Thursday, August 15, 2013

BUKIT CAMANG





Kembang tumbuh tanpa berkata
Bulan bergerak tanpa berisik
Alam tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah Tuhan
Tetapi kehadiran manusia mencemaskan
: Kenapa pula Tuhan menciptakan mahluk yang merepotkan ini (ANONIM)


Manusia, yang dengan rasa ingin tahu yang riang berharap mendapatkan musim semi baru, musim panas baru, dan bulan-bulan yang baru selamanya, tak tahu bahwa dalam kerinduannya itulah terbawa kuman kematiannya sendiri. (LEONARDO da VINCI)

___________________



Tiap hari saya memandangi bukit itu. Setiap subuh saya mulai mendengar ketukan palu besar dan luruhan batu. Antara batu yang akan pecah dan belum pecah, lebih selusin warga sekitar setiap harinya menghabisi keindahan dan mengikis perabotan penting bukit Camang. Alasan mereka klise: mencari nafkah!


 Sekali lagi saya melihat, untuk merujuk apa yang pernah dikatakan oleh Karl Mark, bahwa manusia sebagai mahluk yang dibentuk dari tubuh yang berindera, berpikir, berpengharapan, yang haus dan lapar, adalah mahluk yang menderita. Dengan gairah, dengan semangat, ia mengerahkan kekuatan menggapai objek untuk menunda penderitaannya. Dan di sini, di bukit Camang, segelintir orang menunda penderitaannya dengan cara merusak alam!

Bukit Camang compang-camping, semakin ringkih, merana, dan kering. Tetapi tak hendak saya menggugat insan-insan gawal di sana yang setiap hari merontokkan batu dari punggung bukit ini. Jika dihitung dari mulai jumlah penggali, tenaga muat, dan puluhan sopir truk yang setiap hari bolak-balik mengangkut batu, setidaknya bukit ini telah menghidupi ratusan keluarga. Mungkin sekali mereka mengerti makna hijau. Mungkin sekali mereka menyadari, betapa tinggi kerugiannya, bahwa air sumur yang mereka konsumsi setiap hari telah tercemar oleh perbuatan mereka sendiri. Tetapi mereka tak punya pilihan, sepertinya. Agresi mereka terhadap bukit Camang, barangkali, berangkat dari keadaan ekonomi dan pola pikir kelas sosial yang tak terjamah oleh lapangan kerja memadai. Makan tak bisa ditunda!

Sekarang, di puncak bukit Camang, pun telah tercipta ruang kosong cikal bakal sebuah real estate. Dengan alat berat dan canggih, ruang kosong ini telah dimodifikasi sedemikian rupa, dan total melenyapkan seluruh kehijauan yang pernah tumbuh di sana. Yang terjadi di atas adalah agresi yang lebih kakap. Tetapi sekali lagi, saya pun tak berwenang menggugatnya. Jangankan saya, pemerintahan kota dan dewan kota, dengan seperangkat peraturan hukumnya pun seolah tak berdaya -- lumpuh, bisu, buta!

Adalah pilihan yang lemah, walau tak bijak, jika kemudian saya sekedar memaknai bahwa apa yang terjadi di bukit Camang tak lebih sisi lain potongan drama tentang perseteruan alam dan manusia. Manakah yang akan lebih berkuasa di muka bumi ini, alam atau manusia? Saya pikir ini adalah abad yang akan menjadi puncak perseteruan. Setiap detik, di sudut dunia manapun, manusia tak pernah gentar menganiaya alam. Hutan-hutan digunduli secara brutal. Sungai dan laut diperkosa secara kolektif tanpa kalkulasi dan rehabilitasi yang pantas. Gunung dan bukit dikeruk, diledakkan bila perlu. Bumi dilubangi. Polusi dibiarkan merajalela. Semuanya berlangsung atas nama komersialisasi.

Sekilas alam tampak diam. Sekilas sunyi. Sekilas alam seperti onggokan material mati. Tetapi tidak. Sebagaimana manusia yang tak pernah peduli kepadanya, maka alam pun tak mau berbelas kasihan ketika ia membalas perbuatan manusia. Amuknya seperti lecut penari yang binal mencemooh manusia berjoget mengiringi maut. Amuknya adalah mati. Tsunami di Aceh adalah ingatan, atau gempa besar yang pernah terjadi dimana-mana, bencana banjir, bencana lumpur, tanah longsor, gunung meletus, topan besar, ini semua merupakan amuk alam. Atas jutaan nyawa yang terenggut, ribuan tubuh tak berdosa yang ikut mati, kerugian tak terhitung harta benda, begitulah cara alam membalas. Alam acapkali menyelesaikan kemarahannya kepada kita dengan cara yang berantakan, tak acuh, tak peduli.

Saya sepenuhnya tak setuju mengkalkulasi bencana alam dengan permainan teori fisika. Teori fisika hanya sebuah lagak manusia untuk memperlihatkan bahwa manusia lebih berkuasa total terhadap alam. Jika alam sudah tak tahan menodongkan ajal ke wajah manusia, teori fisika bisa saja tak berlaku. Semua prediksinya akan batal. Upaya peringatan dini dan siasat tangkal bisa saja mentah tak berarti. Bencana bisa datang lebih cepat dan tanpa diduga-duga. Bencana alam tak pernah datang tanpa mengecoh. Setiap kali manusia terkecoh, maka hamparan mayat, airmata, dan sesal, sama sekali tak berguna. (RD)

No comments:

Post a Comment