Monday, August 12, 2013

Menulis Cerpen


Apakah itu cerpen? Apakah ia hanya sehablur abjad yang mengonggok rata di halaman-halaman kertas, yang sedemikian rupa disusun dengan rangkai kata, dimakna dengan rangkai kalimat, imajinasi, plot, dan ending, lalau diberi judul semanis mungkin? Apakah itu cerpen? Apakah ia hanya kentut eskapis orang-orang bernama yang banyak berkhayal?

Cerita pendek disingkat cerpen. Disebut cerita pendek karena tulisan atau narasi ini jenisnya memang pendek. Cerpen disukai karena ia bisa ditulis dan dibaca sekali duduk. Setiap orang berbakat menulis cerpen. Setiap orang berpotensi menghasilkan satu cerpen setiap harinya. 
 Pengalaman dari keseharian manusia bergaul dan bersosialisasi menyediakan lumbung tema apa saja yang dapat dicerpenkan, meskipun tema itu sederhana dan remeh-temeh. Namun karena banyaknya orang abai dan enggan menulis, bakat dan potensi itu terlantar sia-sia seberlalunya waktu. Apa yang dialami, dilihat, dan dirasakan setiap orang bisa saja dituang dan dibentuk sebagai cerpen. Masalahnya banyak orang tak punya keberanian mencoba, bahkan lebih banyak lagi orang tak tertarik sama sekali. Boleh dibilang sedikit sekali orang berminat menulis cerpen, dan lebih sedikit lagi mereka yang bercita-cita menjadi cerpenis.

Menulis cerpen berangkat dari ide atau tema yang kita pungut dari pencerapan pikiran kita sehari-hari. Kadang orang memungutnya dari jelajah imajinasi, kadang ada yang memungutnya dari keping-keping realitas sehari-hari. Ide dan tema tak harus  melulu dipungut dari imajinasi yang rumit atau keping realitas yang fantastis. Dalam menentukan tema, penulis berhak lepas dan bebas berada di luar kotak, bebas dari penjara-penjara kategori, atau kooptasi pikiran yang membelenggu kreatifitas. Tema adalah ruh cerpen yang bebas, merdeka, tidak terikat oleh postulat-postulat atau dalil-dalil apapun dari siapapun. Jangan mudah terprovokasi oleh aturan-aturan senioritas, yang sok hebat, sok tahu, dan sok paling pintar. Kebanyakan senioritas yang macam-macam itu hanya beradigang-adigung-adiguna.

Selanjutnya tema dikembangkan menjadi bangunan cerita. Di tahap ini jelajah imajinasi seorang penulis sangat penting. Di setiap permulaan membangun cerita, jangan pernah ragu-ragu menuangkan kata-kata pertama yang hendak ditulis. Gunakanlah rangkai kalimat pertama yang melancarkan. Bagi pemula, ada baiknya menulis cerita dengan gaya kata ganti orang pertama "aku" agar lingkup cerita tidak mondar-mandir kemana-mana. Boleh jadi, saat memulai tulisan kita terbebani oleh ambisi hendak menuangkan kata-kata menarik, indah, menonjolkan rima,  dengan tujuan merebut perhatian. Naluri literasi semacam itu alami terjadi. Namun bagi pemula disarankan tidak memaksa diri dengan melakukan eksperimen teks semacam itu, karena bangunan cerita tak akan kunjung terbentuk jika waktu selalu habis untuk bertapa memikirkan kata-kata yang didamba. Lakukanlah eksprimen teks jika bangunan ceritanya sudah terbentuk. Jika bangunan cerita sudah jadi, penulis bebas melakukan re-evaluasi, atau dalam istilah pertukangan disebut "finishing" entah itu untuk menghaluskankembali apa yang masih kasar atau menambal apa yang terasa masih berlubang-lubang, tentu saja, dengan tidak merusak bangunan utamanya.

Dalam melakukan finishing tak ada salahnya jika penulis agak bergila dengan kata-kata. Di dunia cerpen siapapun tidak diharamkan menaklukkan keterbatasan. Tak ada apapun atau siapapun yang berhak menyempitkan kreatifitas kata-kata, karena itu adalah bagian dari jelajah imajinasi dan kreatifitas itu sendiri. Kegilaan bermain kata sangat membantu mencairkan jalan cerita dan berfungsi seperti "paku" yang berguna menguatkan tema cerita, terlepas temanya imajiner atau fakta, mitos atau realita. Bagaimana seorang cerpenis cuek bergila dengan kata-kata, bacalah cuplikan-cuplikan Cerpen Botol Kubur karya Arman AZ (KOMPAS, 2011) yang saya kutip di sini:

... ... ...
Pengalaman pertama memang guru terbaik. Kini, buatku, mencabut botol di kuburan telah menjadi hal biasa saja layaknya makan, berak, ketawa, atau kentut.
... ... ...
Kubuka resleting celana. Serupa anjing kencing, kunaikkan kaki kiri ke nisan kayu. Kuarahkan rudal ke sasaran. Sekedip kemudian, air kekuningan berdesis membentur gundukan tanah. "Ini minuman tambahan untukmu,  Anjing Tua..." kataku......

Seorang penulis cerpen memang tak perlu ragu menceploskan kata-kata ke bangunan cerpennya jika ayunan imajinasi kita memang meski mengada seperti itu, sebagaimana Arman yang enteng-enteng saja mencemplungkan kata-kata berak, kentut, atau rudal ke dalam cerpennya. Toh keberaniannya menceploskan kata-kata itu tetap tak melandaikan kekuatan cerpennya.

Kadang-kadang di akhir bangunan cerita, cerpen ditutup dengan unsur kejutan untuk menambah pukau cerita. Namun tak setiap ending harus ditutup dengan kejutan-kejutan. (RD)
 

No comments:

Post a Comment