Saturday, August 17, 2013

MAN & MOON (Satu)



BAB SATU

Pagi masih diliputi semburat gelap. Sebagaimana hari dimulai, selubung aktifitas merekah sesaat setelah orang-orang mendengar azan Subuh. Panggilan muazin menyayat-nyayat layaknya cambuk langit menghardik jiwa-jiwa yang masih tenggelam di balik selimut, membuyarkan lena mimpi, menggetarkan sayap-sayap kegelapan. Pukul empat tigapuluh menit sayup-sayup azan berakhir di tempat jauh.


 Di sebuah kota di Selatan pulau Sumatera, angin subuh bergerak lagi dan bayang surya perlahan mengintip dari ufuk nun di sana. Kokok ayam belum berhenti bersahut-sahut. Seperti hari yang sudah-sudah, sergapan dingin pagi tak menghalangi dimulainya bunyi kehidupan berbagai-bagai, berbaur menjadi satu. Deru kereta batubara, hiruk pedagang yang berkeliaran bahkan sejak pukul dua, berisik televisi dan mesin kendaraan, orang bicara, denging pompa air, kicau burung, rengek bocah menangis, semua menghasilkan suara yang berlangsung serentak. Begitulah rutin bebunyian yang beranjak layak nyanyian tiada henti dan akan semakin ramai seiring fajar kian menerang dan jubah-jubah kelabu kegelapan benar-benar telah takluk oleh cahaya sang surya.


Bandar Lampung, begitulah nama kota yang dikitari lembah dan lautan itu, kota yang memikat dalam bayang-bayang perbukitan dan baris- gunung di Selatan Sumatera. Tebing-tebing tinggi yang membentang dari Timur ke Utara kota, menghadap langsung ke garis pantai pesisir teluk, tempat bermukim segala rupa manusia baik penduduk asli atau pendatang, mentakzimi gerak teratur roda kehidupan. Di Selatan kota, hutan-hutan nan jauh sebagian telah dibangun menjadi wilayah baru di mana pemukimnya kebanyakan bertani. Tetapi di tubir Selatan lebih dekat ke pusat kota, dekat laut, sepanjang teluk atau pesisir lebih banyak dimukimi dan digarap secara luas sebagian oleh nelayan dan sebagian oleh pedagang. Sementara bagian Utara dan Timur kota di daratan-daratan tinggi berbukit-bukit, sebagian besar pemukim berladang dan berternak dan sebagian ikut berdagang. Di antara semua, banyak pula para pegawai, buruh, pekerja-pekerja swasta, ikut menjadi pemandangan sehari-hari aktifitas warga kota.

Jam enam pagi, kota itu semakin terang. Kabut terakhir menyingkir, semua wajah dan denyut kehidupan tersingkap menampakkan citra perkotaan yang maju. Sepuluh tahun terakhir kota Bandar Lampung yang berjuluk Kota Tapis Berseri memang terus berpacu menata penampilan. Pengembangan dan pertumbuhan kota telah menampilkan dua wajah baru. Di wilayah Timur dan Utara yang didominasi perbukitan dan dataran-dataran tinggi, banyak gedung tinggi telah berdiri dan beberapa titik diproyeksi menjadi kawasan industri terpadu. Di wilayah Timur dan Utara tertata pula pemukiman-pemukiman penduduk dan kawasan-kawasan perumahan nan asri, saling menyela di antara jalan layang dan jalan raya yang saling terhubung satu sama lain. Di samping terus bertambahnya gedung dan pabrik-pabrik di wilayah ini, dibangun pula pusat-pusat perbelanjaan seperti mall dan swalayan, termasuk hotel-hotel serta sentra-sentra pertokoan. Bangunan-bangunan kokoh itu menjamur di mana-mana, berdiri anggun mengikuti aturan. Di antara semua itu, tiap sebentar di setiap jalan, aspal dibenam hingga menyentuh paritan-paritan, dan di tepi-tepi jalan mulus itu berjajar pohon-pohon akasia, beringin, bebera ceiba dan gaharu, saling berdampingan dengan baliho-baliho iklan yang mudah dikenali dan dibaca. Lalu di beberapa simpang jalan terdapat taman-taman dan tugu-tugu bertabur lampu dan bunga yang semakin menambah warna keindahan kota.

Sementara dalam pengembangan di wilayah Barat dan Selatan, penataan kawasan berdatar rendah yang dominan dengan tapak-tapak pesisir lebih banyak dibangun tempat-tempat pariwisata maritim dan zonasi bisnis. Aktifitas perekonomian masyarakat di wilayah pesisir dikenal sangat tinggi terutama di koridor-koridor penangkapan ikan. Wilayah ini diproyeksi pula sebagai kawasan pemukiman dan pergudangan. Banyak resort dan restoran, gudang-gudang pelabuhan, pemukiman City House, kanal-kanal wisata, pantai rekreasi, dan sentra-sentra pengepul ikan dioptimalkan di wilayah ini. Namun di wilayah Barat dan Selatan tak sedikit juga dibangun swalayan dan rumah-rumah pertokoan yang menghubung ke sentra-sentra bisnis-perdagangan di wilayah Timur dan Utara.
Bandar Lampung merupakan kota suround area yang sejarah perkembangannya berkali-kali mengalami perluasan, dan Tanjungkarang yang mendominasi wilayah Timur dan Utara serta Telukbetung yg mencakup wilayah Barat dan Selatan ditetapkan sebagai pusat pemerintahannya. Cikal bakal kota ini telah ada sejak zaman kolonial, disebut sebagai wilayah onder afdeling yang dibentuk berdasarkan staatblad 1912 yang dalam sejarahnya berkedudukan sebagai ibukota Keresidenan Lampung. Pada zaman pendudukan Jepang, wilayah onder afdeling ditetapkan menjadi Si atau kota. Setelah melewati beberapa dekade pengembangan, ditetapkanlah Bandar Lampung sebagai satu kesatuan kota yang mencakup suround area di sekitarnya dan kota ini ditetapkan juga sebagai ibukota Propinsi Lampung.

***

Jam tujuh matahari merayap naik. Di sebuah rumah di pemukiman Citra Garden yang berada di dataran tinggi Utara kota, cahaya silau emas sang surya menerpa masuk, berkilau-kilau di dinding dan lantai, menyorot wajah penghuninya, seorang laki-laki paruh baya. Meski bersiap pergi dan bau parfumnya sudah semerbak, lelaki itu masih duduk berkutat di meja kerja tempat ia menumpuk beragam buku, lembaran kertas, dan berbundel-bundel tulisan. Di situ, Mitri, begitulah namanya, telah menghabiskan dua batang rokok. Kopi hangat di depannya sudah separuh terminum. Lelaki usia empat puluhan dan berkacamata tebal itu terpaku membaca koran minggu yang terbit kemarin. Matanya terpaku di halaman yang itu-itu juga, membaca berulang-ulang dengan raut muram. Tubuhnya tegak di sandaran kursi, berpikir-pikir sambil membaca. Banyak hal mengaduk kepalanya berkait isi koran yang ia pikirkan.

Langkah pelan Muna, istrinya, muncul sayup dari belakang. Wanita itu mendekat tanpa canggung. Ia menumpahkan perhatian sambil memandang wajah Mitri. Lalu katanya, “Mengapa selalu jadi masalah, Puang?” Muna tahu lagi-lagi pasti si Rien, anak mereka, yang membebani pikiran Mitri.

“Masalahnya aku sejak lama sudah mengajarinya menulis. Aku tak pernah putus asa memberinya pemahaman tentang pilihan hidup yang menurutku akan baik jika digelutinya sekarang. Seharusnya dia berkaca padaku dan bisa lebih baik dari aku. Seharusnya dia jangan berhenti menulis. Aku kecewa melihat karangan-karangannya. Ia hanya menulis sekenanya, semau-mau, seperti terpaksa hanya untuk menyenangkan aku. Satupun tulisannya tak ada yang dimuat koran. Entah kapan dia mau sungguh-sungguh!” sambil mengucapkan kata-kata itu, Mitri melipat koran dan meletakkannya di meja.

“Jangan menyimpulkan begitu, Puang. Apapun penilaianmu aku tetap tak menyalahkannya. Rien sudah berusaha wajar memenuhi kehendakmu sekalipun dia harus membagi waktu dengan pekerjaannya sekarang. Bersyukur saja, kadang-kadang masih mau dia menulis.”

Mitri mengambil lagi sebatang rokok dan membakarnya. “Tidak, Rien harus lebih giat lagi menulis. Coba lihat ini, Niang. Lihat, cerpen siapa ini?” Mitri menyodorkan koran minggu yang dibacanya tadi ke pelupuk istrinya.

Muna melihat-lihat sekilas tulisan cerpen di salah satu halaman koran terbitan Jakarta itu. Terbaca olehnya nama sang pengarang yang tertera di bawah judul. Muna agak terpana dan memandang suaminya. “Ini cerpen Ellen, Puang? Cerpen Ellen bisa masuk ke koran ini? Bisa juga dia.”

“Sudah sering!” sahut Mitri, sambil menggigit-gigit busa rokoknya.

“Aku tak mengira anak ini berbakat,” komentar Muna.

Mitri menarik napas. Setelah menyedot rokoknya dalam-dalam ia berceloteh lagi. “Seharusnya Rien bisa lebih baik dari dia. Ellen ini baru setahun lalu belajar menulis di sanggarku. Aku masih ingat, pertama kali melihatnya di sanggar, dia malas-malasan. Tulisannya seperti angin lalu. Titik dan koma saja belum mengerti. Sekali waktu dibawanya ke mejaku karangan pertamanya. Aku dapati selain kalimat-kalimatnya simpang siur, plotnya pun kacau berputar-putar seperti kumbang patah sayap. Sekarang, inilah buktinya, dia menunjukkan bisa belajar dari kesalahan-kesalahan itu. Di kota ini, dia sejajar dengan Arman sekarang.” Nama “Arman” yang dimaksud Mitri adalah penulis muda lain di kotanya yang karya-karyanya sedang menonjol.

Muna meraih asbak di meja, lalu melangkah sebentar menumpahkan isinya ke kotak sampah di luar. Kemudian ia meletakkan kembali asbak di meja sambil berkata, “Pasti Ellen sangat tekun menulis. Mungkin waktu luangnya lebih banyak dari Rien. Memang Rien pernah cerita padaku, bahwa Ellen berhenti dari pekerjaannya seusai dia belajar menulis. Rien bilang, Ellen ingin total menulis. Artinya seluruh waktu Ellen sudah dicurahkan untuk mengarang, samalah seperti kau dulu. Kenapa itu harus jadi pikiran dan kenapa kita harus memaksa Rien. Masing-masing orang bebas menentukan langkah dewasanya sendiri. Mungkin karena Rien perempuan, jadi dia merasa tidak cocok menjadi penulis.”
Mitri menyedot lagi rokoknya dalam-dalam. Lalu tangannya meraih kopi dan menghirupnya. Ia kemudian berujar, “Sekarang ini banyak perempuan menjadi penulis hebat. Hati dan pikirannya saja yang tidak mau serius belajar menulis. Aku tahu jalan pikiran anak muda sekarang. Melihat mereka membuat nuraniku sering mengamuk sendiri. Pilihan-pilihan mereka absurd, begitu pula cara mereka memilih pekerjaan. Mereka mabuk oleh gula-gula kehidupan. Aku heran kenapa Ellen bisa memilih yang baik, tapi anak kita tidak. Menulis juga pekerjaan. Halal. Dalam roti kehidupan rasanya selegit keju dan mentega. Ini bisa menjadi mata pencaharian tetap sebagaimana aku telah menghidupi kalian semua.”

Muna kurang nyaman mendengar kalimat-kalimat terakhir suaminya. Sudah hampir tigapuluh tahun ia hidup bersama penulis, sebenarnya baru sepuluh tahun terakhir pekerjaan Mitri bisa melipurnya. Sebelumnya, segala sesuatu berjalan kurang baik. Muna ingat bagaimana ia pernah berputus asa bertahun-tahun dalam kehidupan Mitri yang dipandangnya sudah tak mungkin lagi mempercerah masa depan. Dalam masa-masa sulit itu Mitri menulis sambil bekerja serabutan. Waktu itu tulisan-tulisan Mitri masih tak laku di koran atau majalah manapun. Pada masa itu bukan hanya empat atau lima tahun, tapi belasan tahun, Muna merasa tak memiliki apa-apa lagi kecuali hanya kepedihan, dan yang dipandangnya berharga waktu itu hanya bagaimana Rien bisa terus sekolah dan ia memiliki beras di rumah. Muna masih bisa mengenang bagaimana dulu waktu mereka masih tinggal di rumah kontrakan sempit di atas bukit, tak jauh tempatnya dari rumah yang mereka tinggali sekarang, yang untuk kesana harus mereka capai dengan mendaki jalan setapak, menanjak ke lereng bukit. Di rumah papan bersekat-sekat kain itu ia terbiasa termenung di jendela, memandang jalan dan rumah-rumah di bawah, atau memandang hamparan hijau bidang-bidang tanah warga yang ditanami palawija dan sayur-sayuran, namun yang sangat disukainya tentu saja melihat pemandangan laut wilayah pesisir kota yang setiap hari nampak nyata dari jendela. Dulu ia banyak tenggelam memikir-mikirkan terus hidupnya, merasa bahwa semua tak mungkin diselamatkan lagi. Ia tak mengerti waktu itu bagaimana suaminya masih yakin akan bisa hidup terus dengan tujuan-tujuannya, atau bagaimana Mitri tidak pernah jeri dan lelah memperjuangkan tujuan-tujuan itu. Setiap pulang dari pekerjaan yang Mitri sebut “serabutan” itu, ia langsung tenggelam di meja bersama kertas-kertas tulisannya, berjam-jam menekuni karangan dengan penuh semangat hingga ia tak mau menyentuh apa-apa lagi selagi asyik mengerjakan itu. Muna sudah terbiasa mendengarkan tuts-tuts mesin tik tua suaminya yang mengamuk hingga tengah malam atau kadang-kadang sampai subuh. Kemudian Mitri membawa setiap karangan yang sudah selesai ke kantor pos dan mengirimnya ke koran atau majalah-majalah cerita. Pada masa-masa sulit itu Muna hanya bersabar karena ia tahu berpuluh-puluh karya suaminya selalu pupus tak berkabar lagi. Apa yang baru Muna dengar dari mulut suaminya bahwa menulis “bisa menjadi pekerjaan tetap sebagaimana aku telah menghidupi kalian semua” tentulah tidak tepat jika ia membanding-bandingkan keadaan yang dialaminya dulu. Dulu dalam keadaan serba susah dì rumah kontrakan sempit itu, suaminya hanya asyik digoda isi pikiran sendiri, seakan lupa hal utama dan paling mendasar di rumah yang harus ia pikirkan juga seperti kebutuhan untuk makan yang tak bisa ditunda serta biaya sekolah Rien. Waktu itu Muna merasa Mitri hanya membela pendirian-pendiriannya sendiri karena simpul impian yang Mitri bawa dari dunia lampaunya begitu kuat mengikat. Dunia lampau itu adalah persentuhan singkat Mitri dengan kehidupan intelektualnya. Sebelum mereka menikah Mitri memang sempat mencicipi kehidupan universitas. Di universitas itu Mitri pernah aktif mengikuti kegiatan-kegiatan menulis karangan. Selain Mitri gemar membaca apa saja, kegiatan itu berandil menimbulkan pikiran-pikiran baru dalam kehidupannya. Sepak terjang kesusastraan yang dibumbui dongeng-dongeng hebat tentang para penulis sukses, itulah yang terus-menerus menggoda Mitri dan menghadapkannya pada dunia mengarang yang dianggap lebih menantang dan berharga ketimbang bekerja lain. Mitri memandang bahwa menulis adalah pilihan spektakulernya. Sejak saat itu Mitri tak mau berhenti lagi. Setelah menikahinya, memiliki anak, Mitri tetap teguh memelihara tujuannya tak peduli apakah pilihannya benar atau tidak. Muna berpikir waktu itu Mitri telah berdosa, tidak saja pada dirinya, tetapi juga pada Rien, yang membiarkan mereka bertahan dalam keterluntaan, membiarkan mereka tersekap suram di gubuk sempit yang sekedar hidup dengan nasi dan ikan kering yang diasinkan. Muna sudah merasakan sendiri betapa banyak teror kepedihan dan pahit getir yang tak pantas diingat lagi selamanya. Sebagaimana ia melihat perjuangan suaminya dulu, Muna yakin kebanyakan penulis menjalani hari-hari berat seperti itu. Mereka gila, dalam artian gila merenung sendiri, gila bicara sendiri, gila dalam cara menyikapi hidup, gila memimpikan hal yang tak pasti, makan tak teratur, kurang tidur, banyak merokok, merasa kesepian, dan hal-hal absurd lain. Terlalu naif bila ada yang berkata “sungguh indah menyulam hidup dari menulis” sebab kenyataannya akan banyak pengorbanan. Hidup penulis itu indah namun permulaan yang ditempuh tak semudah membalik telapak tangan. Itu sebab Muna tak ingin Rien mengikuti jejak Mitri. Muna tahu Rien pun tak terlalu serius menekuni dunia ayahnya. Itulah yang kerap membuat Mitri kecewa.

Muna memandang dalam-dalam wajah Mitri. “Menurutku lebih Rien menekuni pekerjaannya sekarang, menulis dijadikan sampingan saja. Susah mencari kerja seperti itu. Apalagi gajinya lumayan dibanding tempatnya bekerja dulu.”

“Terserah. Tapi Rien harus tetap menulis,” sahut Mitri. “Ini berarti buatku. Rien harus jadi penulis penerusku di kota ini. Ingat, bagaimanapun pekerjaannya itu belum tentu abadi. Belum aku dengar bekerja di lembaga pembiayaan seperti itu bisa abadi. Bisa-bisa malah celaka.”

“Semoga tidak,” kata Muna. “Apalagi aku lihat Rien serius pada pekerjaan itu. Sekalipun Rien perempuan, anakmu itu sudah biasa bekerja di dunia laki-laki. Rien itu keras, aku belum berpikir ada orang menganggapnya sepele. Bekerja sebagai field survei di lembaga pembiayaan itu agaknya dia sukai. Tidakkah kau lihat anakmu sekarang lebih bersemangat dari sebelumnya?” ia coba menepis pendapat suaminya. Muna berkeras karena ia ingin anaknya memiliki pekerjaan terbaik. Tak ada yang lebih tahu apa yang terbaik untuk anaknya selain pengetahuan seorang ibu.

Namun Mitri lebih keras. “Ah, jangan menerka-nerka, Muna!” ia menghujamkan rokok ke asbak dengan muka memerah. “Pendapatmu hanyb berdasar keinginanmu, bukan berdasar pengetahuanmu. Lembaga pembiayaan itu bisnis resiko. Itu pekerjaan berbahaya. Kamu pikir aku tidak pernah memperhatikan anakku sendiri? Diam-diam aku melihat perubahan sikapnya. Dulu saat dia bekerja di dealer motor Fridas, Rien selalu ceria. Tapi sekarang dia bekerja pagi-siang-malam seperti keledai. Lembaga pembiayaan itu telah merenggut keceriaannya. Dia itu perempuan, Muna. Lihat, berapa kali aku pergoki di rumah ini dia berdebat sengit dengan temannya sendiri karena dipaksa menutupi tagihan macet. Kenapa para debitur yang macet angsurannya, anakmu yang ditagih? Perusahaan macam itu sudah aneh menurutku.”

“Tugas Rien itu field survei, Puang. Mungkin sudah begitu peraturannya.”

“Aku bukan sok tahu, Muna. Ada beberapa anak di sanggarku yang pernah kerja di tempat semacam itu. Jarang ada perempuan jadi field survei seperti Rien. Lagipula tugas field survei seperti Rien itu hanya menganalisa kelayakan konsumen yang mengajukan fasilitas kredit sepeda motor. Selama kerja Rien sesuai prosedur kantornya, tak ada aturannya field survei menutupi angsuran macet. Itu hanya akal-akalan perusahaannya. Itu hanya strategi survival kapitalis keuangan yang tak peduli aturan main bisnis resiko. Kenapa karyawan kecil yang selalu mereka tebas? Menyakitkan.”

“Beri dulu anakmu kesempatan, Puang,” bela Muna.

“Sampai kapan? Sampai dia frustasi dan gila? Atau sampai perusahaan itu mencari-cari dalih menjebloskannya ke penjara? Dulu waktu dia kerja di dealer Fridas tidaklah aku mencemaskannya seperti ini. Dulu aku sebenarnya sudah berdamai dan rela melihatnya bekerja di dealer Fridas karena aku lihat tak ada resiko berarti bila perempuan bekerja sebagai sales marketing seperti itu. Aku kecewa, aku kecewa sebenarnya. Entahkenapa setelah sekian tahun kerja dia keluar dari dealer itu. Aku tahu, dia keluar dari Fridas karena tergiur pindah ke perusahaan pembiayaan, ah, apa namanya, aku lupa…?”

“Vista Finance!”

“Ya, Vista Finance itu! Anakmu meninggalkan dealer Fridas karena tergiur gajinya, tergiur kerennya, tapi tidak dia pikir akibat-akibatnya. Padahal panasnya tempat itu kadang-kadang seperti neraka tak kenal damai. Itu murni dunia laki-laki. Di lingkungan kerja macam itu gampang sekali orang naik pitam dan lepas kendali karena tuntutan pekerjaannya. Kau mau anakmu tiba-tiba dipukul orang atau memukul orang? Kau mau anakmu tiba-tiba diperlakukan tidak senonoh? Sekali lagi aku ingatkan, dia itu perempuan. Setiap perempuan hanya cocok kerja di dapur atau duduk di belakang meja, menjadi penulis sepertiku!”

“Jangan berpikir sejauh itu, Puang,” ingat Muna. “Rien tidak mungkin begitu. Rien itu pemberani. Dari pekerjaannya yang lalu dia sudah paham dunia lapangan seperti itu. Aku yakin apapun yang dihadapi Rien, dia bisa mengatasinya dengan cara-cara yang baik.”

Bersamaan perempuan itu berucap, terdengar derit pintu kamar terbuka. Seorang gadis bertubuh tinggi, cantik, namun berkulit agak gelap, keluar dari kamar itu dan menuju belakang.

“Rien sudah bangun. Lain waktu saja kita membicarakannya lagi,” kata Muna.

Mitri sempat juga melihat anaknya meninggalkan kamar. Sambil melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan, Mitri berujar: “Pendirianku tidak berubah. Aku ingin Rien menjadi penulis sepertiku, titik! Aku tunggu keseriusannya, sampai kapanpun.”

Muna mengangguk, pasrah. Ia sudah paham kesenangan tulis-menulis tak bisa lagi dipisahkan dari suaminya. Tak aneh jika Mitri ingin Rien mengikuti jejaknya. Mitri sekarang memang sudah bisa bicara setelah ia melampaui masa-masa sulitnya. Mitri sekarang telah menjadi penulis sebenarnya, bukan amatiran lagi, dan telah dikenal. Muna masih ingat kegembiraan keduanya ketika pertama kali karangan Mitri dimuat sebuah majalah ibukota. Sejak saat itu berturut-turut tulisan suaminya terus dimuat tak hanya di majalah tapi juga oleh beberapa koran. Honor tulisan Mitri perlahan membantu perekonomian mereka. Terlebih setelah novel pertama Mitri diterbitkan dan disusul novel-novel berikutnya. Dari novel-novel itu mereka akhirnya membeli rumah yang ditempati sekarang. Setelah masa-masa suram itu lewat, Muna masih menyimpan ucapan suaminya yang mengutip AJ Cronin: “Kehidupan bukanlah jalan lurus dan mudah dilalui dimana kita bisa bepergian bebas tanpa halangan. Kehidupan seringkali berupa jalan-jalan sempit. Jika kita punya keyakinan kepada sang pemilik kehidupan, pintu pasti akan dibukakan untuk kita.” Kata-kata itu telah menemukan representasinya dalam kehidupan mereka. Selain berhasil sebagai penulis, suaminya kini telah memiliki sanggar pelatihan menulis sendiri bernama Sanggar Aksara yang terbuka bagi siapapun yang berminat belajar menulis. Sanggar itu sudah seperti kantor bagi Mitri dimana setiap pagi ia harus datang kesana menemui anak-anak yang dibimbingnya.

BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment