BAB EMPAT
Bisnis otomotif roda dua selalu menarik laksana gadis pingitan cantik nan indah menggoda dari rambut hingga mata kaki. Namun menyedihkan, bahwa menipu, membesar-besarkan, masih merasuki simpul-simpul negosiasi para sales marketing oportunis dan inilah sifat-sifat purba yang berulang-ulang menodai bisnis ini. Namun membuka simpul-simpul rahasia para marketing kerap menjadi masalah serius, karena nama baik dealer akan tercoreng, persahabatan ikut hancur, pembeli-pembeli marah dan tersinggung, banyak orang akan baku hantam.
Di bisnis ini para sales marketing berlari kesana-kemari, sibuk bertarung tak putus-putus menggapai sasaran. Mereka dibuai janji-janji bertabur bintang. Apa rasanya ditabur bintang? Bintang itu panas dan membakar. Semakin tinggi sales marketing naik semakin besar kemungkinannya hangus. Tidak perlu melihat ini masa depan. Tidak perlu melihat nasib baiknya di garis-garis tangan atau serat-serat dedaunan. Setiap hidup akan sampai di visi akhir. Budi dan karakter manusia penentu takdir baiknya.
Jadi, apakah aku mengira ini masa depanku? Apakah masih sahih masa depan disulam dengan benang-benang kejujuran? Karena kejujuran itu indah. Kejujuran itu cahaya. Kejujuran itu warnanya putih. Jika ini masa depanku, tak pantaskah aku menyebutnya masa depan? Bullshit!
Begitulah suara-suara. Begitulah suara-suara selintas yang mengikuti kemana Rien melangkah. Suara yang hidup di dalam dirinya, membimbang, menggoyahnya. Dan siang itu di depan bangunan berhalaman luas, dengan pintu-pintu terbuka lebar, dipenuhi berjenis-jenis motor baru yang dibariskan rapi, Rien melangkah bersama suara itu. Di dealer itu perasaan Rien masih buruk. Kebohongan Rere dan Dias masih diingatnya, masih terasa menusuk. Keduanya ular berbisa yang telah mematuknya. Rien sering berpikir, masihkah sekarang ada sales marketing menerangi pekerjaannya dengan kejujuran demi sesuap nasi itu? Kadang masa lalunya sendiri menjawab pertanyaan itu.
Dulu, pernah empat tahun lamanya ia bekerja sebagai sales marketing di dealer Fridas. Masa itu Rien tentu tak seperti mereka. Saat di Fridas ia menjunjung seni menjual, keindahan bekerja, dan kejujuran dalam menjaga hubungan baik dengan para field survei. Hal seperti itu sudah sulit ditemui karena sekarang kebanyakan sales marketing hanyak dididik di kandang ayam, dipingit dalam kotak dan disiram dengan lilin. Para sales marketing yang dididik di kandang ayam hanya dituntut melompat ke hasil akhir, sementara proses, kejujuran, dan kreatifitas, sudah tak penting, sehingga tanpa sadar mereka difungsikan seperti mesin produksi. Maka, inilah bermula akar alami mereka sebagai manusia putih, berperasaan, jujur, terguncang dan tercerabut. Tapi sekarang Rien menikmati saja keadaan itu. Jika ia sering memikirkannya, ia mual. Terakhir ini, di Ardisialt ia telah mendapatkan stempel si Raja Tolak! Seberapa burukkah julukan yang dilekatkan kepadanya itu? Pagi itu saat memasuki showroom Ardisialt, Rien tak henti berpikir. Ternyata julukan itu sangat buruk!
Semua terpaku melihat kedatangan Rien. Di showroom langkah Rien seakan diawasi dari setiap sudut. Semua mata menghujam kepadanya. Barangkali orang-orang Ardisialt hanya heran bercampur sebal: dia lagi dia lagi, kok masih hidup?
Di dalam, Rien duduk di kursi tunggu showroom. Namun belum sempat menarik napas dan menata perasaannya, seorang perempuan berambut pendek sudah mendekat dan menyerahkan setumpuk berkas aplikasi. Perempuan itu, Talaba namanya, sangat terkenal congkak di Ardisialt. Kalau saja Rien tak pandai-pandai menahan diri terhadap perempuan ini, mereka sesama perempuan mungkin sudah sering baku hantam.
"Mau diapakan berkas-berkas aplikasi ini?" Rien pura-pura bertanya, sebal dan sinis.
Talaba menekuk wajahnya. "Ya disurvei. Katanya semua ini disurvei ulang!" Bukan Talaba namanya kalau tidak ketus. "Sekarang ya! Konsumennya sudah menunggu semua di rumah!" Bukan Talaba namanya kalau tak menganggap field survei seperti pesuruhnya.
Rien tak bicara panjang lebar. Ia ambil semua berkas dari tangan Talaba. Sebelum pergi tak sengaja Rien berpapasan dengan pria tirus bergigi ompong. Pria itu sinis memandangnya, seperti heran dan kurang menyukai melihatnya. Pria itu bukan orang asing di Ardisialt. Ia seorang broker yang setiap hari datang ke dealer, bernama Gimon. Hingga Rien berlalu tak ada saling sapa antara keduanya. Rien mual. Tapi sepanjang jalan menuju rumah-rumah calon debitur yang harus ia survei ulang, tak berhenti Rien memikirkan lelaki itu. Rien yakin apa yang diperbuat Rere dan Dias diotaki oleh Gimon. Banyak field survei berpengalaman tahu Gimon berbahaya dan harus dihindari. Memang, lelaki itu berkah bagi Ardisialt sebab dalam sehari tak kurang dua berkas aplikasi konsumen ia hasilkan, tapi ia bencana bagi para field survei sebab konsumen Gimon banyak masalah dan mayoritas berindikasi kredit macet. Di bisnis ini konsumen kredit bermasalah atau tidak memang bukan urusan Gimon. Ia hanya broker. Seperti kebanyakan broker, mereka bekerja hanya untuk imbalan komisi atau uang fee. Jika ingin aman dan terhindar dari konsumen bermasalah, semua kembali ke field survei dalam menganalisa dan melihat kelayakan calon debitur, termasuk jeli memilah mana berkas aplikasi yang datang dari tangan Gimon dan mana yang bukan.
Lima jam lamanya Rien menyelesaikan satu-persatu tugas survei ulang itu. Pukul tiga sore ia meninggalkan tempat terakhir yang dikunjungi, sebuah panglong kayu, dan entah kenapa wajah Rien masam, sementara laki-laki pemilik panglong berteriak-teriak sambil mengacungkan tinju mengusir Rien. Tapi Rien tak peduli. Di bawah terik sore ia kembali melintasi jalan utama menuju kota. Entah kenapa sore itu muncul keinginan Rien singgah ke dealer Fridas. Ya, sudah terlalu lama ia tak kesana. Bagaimana Fridas sekarang? Apa kabar Tia dan Fatima? Bagaimana sekarang keadaan teman-temannya seperti Tara, Yoni, Joe, dan lainnya? Kadang-kadang setiap kenangan menyemai kerinduan. Selalu ada rindu dari endapan masa lalu.
Sore itu Rien benar-benar singgah di Fridas. Halaman parkir sepi saat Rien turun dari motornya. Dari depan showroom ia sudah melihat wajah Tia dan Fatima. Dari dulu dua salescounter itu tak pernah bisa jauh dari meja, singgasana kerja mereka, yang memanjang membelakangi dinding. Merekalah yang setiap hari mengawasi showroom Fridas dan melayani semua tamu atau calon-calon pembeli yang datang. Tapi belum sempat Rien masuk, seorang laki-laki berjaket dan berkacamata hitam keluar terburu-buru dari showroom dan nyaris menabrak Rien.
"Hei, Simon!" Rien mengenalnya. Ia menangkap pundak laki-laki itu. Tapi si kacamata hitam cepat menghindar.
"Bukan. Aku bukan," katanya grogi dan berusaha menutupi wajah. Lalu ia cepat-cepat masuk ke mobilnya.
Rien terpaku melihat mobil itu meninggalkan halaman parkir. Saat Rien berbalik dan melupakan yang dilihatnya, Tia sudah berdiri di belakang. Dan dari meja Fatima melambaikan tangan.
"Aduh, apa kabarmu?" Tia menyapa. "Enak ya sekarang kerja di Vista Finance? Kenapa nggak pernah mampir?"
Rien menyalami Tia, membalas lambaian Fatima, dan menjawab sapaan selusin lebih mekanik bengkel yang bergantian ikut menghampirinya. Ternyata masa lalu baik tak pernah dilupakan orang. Tak lama Rien sudah di meja showroom duduk di antara Tia dan Fatima.
"Rien, dengar-dengar kamu sering dimarah sama bosmu ya?" Dalam obrolan, Fatima menyela.
Rien menghela napas dan mengedar pandang ke penjuru showroom. "Dimarah sudah biasa. Sarapan setiap pagi. Makanya pikiranku mulai capek di Ardisialt," jawabnya.
"Jalani dulu, Rien." Tia menyahut. "Para field survei memang malas kalau ditempatkan di sana. Mereka bilang di Ardisialt banyak masalah. Sudah banyak field survei yang babak belur karena banyak kredit macet dari sana."
Mata Rien menyapu penjuru ruangan. "Kok sepi? Kemana sales-sales marketing?" Rien tak melihat satupun wajah teman-teman lain yang dirindukannya.
Tia dan Fatima saling berpandangan.
Wajah Tia muran lalu ia mengeluh, "Sekarang mereka sudah jarang ada di dealer, Rien. Sejak Toni, Ellen, dan kamu berhenti, juga sejak Bang Feter nggak aktif lagi sebagai supervisor karena kecelakaan kapal itu, mereka berubah. Mereka lebih sering kumpul di pohon beringin belakang daripada memikirkan jualan. Penjualan Fridas memang lagi sepi. Seharusnya mereka sadar. Tapi susah. Makanya Pak Miska buka lowongan lagi dua minggu lalu."
Fatima menambahkan. "Susah diatur mereka sekarang, Rien. Tiap hari cuma nongkrong di beringin belakang itu. Katanya Ellen juga masih sering ada di sana buat-buat tulisan. Jualan Tara dan Yoni sekarang turun jauh dibanding dulu. Malah Tara sekarang berubah. Banyak melamun. Kim mukanya kusut terus. Mito masih suka ngelantur. Noveri dan Kance semangatnya angin-anginan. Bedul tambah bego. Pokoknya kacau semuanya. Semau-mau."
Rien diam, hanya mendengarkan. Dilihatnya motor-motor di Fridas memang menumpuk. Beberapa tampak berdebu. Pikirannya heran melihat keadaan itu. Tapi Rien tak berpikir ini salah teman-temanya. Jika dealer-dealer di tengah kota kesulitan menjual, sementara ada satu dealer menjual lebih banyak, persoalannya bukan semata sales marketingnya macet. Rien berpikir memang ada pihak sedang menghantam pasar dengan pola market creation yang tak biasa. Atau...
Tiba-tiba Rien memikirkan Toni, teman lamanya yang dulu pernah sama-sama bekerja di Fridas, tapi kini Toni sudah bekerja di dealer Alila. Ia memang sempat dengar, penjualan Alila sedang meroket luar biasa.
Akhirnya Rien memutuskan ke lantai dua menemui Pak Miska, pria baik yang pernah menjadi atasannya. Laki-laki kharismatik itu kaget, bercampur gembira, melihat Rien muncul. Ia mengalihkan perhatian dari laptop dan menyalami Rien.
"Luar biasa. Bapak semakin muda dan gagah," Rien menyanjung Pak Miska. Sanjungan adalah doa baik jika diamini.
"Ah, bisa saja kamu. Jangan mengejek. Bagaimana kerja di kantor pembiayaan, lebih enak? Saya sering bertelpon dengan Pak Omar, bos kamu, katanya kamu bandel."
Rien tertawa. Begitu tawanya reda, ia justru bertanya balik. "Bagaimana penjualan, Pak? Aku dengar teman-teman di sini mulai kehilangan semangat."
"Mereka sudah gila," jawab Pak Miska. "Mereka semakin membuat saya bingung. Berulang-ulang saya cambuk mereka untuk bangkit, nggak juga ada pengaruhnya. Tapi saya paling prihatin pada Tara. Dia agak tengil sekarang. Semula saya berharap padanya. Tapi lihat saja, dia dan yang lain pasti ada di bawah beringin tua dekat warung kopi itu."
Rien tahu beringin tua yang dimaksud Pak Miska. Dulu ia pun sesekali sering duduk nimbrung di bawah pohon itu. Di bawahnya ada sebuah warung makan yang pemiliknya bernama Mak Warjun.
"Tidak sepenuhnya salah mereka, Pak. Penjualan sepi begini pasti pengaruh dari dealer Alila," kata Rien "Aku yakin ada pola-pola sistematis dan market creation unik sedang digiatkan dealer itu. Otaknya siapa lagi kalau bukan Polo dan Toni."
"Ya, itu memang sempat terpikir oleh saya sebagai salah satu faktornya. Sebetul saya masih bisa melakukan perimbangan di pasar. Tapi bagaimana, flatform sales marketing saya di sini sedang kacau balau. Beberapa man power saya tak bisa lagi diandalkan. Apalagi Feter yang biasa mendrive mereka sudah tak ada."
"Tapi saya yakin, itu nggak akan lama," kata Rien. "Kita tahu siapa Polo, dan kita tahu bagaimana Toni."
Pak Miska agak tercenung mendengar kata-kata Rien.
"Apakah Bapak percaya dengan ucapan saya?"
Pak Miska tercenung lagi.
"Oke. Saya tahu siapa Toni," ujar Rien penuh keyakinan. "Saya tahu hatinya sebenarnya masih selalu di sini. Mungkin di Alila dia hanya ingin membuktikan saja kualitas dia. Lihat saja besok, saya akan ganggu psikologisnya."
"Maksud kamu, Rien?"
"Sudahlah, Bapak tenang saja."
Tak urung Pak Miska manggut-manggut saja. Ia memahami Rien yang bicara di depannya masih Rien yang dulu. Saat masih bekerja di dealer Fridas di mata Pak Miska Rien bukanlah sales biasa, tapi juga pemikir, yang mau belajar seluk-beluk marketing hingga ke akar-akarnya. Meski seorang perempuan, Rien sebanding dengan Toni, sales yang pernah jadi andalan Pak Miska juga tapi sekarang sudah keluar karena dibajak oleh perusahaan lain. Baik Rien dan Toni, firasat keduanya tentang pasar sama baiknya dengan kemampuan mereka menjual dan kemampuan mereka membaca multiform kompetitor. Lelaki berusia lebih dari empatpuluh tahun itu kemudian berkata, "Apa kamu pernah ketemu Toni, Rien?"
"Sejak saya bekerja di Vista Finance dan Toni bekerja di dealer Alila, kami belum pernah bertemu. Saya hanya mendengar banyak tentang Toni dari sepak terjangnya di dealer Alila yang belakangan bikin heboh. Dealer Alila sekarang mendominasi pasar, tapi instink saya mengatakan setinggi-tingginya mereka melakukan lompatan, itu tak lama."
"Sekarang ini perubahan terasa sekali, Rien. Sudah tiga bulan ini para broker sulit sekali saya ajak bekerjasama. Bahkan para field survei seperti kamu juga sudah jarang bantu-bantu order jualan di sini. Agaknya sekarang ini mereka semua sedang dihanyutkan oleh euforia di Alila. Lebih memprihatinkan lagi, sales-sales saya keadaannya semakin seperti itu. Mereka seperti kehilangan spirit. Sekarang saya sudah buka iklan lowongan besar-besaran lagi untuk merekrut sales baru. Beberapa pelamar sudah saya panggil."
Rien belum sempat berkomentar karena di saku jaket terdengar handphonenya berbunyi. Sambil berdiri dan agak menjauh, Rien lalu berbincang dengan si penelpon. Terdengar suara marah-marah dari seberang, suara berat seorang lelaki yang mengaum seperti singa. Rien tampak grogi, sampai akhirnya ia menutup percakapannya dengan si penelpon.
"Siapa, Rien? Kenapa panik?" Pak Miska heran melihat perubahan di wajah Rien.
"Maaf Pak, saya harus kembali ke kantor. Tadi Pak Omar yang menelpon. Nanti kapan-kapan kita mengobrol lagi. Pamit ya, Pak."
Pak Miska mengangguk, tak bisa menahan Rien lebih lama, meski ia merasa baru sebentar pertemuan tadi berlangsung. Ia akhirnya hanya memandang saja ketika Rien berjalan tergopoh-gopoh meninggalkannya.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment