Sunday, June 10, 2012

DIGDAYA CERPEN MENAFSIR MANUSIA









Sekalipun katanya ada orang bisa berjalan di atas air berkat membaca doa secara benar, ia sadar dan yakin itu tidak harus berarti bisa terwujud dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri. Guru Kiplik,  yang terkenal tekun mengajari orang-orang cara berdoa yang benar, menganggap kemampuan berjalan di atas air hanya mitos, dongeng, khayal, atau hanya perlambang bebasnya tubuh seseorang dari keterikatan duniawi. Maka suatu ketika, dalam perjalanannya, tibalah Guru Kiplik di sebuah pulau nan makmur berpenduduk hanya sembilan orang yang tak putus-putusnya berdoa. Guru Kiplik langsung menilai bahwa penduduk pulau berdoa dengan cara yang salah. Ia menilai doa mereka justru memohon kutukan bagi diri sendiri. Akhirnya dengan bersusah-payah Guru Kiplik mengajar penduduk pulau cara berdoa yang benar. Setelah sembilan orang itu dianggapnya berhasil, pamitlah Guru Kiplik untuk melanjutkan perjalanan. Namun di atas perahu layar yang membawanya pulang, Guru Kiplik dibuat terpana. Matanya terkerjap-kerjap, mulutnya menganga, karena tak percaya atas apa yang ia lihat. Guru Kiplik menyaksikan bagaimana sembilan orang penghuni pulau tiba-tiba kembali mengejarnya dengan berlari-lari cepat sekali di atas air. Mereka mendekati perahu layar sambil berteriak-teriak, “Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru. Kami lupa lagi cara ber-
doa yang benar!”
     Sebagaimana ringkasan cerita di atas, begitulah kira-kira sebuah ironi dan satire hendak disampaikan Seno Gumira Ajidarma lewat cerpennya berjudul Dodolitdodolitdodolibret. Ironi, bahwa kebenaran yang seseorang genggam dan anut dengan kacamata kebenarannya sendiri ternyata bukan sebuah kebenaran absolute. Satire, bahwa di balik cerpen yan tokoh imajinernya Guru Kiplik tadi terkandung pesan mendalam yang terasa mengolok formalitas kaku kita dalam melihat kebenaran, atau menggelitik-gelitik ketaatan buta kita pada versi-versi kebenaran yang belum tentu paling benar.
     Begitulah kedigdayaan cerpen menafsir manusia. Kehidupan manusia yang hitam-putih, dualisme antara bayang-bayang iblis dan malaikat, penuh anomali  dan pertentangan, serta sarat dengan tonjolan sikap yang—pinjam istilah Pakubuwono IV—serba “adigang-adigung-adiguna”, mendudukkan manusia sebagai semesta tafsir yang luas dan komplek. Semesta luas dan komplek hanya mungkin dijangkau utuh oleh yang sejatinya tak tunduk pada keterbatasan, yakni gagasan dan imajinasi. Karena ia adalah perwujud dari gagasan dan imajinasi, maka cerpen berkemampuan hadir aktif menafsir manusia, meski ia produk budaya dari pikiran manusia itu sendiri.
     Ketika menafsir manusia, cerpen tak tunduk pada keterbatasan dan dengan begitu ia bebas menjelajahi eksistensi manusia dengan seluruh realitasnya, termasuk bebas mengaduk-aduk ke-tidakberesan yang berlangsung di tengah manusia dan bebas masuk di semua alam akal, ruh, ide, laku, serta dinamisasi alam materinya. Dalam rangka menafsir, cerpen bahkan mampu menemukan apa yang tersembunyi di ruang gelap manusia sekalipun dan punya kedigdayaan untuk bilang “tidak” justru di saat culture masyarakat sekitar penulisnya lebih sering berkata “ya” sebagai bentuk kepatuhan terhadap penguasa dan dogma.

 
Ilham
     Terkadang berseberangan dengan kedudukan penulisnya yang terhormat atau tidak terhormat, atau berlawanan dengan kelemahan-kelemahan penulisnya yang mungkin tidak bahagia dan lemah tak berdaya, cerpen justru serba memahami apa yang semua orang ingini berkait kehormatan dan sangat teliti menjelaskan apa arti bahagia lengkap dengan atribut-atributnya. Kemudian tak terhitung jumlah cerpen yang ikut menafsir manusia berkait ritme kehidupan mereka yang paling absurd atau paling cabul sekalipun dengan berbagai sudut pandang tingkah-laku: kekerasan, ketidakadilan, kemunafikan, kepandiran, frustasi, kegilaan, kesenangan, kekuasaan, dendam, asmara, bahkan hingga ke batas-batas sakral keyakinan yang masih manusia sering ragukan maka dengannya digedor berulang-ulang, dan semua dijangkau dengan gayanya menafsir, entah dengan narasi gurauan, sindiran, romantisme, harapan, atau to the point dengan ekspresi protes, kegeraman, provokatif, penghinaan. Di posisi ini, penulis cerpen kerap hanya menjalankan peran sebagai narator atau penyampai atas ilham yang diajukan secara misteri, dalam keserbaan waktu, lewat konstruksi kehadiran serba misterius pula, ke semesta pikirannya. Di posisinya, berkait ilham dan proses kreatif, penulis sendiri banyak mengakui apa yang mendasari terciptanya karya-karya cerpen mereka, bahwa kebanyakan mereka tidak tahu atau kebanyakan bilang lupa atau mengatakan, “semua kehendak ilham, penulis hanya alatnya”.

Inkonsistensi tafsir kuasa manusia
     Kedigdayaan cerpen menafsir manusia memang kerap berbuah silang sengketa di jagad ma-nusia. Ketika cerpen hadir menyentil atau merespon status quo pemahaman manusia dengan tafsir pemahaman literer-nya yang berbeda, tak jarang ia disikapi pro dan kontra. Inilah yang dialami cerpen “Langit Makin Mendung” yang tergelincir kala ditarik ke pro-kontra demikian.
Begitu pula cerpen “Jangan Main-Main dengan Kelaminmu” dan cerpen “Anjing-Anjing yang Masuk Surga” sempat juga dianggap kontroversial saat dibenturkan ke pemahaman yang hidup di tengah masyarakat.
     Betapapun tafsirnya kadang tak dikehendaki, sungguh tak adil memang mengikis digdaya tafsir cerpen dengan tafsir kuasa manusia atas nama kekuasaan, moral, dan dogma suci sementara pada saat yang sama realitas kekuasaan selalu jauh dari harapan dan aktualisasi tingkah-laku sehari-hari manusia sendiri semakin jauh pula dari mengakomodasi nilai-nilai moral dan nilai-nilai dogmatis kesucian itu. Inilah sikap inkonsistensi kita, kemunafikan kita, serba kemenduaan kita. Keteguhan kita menggusur dan mengeliminasi cerpen atau bentuk-bentuk karya seni lain yang dianggap bertentangan, tidak diimbangi dengan keteguhan kita mengikis laku korupsi, kolusi, ketidakadilan, kekerasan, serta berbagai maksiat di negeri ini. Di sinilah ironinya bahwa kita masih menyandarkan segala sesuatunya pada hokum konflik, bahwa siapa yang kuat maka ia yang menang. Pada sebuah kesempatan, penyair dan budayawan Goenawan Mohamad pernah mengajukan sebuah sindiran: kita hanya percaya pada sastra yang menentramkan, bukan pada sastra yang menggelisahkan. Ya, pada saat yang sama, kita hanya percaya pada cerpen yang menentramkan meski yang menentramkan itu berpotensi membodohi kita. Entah sampai kapan.

No comments:

Post a Comment