleh gaya survei Rien yang lugas tak kenal
kompromi. Sulit bagi sales-sales itu menyembunyikan fakta-fakta “busuk” di
balik aplikasi itu karena Rien menjadi sangat teliti, detil, tajam, bahkan
keras dalam menganalisa calon-calon debitur yang disurveinya. Banyak
sales-sales yang masih bau kencur di Ardisialt namun mereka merasa paling
pintar dan congkak, Rien beri pelajaran tanpa ampun. Timbulnya daftra panjang
aplikasi calon debitur yang selalu Rien tolak tentu saja membuat sales-sales
itu menjerit.
“Kok aplikasi kami satupun nggak pernah
ada yang diaprove? Semuanya ditolak?”
Pernah ada yang coba-coba protes keras pada Rien.
“Hei, yang survei itu kamu atau saya?
Semua saya tolak ada alasannya. Makanya cari calon debitur itu jangan
asal-asalan. Jangan coba-coba atur keputusan saya, ya!”
Bukan hanya sales-sales Ardisialt yang
merinding melihat Rien, bahkan head Field
Survei di Vista Finance pun sempat terkencing-kencing melihat
berlusin-lusin aplikasi yang ditolak perempuan itu hanya dalam waktu dua
minggu. Tepatnya hari Sabtu, langit kelabu pun menaungi Rien. Hari itu Rien
mendapat panggilan dan digiring masuk ke “ruang singa” untuk memperdebatkan keputusan-keputusannya.
Pemanggilan itu ternyata berkait pula dengan “keberatan” atau “upaya banding”
yang diajukan oleh dealer Ardisialt karena mereka merasa dirugikan oleh
keputusan-keputusan Rien. Di hari kelabu itu Omar sudah menunggu Rien di “ruang
singa” dan lelaki penuh bulu itu langsung meledak-ledak menyambutnya. Akhirnya
Rien tak bisa lagi menghitung berapa kali tangan atasannya itu menampar-nampar
meja penuh kegeraman. Satu jam lamanya jantung Rien dibuat berdegup. Meski Rien
bicara dihadapan Omar dengan segala kebenaran yang dimiliki, lelaki berbulu itu
tetap dominan dan tetap tak mau lunak. Ia terus mengaum meruntuhkan nyali Rien.
Kalimatnya mencakar-cakar.
“Kamu jangan gila! Ini bisnis. Jika kamu
koboi-koboian bisa hancur bisnis ini. Mustahil dari semua aplikasi mereka
satupun tak ada yang layak. Jika kamu memang sudah tidak sanggup lagi, saya
tunggu surat pengunduran diri kamu di meja ini. Jangan tolak-tolak seenaknya,
dong!”
Rien meringkuk dan merinding setiap
mendeengar atasannya itu bicara. Tapi Rien memahami, di balik lubuk jiwa
terdalamnya sang atasan sebenarnya pria baik. Hanya karena ia menangani sebuah
perusahaan yang besar, maka sosok seperti Omar dituntut mengubah dirinya
menjadi yang berbeda: menakutkan seperti
singa dan meledak-ledak seperti cambuk api! Itu ia lakukan tentu untuk
menjaga otoritas, menjaga ketertiban kantor, menunjukkan dominasi,
mengendalikan, melindungi, menjaga, dan memperluas pengaruhnya. Setiap kantor
butuh pemimpin yang lugas dan keras. Jika tidak, maka simaklah pepatah ini: kalau di hutan tak ada lagi singa, beruk
rabun pun bisa jadi raja!
Sulit untuk menangkal Omar, lemah saja
Rien menjawab: “Saya minta maaf, Pak. Saya mengambil keputusan berdasarkan
fakta survei. Aplikasi-aplikasi itu memang tak ada yang layak.”
Meski suara Rien lemah, ternyata ucapannya
dinilai Omar sebagai satu bantahan yang mencolok. Tiba-tiba saja—DUBRAK—tangan
keras Omar menampar meja lagi. “Saya bilang pasti ada yang layak! Jangan kamu
bantah saya. Saya putuskan kamu harus survei ulang lagi semuanya!”
Sudah pada galibnya, setiap pertemuan
empat mata dalam menyelesaikan masalah kantor antara atasan dan bawahan akan
selalu menampakkan keganasan berlebih dari sang atasan, terlebih jika bawahan
hanya mengkerut seperti daging.
Tapi Rien coba bersuara lagi, karena ia
pikir mungkin itu hanya presure atau
gertakan Omar untuk mengujinya. “Akan saya dalami lagi, Pak. Tapi saya akan
tetap pada sikap profesional saya.”
Tahu-tahu saja—DUBRAK—aksi menampar meja
kembali terulang. Rien barangkali lupa bahwa setiap pemimpin tidak pernah mau
mengambil resiko yang lebih besar. Pemimpin cenderung memilih mengorbankan satu
pengikut daripada eksistensinya terancam.
“Jika saya bilang kamu survei ulang
semuanya, ya harus kamu survei ulang semuanya! Apalagi yang mau kamu dalami?
Kamu pikir kita sedang membahas lobang? Jika nanti saya bilang ada aplikasi
yang layak diaprove, ya harus kamu aprove! Jangan sampai saya bersikap
lebih keras lagi dari ini. Kamu paham?” Kalimat-kalimat Omar yang disertai
tudingan jari itu akhirnya efektif membuat Rien mundur lebih cepat dari
ruangan.
Rien keluar dari “ruang singa” dengan
tubuh basah kuyup. Di ruang itu keringatnya ternyata memancur lebih cepat
karena dipompa ketegangan dan ketakutan. Itulah peristiwa yang membuat Rien
semakin goyah. Ia merasa masa depan pekerjaannya mulai suram. Sesungguhnya
sekarang ini ia merasa sedang berada di persimpangan yang pelik. Ia pun semakin
tak simpatik dengan dealer Ardisialt. Ia muak, jijik, bahkan sudah malas
rasanya berhubungan dengan orang-orang di dealer itu. Tapi entah kenapa,
berulangkali Rien mengajukan permohonan agar dipindahkan ke dealer lain, head field survei Vista Finance tetap
berkeras menempatkannya di Ardisialt.
Begitulah. Hingga pagi itu di rumahnya
pikiran Rien sebenarnya masih terombang-ambing. Ia gelisah antara lanjut atau
usai: galau!
“Rien, kok malah melamun?” suara Muna
membuyarkan pikiran Rien yang masih menerawang. “Kamu sedang menyimpan masalah
ya? Cerita dong jika ada masalah.”
Rien menggeleng. “Aku hanya memikirkan
teman-teman lamaku di dealer Fridas, Bu.” Rien sengaja berdusta, karena
bagaimanapun ia tak ingin ibunya tahu tentang keresahannya. Rien merasa harus
tetap kuat di hadapan ibunya. Apalagi ia lihat, betapa ibunya sangat bangga
melihat ia menjalani pekerjaannya di Vista Finance.
“Iya, ibu juga sebenarnya kangen ingin
melihat teman-teman lamamu. Apa kamu tidak pernah sesekali menengok mereka di
dealer tempatmu dulu bekerja?”
“Tidak sempat, Bu. Hanya sesekali saja
kami saling telepon,” jawab Rien sambil menengok arlojinya.
“Bertemu Ellen juga tidak pernah, ya?”
“Sejak berhenti kerja dari dealer Fridas,
baru satu kali aku ketemu Ellen. Katanya sih dia sekarang sudah konsentrasi
jadi penulis.” Rien bangkit meninggalkan meja makan.
“Memang,” sahut Muna sambil mengangkat
piring dan gelas dari meja. Lalu sebentar perempuan itu meletakkannya ke tempat
pencucian piring. “Tuh kemarin ada cerpennya yang dimuat koran lagi dan itu
yang tadi membuat ayahmu panjang lebar membahasnya.”
Rien menuju ke ruang depan. Muna mengikuti
langkahnya. Di ruang depan Rien memeriksa koran-koran di meja ayahnya.
Didapatinya koran yang ia cari.
“Cerita apa sih yang ditulis Ellen, kok
bikin ayah berisik sekali tadi.”
“Bukan soal ceritanya yang membuat ayahmu
ribut-ribut, tapi soal kamu yang sangat diharapkan ayahmu bisa jadi penulis
juga seperti Ellen. Begitulah ayahmu, jika sudah soal tulis-menulis dia tak mau
darah-dagingnya kalah dari orang lain.”
Rien tak menyahut. Ia serius dengan koran
yang ia pegang dan membaca cerpen Ellen yang dimuat di koran itu.
“Bagus ya cerita yang ditulis temanmu itu,
Rien?’ tanya Muna sambil mengambil sapu lantai dari balik pintu.
Rien tak menjawab. Ia hanya tertawa-tawa
setelah menyelesaikan cerpen yang dibacanya.
“Lho, kok malah ditertawakan, Rien?”
“Ini sih yang ditulisnya kisah nyata
tentang temannya sendiri, Bu. Ini cerita tentang masa kecil Alin yang pernah
menderita autis. Tega banget sih
Ellen menulis ini.”
Rien akhirnya mengembalikan koran itu ke
meja ayahnya. Saat melihat jam sudah menunjukkan pukul delapan, ia kemudian
mulai bersiap untuk berangkat kerja.
Seperginya Rien, Muna tetap sibuk
menyelesaikan pekerjaannya di rumah. Setelah dirinya agak santai, Muna ternyata
tertarik juga membaca cerpen tentang kisah masa kecil Alin yang ditulis Ellen.
Diambilnya koran minggu terbitan Jakarta itu dari meja suaminya. Lalu di tengah
kesendirian Muna mulai tenggelam membaca cerpen Ellen yang terdapat di salah
satu halaman di koran itu:
No comments:
Post a Comment