Malam lebaran. Meski lebaran kita selalu senyap, aku tetap membingkiskan selembar catatan untuk Eni dan Sani, istri-anakku tercinta, dengan harapan catatan ini memberi perasaan sentosa di tengah citarasa getir ekonomi marginal yang betah memupuk. Dengan harapan mereka tidak terus disandera oleh pemahaman bias kapitalistik yang kian abu-abu mewajahi hakikat lebaran dan kian gencar menungganginya.
Juga dengan harapan mereka tidak ikut hanyut dan berkecil hati manakala yang kian masif ditonjolkan dan dipertontonkan oleh prilaku sosial adalah perayaan lebaran dengan oral materi dan pencitraan duniawi berbagai-bagai.
Istriku, Anakku, kita akhirnya sampai di 1
Syawal. Ketika di penghujung Ramadhan ini banyak orang salah mengira,
itu hanyalah kontroversi “produk” dari dualitas keyakinan yang berbeda
tipis. Jangan bertanya: benarkah? Kalender Masehi hanya
merancang, sementara kalender Hijriahnya tetap perkiraan yang ditentukan
secara dikotomi oleh dualitas keyakinan tadi, perkiraan yang bisa saja
salah satunya mengandung cacat. Meski resikonya siap cacat, meski
selusin ketupat lebaran dan sekerat daging yang telah kita tanak
setengahnya terpaksa harus menginap lagi, tapi toh kita tetap
lapang dada memutuskan untuk ikut dalil yang memikat orang ramai bahwa 1
Syawal 1434 Hijriah jatuh pada hari Kamis. Lupakan perbedaan hisab-rukyat
ketika kita sudah memutuskan. Di penghujung Agustus ini setidaknya
sampailah semua muslim menapak lagi menyambut hari raya Idul Fitri:
hari kemenangan (?).
Istriku, Anakku, hari raya Idul Fitri dimaknai sebagai hari kemenangan. Hari kemenangan siapa?
Hari kemenangan bagi insan muslim yang total kembali ke kesadaran
religiusnya dan total telah meninggalkan rumah laku-dirinya yang gelap.
Hari kemenangan bagi insan yang berhasil mengeliminasi segala kotoran
jahil MURAKKAB dalam egonya dan berhenti menjadi tawanan nafsu dan
iblisnya. Hari kemenangan bagi ia yang kembali ke fitrah, kembali
sebagai seorang hamba yang meletakkan segala kehinaan diri di mata-Nya,
tunduk menghadap-Nya dengan kelemahan dan kemiskinan dirinya, bertawajjuh kepada-Nya dengan hati penuh rasa malu, gentar, dan gemetar. Dan di hari kemenangannya, insan-insan fitri menangis: wahai
jiwa yang penuh dosa, berhentilah cenderung hanya kepada dunia dan
maksiat-maksiat kiblatnya orang-orang zhalim! Wahai jiwa yang gelap,
kenapa kau cenderung menjadi pengikut ASHHAB ASY-SYIMAL yang penuh tipu
daya tempat setan tekun menjelma dalam hati, tempat setan tekun merasuk
laku, pendengaran, penglihatan, perkataan, tangan dan kakimu,
sehingga seluruh tindakanmu adalah tindakan syaitani! Wahai jiwa,
berpalinglah. Aku rindu bertemu dengan nur dan cinta al-ISYQ. Aku
merindukan ampunan, rahmat, kelembutan, kedamaian, dan
kemurahan-kemurahan yang al-Haqq dan Rahmatan lil alamin. Wahai jiwa,
berpalinglah dari selain al-Haqq!
Di hari kemenangan, airmata insan
fitri yang menangis memohon ampunan-Nya serta-merta membasuh jiwa dan
menjadi air taubat yang tulus. Ketulusan itu memberinya kenikmatan dan
keindahan. Nikmat, karena ia menapaki perayaan lebaran hanya dengan
makrifat spiritual dan makrifat sosialnya dimana telinga batinnya
“mabuk” dan “intim” hanya mendengar suara-Nya dan suara-suara tertindas
saudara-saudaranya yang patut ia tolong dan ia kasihi segera, suara yang
tentu tak akan didengar oleh batin yang tak pantas, keras, jahil,
tamak, dan hanya main-main di kosmos ini. Indah, karena ketika ia
merayakan lebaran seluruh selubung batinnya ikut merekah menunjukkan
kepada sesamanya keindahan tali silatturahim, keindahan sifat
memaafkan, mengasihi, terbuka, menerima, dan lapang dada untuk menolong
dan berbagi. Di hari kemenangannya, insan fitri sejatinya berlebaran
dengan sekujur tubuh adalah cahaya, hatinya adalah cahaya, lisannya
adalah cahaya, kekuatan lahir dan batinnya adalah cahaya, dan inilah
yang terus ia pelihara tak hanya sebatas bulan Ramadhan dan hari lebaran
saja, namun sepanjang hidup. Kefitriannya tidak sekedar penyamaran temporer
yang lekas bias atau tumpul dalam hitungan hari saja, tidak juga
sekedar lakon palsu “tikus spiritual” yang alim di rumah ibadah tapi
sekaligus juga menjadi sutradara kezhaliman atau kreator rampok di muka bumi, namun kefitrian itu ia pelihara secara permanen tanpa
mendua. Itulah sebab, di hari kemenangannya, insan-insan fitri nan
sejati enggan menyandera makna hakiki lebarannya dengan lakon perayaan
penuh selebrasi, penuh simbolisasi materi, penuh solek, lebih-lebih berpesta-citra dan bereuforia ala snobies,
karena ” raksasa-raksasa spiritual” memang tidak berhias dengan materi
atau pencitraan diri, melainkan menghias jiwa dan lahirnya dengan
bentuk-bentuk kesucian dan kebajikan nir fublikasi yang tak habis-habisnya dibagi “diam-diam” kepada sesama.
Istriku, Anakku, hari raya Idul Fitri adalah momentum refleksi asketis dan Hall of spirit tempat manusia “diam-diam” meluruskan dan meningkatkan terus-menerus kualitas religiusnya (hablumminallah)
dan tempat bagaimana manusia menjangkarkan diri terus-menerus pada
makna dan nilai tentang adanya akar persaudaraan antar sesama (hablumminannas),
inilah wajah dan identitas pokok lebaran yang paling utama bertali-rapi
sebagai satu ikatan jihad mensucikan lahir dan batin. Yang pertama akan
hampa tanpa yang terakhir dan yang terakhir akan hampa tanpa yang
pertama. Mengutip kata-kata seorang pemikir besar dunia: Semakin banyak usaha yang ingin manusia tumpahkan ke Tuhan, semakin sedikit yang harus ia sisakan bagi dirinya.
Pahamilah ini sebagai obor, sebagai kompas iman, sebagai penepis
sekularitas, dan sebagai batu sangga hati agar kalian tak risau, tak
cemas, atau tak genting setiap menyambut datangnya lebaran. Dengan
menapak penuh rasa syukur dan terus berikhtiar menempuh peran menjadi
hamba fitri pada setiap keadaan, tak peduli realitas pahit-manis
kehidupan turut merebus perjuangan, berarti kita berkomitmen dan tidak
hipokrit bersetia di jalan tauhid dan kembali ke fitrah: suci
lahir-batin tak terbatas waktu dan ruang. Selamat hari raya Idul Fitri,
mohon maaf lahir dan batin. (RD)
No comments:
Post a Comment