BAB TIGA
Jauh di tempat lain, tatkala sang surya kian memancar, tampak burung-burung kenari dan kutilang gemuk berloncatan kesana-kemari di rerimbunan beringin yang menaungi warung Mak Warjun. Jam menunjukkan pukul sebelas lewat. Wajah perempuan paruh baya itu sumringah melihat anak-anak dari sebuah sekolah tak jauh dari warungnya mulai berhamburan keluar. Di tengah udara panas kemarau, setiap jam istirahat terakhir, waktunya bagi anak-anak berseragam putih biru itu menyerbu warung Mbak Warjun, membeli minuman dingin. Titik keringat mulai mengembun di hidung perempuan itu manakala ia mulai sibuk memecah bongkahan-bongkahan es. Pak Warjun yang sehari-hari menunggu pos ojek tak jauh dari warung, menghampiri istrinya dan ikut membantu. Mungkin siang itu tarikan ojeknya sedang sepi.
Di warung Mak Warjun yang teduh, seperti biasa, selalu ada segerombol
pria berkumpul dan bercakap-cakap kosong sambil minum kopi dan merokok.
Mereka itu pelanggan tetap warung Mak Warjun. Merekalah kumpulan sales
marketing dealer Fridas yang kantornya berdiri persis di belakang
warung Mak Warjun. Sudah pada galibnya, menongkrong dan mengobrol
merupakan bagian dari aktifitas sales otomotif roda dua. Tapi sales
seperti mereka sudah keterlaluan, setiap hari selalu ada dan sepanjang
hari hanya menghabiskan waktu di situ. Ada-ada saja yang enak dan betah
mereka obrolkan, kebanyakan masalah politik, filsafat, gosip-gosip
artis, atau nasib sepakbola negeri ini yang, kadang bisa diharapkan, kadang kembali ke jaman batu.
Namun lebih sering mereka hanya saling membanyol satu sama lain.
Ada-ada saja yang mereka banyolkan, yang terhangat tentu saja bagaimana
mereka memparodikan gaya bicara tengil seorang bupati egomaniak nun di
sana yang heboh karena perkawinan singkatnya dengan bocah belia
terbongkar. Mak Warjun tak pernah mengeluh warungnya ditongkrongi
sales-sales itu dari pagi hingga sore.
Sudah tradisi bertahun-tahun di
warungnya, setiap sales yang kumpul begitulah adanya. Untungnya sales
tua-muda seperti mereka selalu tahu aturan. Begitu melihat anak-anak
sekolah menyerbu warung, mereka keluar satu-persatu sambil membawa gelas
kopi masing-masing dan pindah ke bangku-bangku panjang di bawah
kerindangan pohon beringin.
Pelanggan yang tahu diri! Jean, seorang wanita berpenampilan kaya yang
sedang singgah makan siang di warung itu, membatin sambil tersipu
melihat tingkah-laku sales-sales itu. Tapi wanita anggun melankolik yang
mengenakan baju merah casual itu melihat seorang di antara mereka
bersikap agak berbeda. Sedikit jaim, laki-laki di hadapannya itu tidak
menunjukkan tanda-tanda akan ikut beranjak dari kursi seperti
rekan-rekannya yang lain.
“Wong edan katrok, bangun! Mentang-mentang ada cewek, heo!” Sales
terakhir bertubuh bulat gelap yang bergegas keluar, iseng-iseng meledek
temannya itu.
Yang diledek tak merespon. Cuek. Ia meneruskan keasyikannya menulis.
Entah apa yang ditulisnya di tumpukan kertas berlipat-lipat itu. Jean
yang duduk semeja di depannya hanya tercenung sambil
memandang-mandangi. Akhirnya, setelah semua temannya pergi, lelaki itu
melirik Jean sambil bergumam-gumam bicara sendiri.
“Dasar Bedul. Blarak gembul! Jangan dianggep, Mbak. Orang gila semua
mereka itu. Orang-orang putus asa. Frustasi. Galau. Masa depan mereka
mulai tak pasti.”
Segera Jean sadari laki-laki itu ternyata bicara padanya. Setengah gugup ia menimpal, “Mereka temanmu juga, kan?”
“Ho-oh sih. Setahun lalu aku juga sales seperti mereka. Tapi sekarang
aku sudah coba yang lain. Aku Banting setir menjadi penulis. Yang ini
agak jelas masa depannya.”
Wow! Jean menarik napas panjang. “Dari sales ke penulis, kedengarannya
seksi, seperti menikung di belokan tajam. Pasti itu pilihan spektakel
bagimu,” komentarnya, sambil mengedarkan pandangan ke anak-anak sekolah
yang semakin ramai mengepung Mak Warjun. Sementara ia juga lihat
bagaimana Mak Warjun sangat sabar dan bersemangat melayani mereka. Mak
Warjun yang menyendok es dan menuangkan minuman satu-persatu ke gelas,
sementara suaminya tak henti-henti memecah balok es. “Jadi penulis
pasti harus banyak berpikir,” tambah Jean. “Dari keseriusanmu aku lihat
kamu memang berbakat.”
Dipuji wanita yang bukan main cantik dan wanginya, ada kebanggaan
membias dari laki-laki muda itu. Matanya berbinar-binar tak berkedip,
mulai berani mengagumi Jean. Tanpa Jean berharap tiba-tiba ia
mengulurkan tangan, isyarat mengajak Jean berkenalan. Pria-pria memang
selalu begitu, tergesa-gesa mengajak setiap wanita berkenalan bila
dipandangnya wanita itu menarik.
Jean menyambut tangan itu. Tanpa ragu.
Serta-merta laki-laki itu penuh percaya diri menyebut namanya. “Ellen.
Namaku Ellen Marita,” katanya mantap dan bangga. Bagi yang belum tahu,
ternyata nama belakang “Marita” merupakan perpaduan dari nama orang
tuanya. Bapaknya bernama Marno, ibunya bernama Rosita.
“Namaku Jeani Sofi. Panggil aku Jean, ya,” balas si cantik berbaju merah.
“Bagus juga namamu,” puji laki-laki bernama Ellen itu, sumringah,
sambil melepas jabat tangannya. “Orang bilang setiap nama menjelaskan
karakter orangnya. Terus terang, namamu indah.”
“Ah, apalah artinya sebuah nama,” tepis Jean.
“Bagiku nama selalu punya arti,” Ellen Marita tetap mempertahankan
pendapatnya. “Dari nama kita ada hal-hal mekanis ikut menyifati
kepribadian kita.”
Jean mengeluarkan tisu dari tas. “Entah. Aku kurang mengerti yang
begitu-begitu. Barangkali selain berbakat menjadi penulis kamu juga
berbakat menjadi filsuf,” ujarnya sambil membersihkan wajah dengan
selembar tisu.
Ellen tersenyum. Lalu ia tak berhenti mengajak Jean bicara ke soal-soal lain hingga keduanya mulai akrab di situ.
Sementara di bawah rindang beringin, belasan sales yang tadi sempat
diolok Ellen tak punya masa depan, belum satupun beranjak dari keasyikan
mereka bersantai-santai. Di situ mereka terus ngewadul sambil minum
kopi serta merokok tak putus-putus. Agaknya tak ada pekerja manapun di
hamparan jagat ini yang memiliki waktu luang sebanyak mereka hanya untuk bermalas-malas. Di antara
mereka ada yang tampak serius, tapi beberapa wajah tampak jenaka dan
suka humor, penuh lelucon dengan kesukaan meniru kalimat-kalimat
seperti: Jadi gue harus jungkir-jungkir sambil bilang woow gitu!
Di situ ada sales bercelana jeans, berkemeja gelap, sedang menyandar
tegak di beringin sambil merokok dengan pikiran menerawang entah
kemana, namanya, tentu saja Tara. Sekilas Tara seperti lelaki kuat, kokoh, namun
sesungguhnya ia lemah saat sedang gundah. Jika Tara sedang terpaku
dengan banyak pikiran melayang, itu karena ada harapan sedang
terbanting-banting di dirinya dan dengan terus berpikir ia coba
bertarung menyelamatkan harapannya. Siang itu di mata Tara memang
terpancar semacam harapan, namun pikiran bolak-balik membambingnya,
terbimbang ragu antara mungkin dan tidak mungkin. Itulah Tara. Sekilas
kharismatiknya memang menonjol di antara yang lain, namun tak bisa
ditutupi kharismatik itu kadang timbul-tenggelam karena belakangan
otaknya mulai penuh cabang. Ia sudah kehilangan fokus bekerja di Fridas.
Belakangan ia sering meracau tentang ide-ide imajinernya. Tentang seni. Tentang dongeng. Tentang entahlah.
Berdiri tak jauh dari Tara, seorang sales bertubuh kurus dengan wajah
manis yang lunak. Itulah Alin yang masa kecilnya pernah buruk,
menderita autis, dan sembuh karena Tuhan berkehendak. Siapa mengira
setelah sekian tahun dipeluk penyakit itu, Alin sekarang berpenampilan
wajar dan bisa kembali ke kehidupan normal. Namun belangan, katanya,
setelah penyakit itu lenyap dari kehidupannya, ia kerap dikunjungi
keanehan-keanehan. Di malam tertentu ia sering mengalami halusinasi
serta melihat penampakan-penampakan samar dunia astral. Bulan ini genap
dua tahun Alin bekerja di Fridas.
Kemudian, seseorang yang wajahnya selalu khidmat, tampak santai
menduduki salah satu bangku panjang di bawah beringin, bersiul-siul
hingga tulang pipinya menonjol jelas, itu sales bernama Joe. Di wajahnya
terlihat jelas Joe jenis pria yang fanatik memelihara janggut, namun
itu tak ada sangkut-paut dengan mertuanya yang seorang guru ngaji.
Di sebelah Joe, duduk sales imut bernama Mori. Ia seorang FB-mania.
Mori juga sosok sales yang fashionable. Ia pintar memantaskan segala
pakaian di tubuhnya. Mori punya ribuan teman di facebook. Di jejaring
sosial itu Mori pernah mengupdate status__ “tolong infonya dunk kerjaan
yang gajinya 15 juta perbulan”__ dan segera setelah muncul banyak like
dan coment bermacam-macam, ada yang iseng ikut coment di status itu__
“ada bro! tapi kerjanya di Jawa Timur. nguras lumpur Lapindo pake
sedotan es __ Mori tertawa ngakak membacanya. Di Fridas baru setahun
Mori bekerja.
Lalu berturut-turut ada empat sales duduk borongan di bangku lain dekat
Joe dan Mori. Di situ ada sales bernama Noveri yang bapaknya seorang
dalang. Noveri sedikit-dikitnya mulai pintar meniru gaya-gaya petruk
dan buto cakil yang sering dimainkan bapaknya di pentas pewayangan.
Sorot mata sales ini paling tajam di antara semua temannya. Rambutnya
berpual-pual tak pernah diurus. Jarang mandi karena galau dan banyak pikiran.
Sales di sebelah Noveri bernama Kim. Tubuhnya bulat pendek. Wajah yang
ini tidak pernah cerah, selalu ditekuk seperti donat. Belakangan hidup
Kim digerogoti hutang hingga ia terlampau sering memikirkannya. Kim tak
pernah sempat lagi memikirkan apapun tentang teori-teori indah hidup
ini kecuali hanya menghafal rumus-rumus untuk melunasi
hutang-hutangnya. Salah satu rumus untuk melunasi hutang dengan cepat yang mulai digandrungi Kim adalah sering ikut bermain toto gelap online via handphone. Sesekali menang, tapi lebih sering kalahnya. Jika bersiul kabar di telinga Kim bahwa ada sumber-sumber
tempat mendapat angka jitu maka tak peduli rimbanya di entah berantah, Kim
termasuk petarung tingkat dewa berkait kemampuannya menyisir kabar itu
dan mencari keberadaan tempatnya tak peduli ia harus mengobrak-abrik
semua alamat di kolong kota. Kim sudah berkeluarga. Anaknya dua.
Di sebelah Kim adalah Mito. Sering melamun, sering bicara sendiri, dan
jika bicara sering berkias-kias menumpahkan seisi alam semesta seperti
bintang, gunung, laut, bulan, hujan, mawar, kentang, kodok, matahari,
kadal, kutu busuk, dan banyak lagi sekehendak hatinya. Mulut kecilnya
suka menasehati tapi tidak suka dinasehati. Setiap Mito kumat dengan
kata-kata bijaknya, hampir dipastikan ada sosok orang tua sedang
menyurup tubuhnya.
Berikutnya, boleh dibilang inilah sales berpenampilan kurang menarik di
kota ini. Hidungnya mancung, tapi ke dalam. Cara berpakaian sekenanya.
Sepatu andalannya pemberian seorang teman, bermerek Mendes, tapi sudah
tidak orisinil karena telah tujuh kali dipermak tukang sol. Salah satu
matanya cacat. tapi Tuhan memang adil. Boman, begitulah namanya,
ternyata laki-laki yang menyenangkan dan sangat dipuja seorang
perempuan kampung cantik bohay bernama Lasmi yang kini menjadi istrinya.
Sebelum bekerja di Fridas, Boman seorang penyiar radio. Suara seksinya
yang serak-serak basah di udara, itulah yang bertahun-tahun berhasil
memikat dan membuai Lasmi yang hidup di umbul pelosok nan sepi berteman
radio transistor bututnya. Konon untuk mengirim salam-salaman dan
request lagu, Lasmi rela berjalan kaki belasan kilometer menggapai
sebuah kios telpon satelit, dan setiap ia minta lagu kesayangannya
diputar yang berjudul “Suara Hatiku” dari Nike Ardila, lagu itu selalu
spesial dikirimnya hanya untuk someone tersayang: Aak Boman! Dan Boman
pensiun menjadi penyiar setelah radionya tutup, namun sebelumnya Boman
sudah berhasil memboyong Lasmi ke kota. Anak Boman tiga, masih
kecil-kecil.
Di ujung bangku, duduk nongkrong di dekat Boman, ini sales antik yang
pandangannya selalu menunduk ke bawah. Ia satu-satunya sales yang
mengenakan kawat gigi. Namanya Jim. Nama Jim tidak ada sangkut pautnya
dengan silsilah bule. Ia genuine part Indonesia. Nama lengkapnya Jiman.
Sudah dua tahun Jim menjadi sales di dealer Fridas dengan prestasi
penjualan hancur. Ada penghargaan spektakuler pernah diraih Jim di malam
penghargaan para bintang yang diadakan rutin setiap tahun oleh group
dealer Fridas. Di salah satu malam penghargaan Jim pernah dipanggil naik
panggung dan menerima bingkisan bersampul hitam untuk kategori khusus:
Sales termalas dengan penjualan terkecil dan diskon terbesar. Sepulang
acara, bingkisan itu dibuka di kantor. Isinya: selembar surat
peringatan SP-2!
Sales berikutnya berusia 23 tahun. Masih muda. Sayang agak lamban.
Wajahnya mellow dan pendiam. Namanya Vani. Di antara semuanya, Vani
satu-satunya sales yang tak mau menonjol baik bertingkah-laku maupun
bicara. Di usia sangat muda, Vani telah lulus melewati malam-malam
gelisah pencari cinta, karena Tuhan telah memilihkan untuknya seorang
wanita pendamping hidup. Di rumah, di kantor, di manapun berada, hidup
Vani datar. Ia hanya ikut kemana arus teman membawanya. Keunikan Vani
satu, di antara semua teman hanya ia yang memiliki tatto. Tampak tatto
kecil di lengan kanannya, bergambar ikan cenang berenang.
Selanjutnya di situ ada sales bernama Kance. Tubuhnya lebih kurus
ketimbang Alin. Kance tipe pria santai dan tergila-gila pada kopi.
Karena kopi jua ia tak pernah mencicipi tidur lebih dari empat jam.
Kance sepintas santai dan serius, namun di jidat lebar dan kepala
gundulnya tersimpan sense of humor yang tinggi.
Selanjutnya jangan salah mengira, yang bertubuh tambun dan berkulit
porong dekil, itu bukan kuda nil atau genderuwo jantan, itu Dullah.
Sehari-hari sales itu dipanggil Dul. Tapi kemudian banyak yang latah
memanggilnya Bedul. Seperti dalam banyak kasus pergaulan, kepercayaan
diri orang seperti Bedul biasanya sangat tinggi, memang begitulah
kenyataannya. Di kalangan orang-orang Fridas ia dijuluki “Blarak
gembul” yang artinya jelas berkaitan dengan tingkah-tingkah mahatolol.
Dan sales terakhir yang berada di bawah pohon itu bernama Yoni. Nama
lengkapnya Supriyoni. Penampilannya gendut, wajahnya boros, seboros
kacamata minus yang ia kenakan. Yoni termasuk jenis joke in roll karena
baginya segala sesuatu bisa dibanyolkan. Meski ingin, Yoni belum
menikah. Tapi Yoni tetap bertekad, hanya wanita cantik yang layak
memdampinginya. Itu sebab teman-teman yang merasa masih waras melihat
Yoni seperti Man & Moon karena di tengah kelangkaan ada wanita
cantik mau menikah dengan pria berwajah pas-pasan, ternyata Yoni masih
memiliki mimpi-mimpi cerdas seperti itu. Dari sosok Yoni barangkali bisa
dilihat bagaimana mimpi pungguk bisa begitu menarik. Sebagai sosok
optimistik, Yoni selalu care akan penampilannya. Demi menjaga penampilan
sehari-hari, Yoni tak pernah lupa membawa jimatnya, sebuah kaca bulat
spion motor tua.
Begitulah mereka, hingga menjelang zuhur tetap tak ada satupun yang beranjak.
Dan siang itu setengah lusin bungkus rokok semuanya ludes.
“Habis deh knalpot kita!” Mito yang merokoknya paling beringas mengguncang-guncang kotak terakhir.
“Gila, ini kereta apa jet? Ngebut banget!” Tara juga tak urung meremas kotak-kotak rokok yang kosong.
Bagi para perokok berat seperti mereka, rokok memang seperti obat bius. Banyak pecandu tak peduli bagaimana
rokok menjelma sebagai pembunuh mematikan. Tak diketahui kapan, di
mana, banyak orang mati sia-sia setelah puluhan tahun menjadi pecandu
rokok. Satu-satunya pilihan praktis untuk berhenti hanya menjahit
mulut.
Tara diam. Agak lama. Semua perhatian teman-teman tertuju kepadanya
karena mereka tahu di balik wajah Tara yang lugas dan tampan
bersemayam gudang dengan berbagai nur akal tak habis-habis. Di saat-saat
kritis kehabisan rokok, sementara uang sudah tak ada, Tara selalu
seperti petunjuk bagi teman-temannya. Ia tak ubah mercu suar bagi
musafir yang kehabisan air di gurun. Jika lama diam, Tara memang sedang
memutar otaknya. Tak butuh waktu berjam-jam. Tara akhirnya
berjingkat-jingkat merapatkan kepala ke dinding papan warung Mak
Warjun. Dari sebuah lubang sebesar kutil, diintipnya ternyata Ellen masih
di dalam asyik bercengkrama dengan wanita kenalannya. Lalu Tara
kembali memandang ke teman-temannya.
“Ada yang berani minta uang beli rokok sama Wong edan ora katoan?”
tantang Tara. Wong edan ora katoan adalah julukan mereka untuk Ellen.
Serempak semuanya menggeleng. Ellen bukan seorang perokok. Wong edan
ora katoan paling benci kepada segala yang berhubungan dengan rokok.
Jadi mustahil ada yang sanggup menjawab tantangan Tara, kecuali ada
telinga yang sanggup mendengar kotbah Ellen bukan hanya tentang
bahayanya 1001 racun rokok lengkap dengan nama-nama kimianya tapi juga
melebar ke masalah tata niaga cengkeh dan masalah halal-haram. Semua
merinding jika berurusan soal rokok di depan Wong edan ora katoan.
Tara tak memaksa. Sesungguhnya bukan itu ide yang sedang dipikirnya.
Di saat semua wajah tegang menunggu apa gerangan yang akan dilakukan
sang kancil, Tara mengajak Alin menjauh dan keduanya berdiskusi.Tara
menceritakan sesuatu ke Alin hingga Alin terperangah agak marah.
“Lancang. Dia nggak bilang-bilang,” omel Alin. “Memang kapan cerpen itu dimuat? Di koran apa?”
“Sudah jangan marah,” bisik Tara. “Korannya ada di rumahku. Cerpen itu
baru-baru ini dimuat. Yang penting hari ini dia kita todong dulu.”
Alin setuju, walau kesal. Akhirnya mereka mengutus Joe menemui Ellen, membawa memo yang ditulis Fikar dan ditandatangani Alin, berbunyi:
Hei Katrok, etikanya begitu ya? Aku sudah baca cerpenmu kemarin.
Seenaknya menulis cerita masa kecilku yang menyedihkan tanpa ijin. Tapi
aku mau berdamai. Honornya kita bagi dua. Sebagai persekotnya, sekarang aku minta uang seadanya dulu. Penting! GPK. GPL. GPM.
“Apa itu tadi artinya GPK-GPL-GPM?” tanya Boman ke Fikar.
“Gak pake kotbah, gak pake lama, gak pake marah,” jawab Fikar.
Boman manggut-manggut.
Di warung, Ellen masih asik tertawa-tawa bersama Jean. Agaknya obrolan
mereka makin serius. Saat Joe muncul dan menyampaikan memo yang
dibawanya, mulut Ellen terkunci, tangannya gemetar, wajah memerah.
Akhirnya tuntutan itu dipenuhi tanpa perlawanan dari Ellen. Sadarlah
Joe, kenapa selama ini orang-orang menyebut memo sebagai surat sakti.
Joe akhirnya kembali ke pohon beringin sambil bersiul-siul. Semua wajah
kembali bergembira melihat Joe membawa hasil dari misinya.
Begitulah akhirnya. Di bawah beringin rindang itu asap pun kembali mengepul. Wajah-wajah kembali bersukacita.
Kepala Mito bisa melayang-layang lagi karena rokok. “Benar juga jika
dikatakan, hidup ini melodrama, rokok dan manusia seperti monopati,
setiap melodrama dibangun dari monopati,” dan asap rokok itu membuatnya
langsung disurup Oliver Marchand.
“Jangan ngoceh, To. Mau baca puisi pergi sana ke Taman Ismail. Atau
bilang sana sama Wong edan ora katoan, kalo mau jadi aktifis rokok
pergi sana jauh-jauh ke Singapura. Emang kalo dia benci sama rokok kita
harus ikut? Nggak segitunya kalee…” celoteh Yoni.
Tawa pun pecah berderai-derai mendengar banyolan Yoni.
Di antara semua, Kim yang tertawanya tidak lepas. Kim memang tengah
terjebak di titik kubangan tengik hutang-hutang yang merampas
keceriaannya. Ia tak mengira hutang memberinya mimpi buruk. Untunglah ia
belum skeptis menyikapi hidupnya. Belum terdengar ia berkata letih dan
belum pernah terucap ia gentar seakan ia enggan melepas apa yang
disebut bangkit dan berjuang. Sekarang keadaannya memang belum baik dan
wajahnya masih muskil dari terang. Apapun keceriaan mudah luput karena
hutang-hutang tengik itu lebih berkuasa di kepalanya.
“Sudah jangan dipikir terus, Kim. Siapa tahu besok kamu dapat angka toto jitu, pasang sebanyak-banyaknya biar langsung ketumpahan duit sekarung,” Yoni menepuk pundak Bokim.
“Betul. Masalah dan kekurangan hal biasa dalam hidup kita,” Mito ikut
menyahut. “Saya ingat ucapan Monten filsuf Perancis, bahwa manusia
sebenarnya tidak terpengaruh dengan yang terjadi tapi dia terpengaruh
pikirannya sendiri tentang apa yang terjadi.”
Kim hanya diam. Memang, baginya setiap esok selalu ada harapan. Ya harapan, tentu saja buai harapan dari pasang toto gelap!
Tak terasa setelah mereka bicara kesana-kemari, terdengar bedug dan
suara muazin mengumandangkan azan Zuhur. Suara azan itu menyayat hati.
Cukup jelas didengar dan magis menyentuh jiwa-jiwa yang mati. Tapi tetap
saja, mereka tak beranjak. Satu jam tak terasa rokok di hadapan mereka
kembali ludes. Jika sudah begitu, semua kembali blingsatan dan
uring-uringan.
Di tengah kebingungan teman-temannya, Fikar menyuruh Bedul dan Jim
mengintip lagi ke warung Mak Warjun, melihat apakah Wong edan ora katoan
masih di dalam. Satu-satunya teman yang bisa disasar memang Ellen.
Tiba-tiba Bedul berteriak. “Dia sudah pergi, heo! Nggak ada lagi!”
Kaget semuanya, maka terdengarlah suara serempak. “Siapa yang nggak ada?”
“Wong edan, dia sudah pergi! Perempuan cantik tadi nggak ada juga,” Jim berseru.
“Ah, coba tanya sama Emak,” kataTara.
Jim dan Bedul masuk ke warung. Boman mengikuti dari belakang. Mak Warjun dan suaminya sedang duduk-duduk santai.
“Mak, kemana Wong edan ora katoan?” tanya Jim pada perempuan tua itu.
“Ya pergilah, naik mobil bagus dibawa cewek tadi,” jawab Mak Warjun enteng.
“Kok bisa, Mak?”
“Ya bisa aja. Makanya kamu bertiga itu punya tampang jangan pas-pasan seperti cobek sambel!” kata Mak Warjun ketus.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment