Monday, August 12, 2013

Cerpen Menafsir Manusia

sekalipun katanya ada orang bisa berjalan di atas air berkat membaca doa secara benar, ia sadar dan yakin itu tidak harus berarti bisa terwujud dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri. Ia menganggap kemampuan berjalan di atas air hanya mitos, dongeng, khayal, atau hanya perlambang bebasnya tubuh seseorang dari keterikatan duniawi. Maka suatu ketika sampailah ia, Guru Kiplik, di sebuah pulau terpencil nan makmur berpenduduk hanya sembilan orang yang tak putus-putusnya berdoa. Guru Kiplik yang terkenal tekun mengajari orang-orang cara berdoa yang benar langsung menilai bahwa penduduk pulau berdoa dengan cara yang salah. Ia menilai doa mereka justru memohon kutukan bagi diri sendiri. Akhirnya dengan bersusah-payah Guru Kiplik mengajar penduduk pulau cara berdoa yang benar. Setelah sembilan orang itu dianggapnya berhasil, pamitlah Guru Kiplik untuk melanjutkan perjalanan. Namun di atas perahu layar yang membawanya pulang, Guru Kiplik dibuat terpana. Matanya terkerjap-kerjap, mulutnya menganga, karena tak percaya atas apa yang ia lihat. Guru Kiplik menyaksikan bagaimana sembilan orang penghuni pulau tiba-tiba mengejarnya kembali dengan berlari-lari cepat sekali di atas air. Mereka mendekati perahu layar sambil berteriak-teriak, "Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru. Kami lupa lagi cara berdoa yang benar!"

Sebagaimana ringkasan cerita di atas, begitulah kira-kira sebuah ironi dan satire hendak disampaikan Seno Gumira Ajidarma lewat cerpennya berjudul Dodolitdodolitdodolibret. Ironi, bahwa kebenaran yang seseorang genggam dan anut dengan kacamata kebenarannya sendiri kadang bukan merupakan sebuah kebenaran absolut. Satire, bahwa dibalik cerpen yang tokoh imajinernya Guru Kiplik, terkandung pesan mendalam yang terasa mengolok formalitas kaku kita dalam melihat kebenaran, atau menggelitik-gelitik ketaatan buta kita pada versi-versi kebenaran yang belum tentu paling benar.
     Begitulah kedigdayaan cerpen menafsir manusia. Kehidupan manusia yang hitam-putih, dualisme antara bayang-bayang iblis dan malaikat, penuh anomali dan pertentangan, serta sarat dengan tonjolan sikap yang-- pinjam istilah Pakubuwana IV-- serba "adigang-adigung-adiguna", mendudukkan esensi manusia sebagai semesta tafsir yang luas dan komplek, sebagaimana manusia itu sendiri yang suka-sukanya pula menafsirkan alam semesta.
 
 Semesta diri manusia yang luas dan komplek hanya mungkin dijangkau utuh oleh yang sejatinya tak tunduk pada keterbatasan, yakni gelombang gagasan dan imajinasi. Karena ia adalah perwujud dari gelombang gagasan dan imajinasi, maka cerpen berkemampuan hadir aktif menafsir manusia, meski ia produk budaya dari pikiran manusia itu sendiri.
     Ketika menafsir manusia, cerpen tak tunduk pada keterbatasan dan dengan begitu ia bebas menjelajahi eksistensi manusia dengan seluruh realitasnya, termasuk bebas mengaduk-aduk ketidakberesan yang berlangsung di tengah manusia dan bebas masuk ke semua alam akal, ruh, ide, laku, serta dinamisasi alam materinya. Dalam rangka menafsir, cerpen bahkan mampu menemukan apa yang tersembunyi di ruang gelap pikiran manusia sekalipun dan punya kedigdayaan untuk bilang "tidak" justru di saat culture masyarakat sekitar penulisnya lebih sering berkata "ya" sebagai bentuk kepatuhan terhadap entah penguasa entah dogma.

Ilham
     Terkadang berseberangan dengan kedudukan penulisnya yang "terhormat" atau "tidak terhormat" (dalam budaya penilaian masyarakat kita yang cenderung menggunakan kacamata penilaian tata-tingkat), atau berlawanan dengan kelemahan-kelemahan penulisnya yang secara realitas hidupnya mungkin belum bahagia dan belum berdaya, cerpen justru serba memahami apa yang semua orang ingini berkait kehormatan, dan ketika ia bicara tentang kebahagiaan, ia sangat teliti menjelaskan apa arti bahagia lengkap dengan atribut-atributnya.
      Kemudian tak terhitung jumlah cerpen yang aktif menafsir manusia berkait ritme kehidupan mereka yang paling absurd  atau paling cabul sekalipun dengan berbagai sudut pandang tingkah-laku: kekerasan, ketidakadilan, kemunafikan, kepandiran, frustasi, kegilaan, kesenangan, kekuasaan, dendam, asmara, bahkan hingga ke batas-batas sakral keyakinan yang masih manusia sering ragukan maka dengannya digedor berulang-ulang, dan semua dijangkau dengan beragam gayanya menafsir, entah dengan narasi gurauan, sindiran, romantisme, harapan, atau to the point menonjolkan ekspresi protes, kegeraman, provokatif, penghinaan. Di posisi ini, penulis cerpen kerap hanya menjalankan peran sebagai narator atau penyampai atas "ilham" yang diajukan secara misteri, dalam keserbaan waktu, lewat konstruksi kehadiran serba misterius pula, ke semesta pikirannya. Di posisinya, berkait ilham dan proses kreatif, penulis sendiri banyak mengakui apa yang mendasari terciptanya karya-karya cerpen mereka, bahwa kebanyakan mereka tidak tahu, atau kebanyakan bilang lupa, atau mengatakan, "semua kehendak ilham. Penulis hanya alatnya."

Inkonsistensi tafsir kuasa manusia
     Kedigdayaan cerpen menafsir manusia memang sesekali berbuah silang-sengketa di jagat manusia. Ketika cerpen hadir menyentil, menggugat, atau merespon status quo pemahaman manusia dengan tafsir pemahaman literernya yang berbeda, tak jarang ia disikapi pro dan kontra. Inilah yang pernah dialami sebuah cerpen berjudul Langit Makin Mendung yang tergelincir kala ditarik ke pro-kontra demikian. Begitu pula dengan cerpen Jangan Main-Main dengan Kelaminmu yang sempat dianggap kontroversial juga saat dibenturkan dengan pemahaman yang hidup di tengah masyarakat.
     Betapapun tafsirnya kadang tak dikehendaki, sungguh tak adil memang jika dilakukan pengikisan terhadap digdaya tafsir cerpen lewat kedigdayaan kuasa manusia entah atas nama moral, kekuasaan, atau dogma suci, sementara pada saat yang sama realitas kekuasaan selalu jauh dari harapan dan aktualisasi tingkah-laku sehari-hari manusia sendiri semakin jauh pula dari mengakomodasi nilai-nilai moral dan nlai-nilai dogmatis kesucian itu. Inilah sikap inkonsistensi kita, bentuk kemunafikan kita, serba kemenduaan kita. Keteguhan kita menggusur atau mengeliminasi cerpen atau karya seni lain yang dianggap bertentangan, tidak diimbangi dengan keteguhan kita mengikis penyakit masyarakat, laku korupsi, ketidakadilan, kekerasan, serta berbagai maksiat di negeri ini. Di sinilah ironinya bahwa kita masih menyandarkan segala sesuatu pada hukum komplek, bahwa siapa yang terkuat dan terbanyak maka ia yang menang. Pada sebuah kesempatan penyair dan budayawan Goenawan Mohamad pernah mengajukan sebuah sindiran, kita hanya percaya pada sastra yang menentramkan, bukan pada sastra yang menggelisahkan. Ya, pada saat yang sama, kita memang hanya percaya pada cerpen yang menentramkan meski yang menentramkan itu berpotensi membonsai kreatifitas kita. Entah sampai kapan.(RD)

No comments:

Post a Comment