M U K T A M A T A
Tidak
jelas kenapa tempat yang disebut kantor itu bisa berdiri. Hanya kios sepetak.
Hanya sebuah meja buruk berikut kursi murahan di dalamnya. Lalu di samping meja
terpajang sebuah etalase kaca berisi berbagai koleksi benda-benda aneh. Lalu ada
sebuah bangku kayu panjang dari pemilik kios yang berbaik hati meminjamkannya.
Selain itu sudah tak ada benda berarti di dalam. Di depan terbentanglah sebuah
spanduk bergambar keris bertuliskan “SERBA ANTIK KOLEKSI MANYAR” yang menjadi
penjelasan bahwa kios itu menjual benda-benda tua dan unik.
Yiyin satu-satunya pegawai yang bekerja di tempat itu. Di minggu pertama
bekerja, tak ada gairah yang menyinggahi janda beranak tiga ini kecuali bingung
tak terperi melihat tingkah-laku Ebel, lelaki muda yang mempekerjakannya. Ebel
berambut panjang, bermata tajam, berkepribadian dingin, namun gerak-geriknya
mengisyaratkan ada gangguan psikologis dalam dirinya. Lelaki itu lebih sering
bicara sendiri. Atau bersenandung, dengan senandung-senandung aneh yang tak
pernah didengar apalagi dimengerti. Dan di minggu pertama itu Yiyin jelas
berputus-asa karena waktunya hanya habis untuk termenung di kios sambil
bergumul dengan pikiran-pikiran tak menentu dari melihat gerak-gerik tak lazim
tuannya. Setiap menit dirasakannya ada misteri menegangkan. Sementara,
berhari-hari dilewati, belum seorangpun pernah singgah di kios mereka.
Memasuki minggu kedua barulah Ebel menjelaskan apa sebenarnya bisnis di
kios itu. “Di sini kita dagang,” katanya pada Yiyin. “Kita dagang benda-benda
gaib sebagaimana kau lihat di etalase itu. Hanya orang-orang tertentu yang akan
membelinya untuk berbagai kegunaan. Sekalipun jaman sudah modern, sekelompok
orang fanatik masih percaya pada tuah keris, batu-batu, dan artefak kuno. Kita
memang belum melihat mereka datang. Tapi percayalah, keberadaan kios kita telah
tersiar dan mulai mengundang mereka.
Maka mengertilah Yiyin. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, ia semakin
mengerti setelah orang-orang mulai berdatangan di kios. Ia tak mengira ternyata
benda-benda yang dijual di kios nilainya bisa sampai ratusan ribu. Pembeli yang
datang pun tak hanya dari kalangan biasa, namun lebih banyak pengusaha kaya dan
pejabat-pejabat bermobil mewah. Kadang mereka tak hanya datang sekali, tapi
berkali-kali.
Setiap kali Yiyin takjub, Ebel hanya tertawa-tawa. Suatu siang sang
janda yang masih berparas ayu ini tak kuasa lagi menahan tanyanya.
“Kenapa benda-benda ini begitu mahal? Darimana kau mendapatkannya hingga
tak habis-habis? Lalu kenapa pula kau sering bicara sendiri?”
Ebel tak segera menjawab. Ia membuka etalase dan mengambil sebuah batu
berwarna kuning terang kecoklat-coklatan. Batu ini akan aku berikan kepadamu.
Namanya batu Fatima. Nanti malam datanglah ke rumahku mengambilnya. Setelah
batu ini kau miliki, kau akan tahu kegunaannya. Soal darimana aku
mendapatkannya dan soal kenapa aku sering bicara sendiri, sebaiknya kau tak
perlu tahu.”
“Kenapa tidak sekarang saja kau berikan?”
“Tidak. Aku harus bungkus dulu batu ini dengan helai-helai kembang
bungur yang pohonnya banyak tumbuh di tepi laut. Aku akan carikan kembang
bungurnya nanti sore agar saat malam kau datang batunya telah siap dan tinggal
kau simpan.”
“Kau ini seperti dukun saja. Hanya dukun yang bermain-main dengan batu.”
“Aku bukan dukun. Tepatnya aku hanya seorang muktamata.”
Dahi Yiyin berkenyit. “Apa itu muktamata?”
“Sudahlah. Kalau kau tak mengerti, jangan jadi pikiran.”
*
Malam
harinya Yiyin benar-benar datang ke rumah tuannya. Rumah Ebel ternyata gubuk
biasa, tak lebih bagus dari kios yang ia sewa. Rumah itu terhimpit di pinggir
pemukiman penduduk dan adanya di ujung sebuah gang sempit. Suasana rumah sunyi
saat Yiyin mengetuk pintunya berkali-kali. Tapi sepeda motor Ebel terparkir di
luar menandakan ia ada di dalam.
Yiyin terkejut saat pintu dibuka. Bukan terkejut karena melihat Ebel
yang muncul di baliknya, namun karena dilihatnya banyak kucing berparas aneh
ikut berkerumun di sekitar Ebel.
“Masuklah,” Ebel memberi jalan
pada tamunya. “Jangan takut, semua ini kucing-kucing baik peliharaanku. Aku
kesepian bila hidup tanpa kucing-kucing ini.”
Yiyin masuk dengan langkah kikuk. Sebelum duduk, ia sempat memperhatikan
pemandangan lain di rumah Ebel. “Kau juga menyukai burung, ya?” ia mengomentari
apa yang ia lihat.
“Begitulah. Hanya empat burung yang aku pelihara. Dua ekor burung
kenari, dua ekor burung Robin. Aku juga
kesepian bila tak ada burung-burung itu. Kau mau minum apa, Yin?”
“Jangan repot-repot. Aku tak lama. Aku pikir kau bergurau saat bilang
hanya hidup sendiri. Kenapa kau tidak tertarik berumahtangga?”
Ebel tak menjawab. Hanya tersenyum. Ia berlalu sebentar dari hadapan
Yiyin, lalu muncul lagi sambil membawa sebuah bungkusan kain putih kecil.
“Justru aku yang berharap agar kau segera menikah lagi. Kasihan anak-anakmu.
Kasihan juga dirimu jika harus banting tulang sendiri. Simpanlah batu ini.
Semoga membantu.”
“Pernah dua kali aku hamper menikah lagi. Dua-duanya gagal karena
lelaki-lelaki itu ternyata hanya menginginkan tubuhku saja. Kini aku jelas
semakin tua. Sepertinya sudah tak ada yang tertarik padaku.”
Ebel mengambil salah-satu kucingnya dan meletakkan kucing itu di
pangkuan. “Jangan putus asa. Banyak lelaki masih akan mengejarmu,” katanya
sambil membelai-belai kucing itu. “Sekarang pulanglah dan simpan batu Fatima
ini baik-baik,” ia melepas tangannya dari kucing, lalu menarik tangan kanan
Yiyin dan menggenggamkan bungkusan kain putih kecil tadi di telapak jemari
lembut perempuan itu.
*
Rumah
Yiyin yang berstatus janda beranak tiga itu terletak di komplek perumahan
murah. Setahun, dua tahun, hingga tiga tahun berlalu sejak ia menyimpan batu
pemberian Ebel, mulai terjadi beberapa perubahan dalam hidup Yiyin. Rumahnya
tak henti-henti dikunjungi lelaki. Tidak hanya satu lelaki, dua, tiga, empat,
lima, berganti-ganti.Di komplek perumahan Yiyin telah menjadi bahan gunjing
tetangga-tetangga. Tapi Yiyin tak peduli. Ia berpikir lelaki-lelaki itu telah
memenuhi banyak kebutuhan materi hidupnya. Menutup pintu dari mereka hanya
karena gunjing-gunjing tetangga sama artinya ia mengundang kembali masa lalunya
yang pahit. Lagipula apa salahnya dengan lelaki-lelaki itu di rumah, toh mereka
hanya bertamu untuk menggodanya dengan segudang cinta palsu. Yiyin hanya
memanfaatkan mereka, namun belum pernah sekalipun ia memberi imbalan erotis
pada pria-pria hidung belang itu.
Yiyin sendiri lupa sejak kapan ia mulai disukai banyak lelaki. Yang
jelas kehadiran mereka mulai menyibukkannya. Tak hanya sebuah mobil dan
perhiasan berbagai-bagai yang telah ia dapatkan, namun juga uang yang
ditabungnya dengan jumlah hamper mencukupi untuk membeli sebuah rumah baru.
Yiyin juga sudah lama tak bekerja lagi di kios Ebel. Perubahan drastis
yang dialaminya membuatnya tak tertarik
lagi ada di sana. Hanya saja, pada akhirnya ia tetap merasa bersalah, karena
telah meninggalkan Ebel begitu saja tanpa sepatahpun kata-kata pamit. Tapi
Yiyin berjanji suatu ketika ia akan mengunjungi Ebel kembali. Entah bagaimana
keadaan lelaki muda itu sekarang.
Masihkah ia hidup bersama burung dan kucing-kucing peliharaannya? Masihkah di
kios ia kerap bicara sendiri?
Tapi, empat tahun lagi berlalu, Yiyin ternyata tak pernah membuktikan
keinginannya itu sekedar untuk mengunjungi Ebel.
*
Bulan
kelam. Langit merah gelap kesumba. Selisip angin malam terasa seperti lilitan
dingin kulit ular. Transportasi kota sudah lengang. Diam. Semua lampu merah
sudah kerlap-kerlip menyala kuning. Hanya satu-dua lalu-lalang kendaraan. Di
kelengangan itulah Ebel mengendarai sepeds motornya pelan-pelan. Tiba-tiba
sesosok perempuan menyetop di pertigaan taman kota. Wajahnya cantik tapi pucat.
Harum aneh menyengat dari tubuhnya yang dibalut selembar gaun terusan tipis.Ia biarkan
rambutnya terurai hingga menutup dada.
“Antar aku ke Manyar,” katanya seraya memandang Ebel dengan kelopak mata
kopong hampa.
Ebel tak banyak bicara. Tidak pernah ia tertarik bicara lama-lama.
Segera ia tancap gas begitu si perempuan hinggap di boncengan motornya. Motor
Ebel pun melintas melewati beberapa ruas jalan besar. Lalu keduanya memasuki
sebuah perkampungan sunyi. Di situ motor semakin melaju kencang dan baru
berhenti setelah melewati jalan-jalan setapak tepatnya di bibir hutan kecil
yang bertahun-tahun tak pernah dilewati manusia lagi.
Keduanya sempat hening. Cukup lama.
“Kebiasaanku mengantar hanya sampai di sini,” kata Ebel ketika
dilihatnya perempuan itu lama tak mau turun dari boncengan motor. “Turunlah.
Jangan lupa ongkosnya. Aku ingin tahu apa yang kau punya untuk membayarku.”
Sosok halus perempuan itu masih berkeras belum mau turun. “Aku ingin kau
ikut masuk dan temani aku ke metropolis Manyar,” ujarnya agak memaksa dengan
suara serau nan angkuh.”Sesekali kau ikutlah menghadiri pesta kami. Apa kau tak
tertarik menari semalam suntuk bersamaku, Ebel?”
Ebel tersenyum kecut, seperti jijik mendengar rayuan itu. “Sudahlah
jangan bergurau. Aku merasa tak pantas. Itu bukan duniaku. Jika mau menari, aku
hanya menari dengan sesama manusia. Sekarang bayar saja ongkosnya, lalu aku
bukakan pintu Manyar untukmu, dan setelahnya biarkan aku pergi.”
Sosok halus perempuan itu mengangkat tubuhnya dan ia sengaja
melayang-layang mengitari Ebel. Ia tampak kesal, kecewa, mungkin juga marah.
Tapi Ebel tak peduli. Dasar sundal,
pikirnya, sudah mati dan gentayangan
masih saja menggoda manusia. Mata Ebel hanya reflek mengikuti setiap
gerakan. Tapi ia geram ketika mahluk itu mulai berani mempermainkannya dengan
melempar buah-buah boni yang pepohonannya banyak tumbuh di sekitar hutan
Manyar.
“Hei, berhenti melempar. Kau mau masuk ke metropolis Manyar atau tidak?
Perempuan itu tertawa. Cekikikan. Ada kepongahan dan kesombongan dari
caranya menatap Ebel. “Aku tak yakin kau masih bisa membuka pintu Manyar itu,
Ebel!” tiba-tiba ia meremehkan kemampuan Ebel. “Cobalah kau buktikan sekarang,”
tantangnya ketus. “Kau akan sadar takdirmu sebagai muktamata sudah selesai.”
Ebel hanya geleng kepala melihat ketengilan itu. Dalam tujuh tahun
terakhir, baru kali ini ada mahluk astral mengoloknya. Ia gusar. Marah. Mulut
Ebel akhirnya komat-kamit melapas mantra. Sejenis mantra japa yakni mantra-mantra suci kuno. Mantra japa itu ia ulang-ulang agar pintu gaib Manyar terbuka seperti
biasa setiap ia memantrainya. Ternyata, memang tak bisa. Baru kali ini Ebel tak
bisa.
Tak menyerah, lalu ia coba lagi. Gagal lagi. Coba lagi. Gagal juga. Ada yang tidak beres, pikir Ebel. Tapi
ia tak yakin ini berkait dengan takdirnya sebagai muktamata sudah selesai. Ia serta-merta hanya ingat dengan
burung-burung dan kucing-kucing bior peliharaannya di rumah. Ia berfirasat
sesuatu terjadi dengan binatang-binatang kesayangannya. Ketika Ebel cepat-cepat
memutar motor hendak meninggalkan hutan Manyar untuk pulang memeriksa apa yang
sebenarnya terjadi di rumah, tiba-tiba sundal halus tadi melemparnya lagi. Empat lemparan keras menghantam kepalanya.
Kali ini Ebel marah besar. Kesabarannya tak terkendali lagi. Namun
kemarahan itu segera susut begitu melihat apa gerangan yang baru menerpa
kepalanya. Dilihatnya empat ekor burung kecil, menggelepar-gelepar sebentar,
lalu mati di tanah. Keempat-empatnya ternyata burung-burung peliharaan Ebel,
burung terpilih dari jenisnya. Sundal halus yang kini menghinggap di pohon
hanya tertawa-tawa setelah merenggut nyawa hewan-hewan tadi. Entah bagaimana,
sepertinya sundal itu memang tahu energi muktamata
Ebel selama ini terharmoni dari adanya burung-burung itu. Pantas mantra
Ebel tadi jadi hambar dan kehilangan digdaya ketika ia coba-coba membuka pintu
gaib Manyar: pintu yang dapat menghubungkan dunia fisik manusia dengan
metropolis mahluk kegelapan tempat para setan, jin, dan berbagai roh
gentayangan biasa berkumpul atau berpesta.
Sundal itu akhirnya turun dan mengawasi Ebel dari jarak lebih dekat.
“Ebel, akhirnya sekarang kau kembali lagi sebagai manusia biasa,” ejeknya
sumringah. “Hewan sucimu tak lagi mampu memberimu glamour yang menjadi aura muktamata-mu
selama ini. Seharusnya manusia seperti kalian memang tidak berhak ikut campur
dengan dunia kami, sebagaimana kami yang selalu kalian tindas jika ikut campur
dalam dunia kalian. Tapi kalian egois. Serakah. Selalu ada dusta di antara
kita. Sebenarnya kalianlah yang selalu mengusik kami. Kalian cari berbagai
kunci dan rumus-rumus purba agar dunia kita terus berhubungan, semuanya untuk
kepentingan kalian. Keserakahan kalian akan dunia ini selalu turun-temurun
tiada batasnya. Demi kemakmuran semu, kekuasaan, kesenangan, kesaktian, asmara
buta, balas dendam, tiada henti-hentinya kalian mengajak kami bersekutu,
padahal itu hanya tipu daya kami agar kalian sesat. Permufakatan gelap seperti
ini tak akan usai hingga semesta kita berakhir.”
Ebel menatap tajam pada perempuan halus itu dengan sikap mulai mengecam.
“Hei mahluk terkutuk, jangan menceramahi aku. Takdirku sebagai muktamata bukan sekedar untuk membuka
pintu gaib Manyar. Ketahuilah, aku juga bisa menghukummu jika aku mau!”
Si sundal tertawa melengking. Lalu cekikikan. Tertawa melengking lagi.
Lalu cekikikan lagi. Suaranya benar-benar memecah keheningan hutan. Dan dari
sikapnya, ia semakin berani saja terhadap Ebel. “Kau pikir hanya burung-burung
sucimu yang aku lenyapkan?” katanya agak mengolok. “Kucing-kucing bior
peliharaanmu itupun telah aku habisi. Mudah bagiku membujuk dan merayu
bocah-bocah bengal anak para tetanggamu agar meracuni kucing-kucing itu dengan
makanan enak. Seluruh aura kekuatanmu telah hancur sekarang. Kau telah kosong!
Kosong!”
Ebel gusar lagi. Ia coba membuktikan kata-kata sundal itu. Ia coba
keluarkan kemampuannya menghukum mahluk-mahluk halus. Tetapi jangankan
menghukum, menyentuh perempuan halus itupun ia sudah tak bisa.
Si sundal mencibir. Semakin sinis saja ia. “Aku sarankan kau pulang saja
dan lupakan petualanganmu menjadi muktamata,
Ebel. Apa kau tidak lelah terus-terusan menjadi juru kunci kami di pintu gaib
Manyar ini? Apa kau tidak bosan menggenggam terus sebatang takdir hidup yang
aneh?”
Gila! Gila! Mula-mula Ebel masih tak menerima keadaan yang terjadi.
Tetapi ia berpikir. Lama ia berpikir. Sundal
ini entah kenapa tahu juga tentang yang benar, pikirnya.
Keadaan semakin jelas. Setelah melihat dua burung kenari dan dua burung
robin miliknya mati, lalu mendengar kucing-kucing biornya ikut mati, jelas Ebel
bukan siapa-siapa sekarang. Jika menyoal tentang kelelahan, sebenarnya Ebel
memang lelah. Dibilang bosan, ia juga mulai bosan. Sudah tujuh tahun ia
menjalankan peran sebagai muktamata,
sebutan untuk orang yang dapat berinteraksi penuh dengan mahluk-mahluk astral.
Selama memerankannya, setiap malam ia tak pernah melewatkan perjumpaan dengan
mereka, menjadi pelayan mereka di pintu gaib Manyar, dan dari mereka ia berburu
mendapatkan imbalan benda-benda mistik dengan nilai ekonomi tinggi. Mungkin
memang sudah saatnya ia berhenti. Toh, batin Ebel sebenarnya tak juga pernah
merasa tenang selama menjalani kehidupan sebagai muktamata, walau jika ia masih tertarik, ia bisa saja
melanggengkannya lagi dengan mencari burung-burung baru yang serupa dan
kucing-kucing bior yang serupa pula. Tapi sudahlah, tak lagi dipikirnya untuk
ke sana.
Akhirnya Ebel menjauh dari sundal itu. Ia tentu berjanji untuk menjauh
selama-lamanya dari kehidupan jenis mereka. Ebel bahkan segera menutup kios
penjualan barang-barang gaibnya.
Sejak saat itulah hidup Ebel berubah. Ia tak pernah lagi mengembara di
dunia malam. Ia tak pernah lagi sua mahluk astral apapun, kecuali di suatu
hari, ketika ia membaca sebuah Koran pagi yang memberitakan sebuah kecelakaan
maut di jalan tol yang merenggut nyawa seorang perempuan kaya raya bernama
Yiyin. Pada malam harinya wujud halus perempuan itu bertamu ke rumahnya dan
menyerahkan sebuah bungkusan kain putih kecil berisi batu Fatima dan
lembaran-lembaran kembang bungur yang telah mengering.
“Ebel, antar aku ke Manyar,” perempuan halus itu memohon padanya.
Ebel lari tunggang-langgang meninggalkan rumahnya dan berteriak-teriak
minta tolong kepada para tetangga.
Bandar
Lampung, 10 September 2011
No comments:
Post a Comment