N I M A H
Caranya menatap, tajam menebas
setiap jalinan basa-basi dan kebimbangan. Gerak-geriknya seperti ombak,
berkelindan tak sepenuhnya bisa diam. Bicaranya tidak disukai, pedas dan
anarkis, sekalipun dengan itu mungkin ia hanya ingin bicara untuk pantas. Lalu
orang banyak tahu riak keberaniannya, semirip tarian api yang tak pernah bisa
dipertalikan rapi. Setiap ia bertanya, tanyanya mengandung pahit dan getir.
Setiap ia menjawab, jawabnya bengis dan mengandung bau kematian. Itu sebab, asa
dan hormat warga-warga kampung adat
tumpah kepada Nimah. Begitu banyak harapan diam-diam disisipkan di pundaknya
untuk memerangi pemerintahan Belanda di Onder
Distrik. Suatu ketika harapan itu memang nyaris pudar manakala tersiar
kabar Nimah jatuh sakit dan harus dirawat. Ia dirawat cukup lama dan mula-mula
tak seorangpun tahu dirawat di mana. Tetapi setelah hanya sebulan menghilang,
sukacita warga kampung kembali merekah.
Terakhir kabar, Nimah gelar Rajo Gunung sudah sembuh dari sakitnya.
Terakhir terbisik, rupanya selama menghilang Nimah bersembunyi dan dirawat di kampung
Gedungwani. Anak keturunan Raden
Cakradinata berbaik hati menampung dan mengobatinya selama di sana. Sesembuhnya
Nimah, berita sukacita ini berkembang cepat, dari mulut ke mulut, hingga
seluruh kampung adat di Onder Distrik Sukadana langsung
mengetahuinya. Tukang jagal yang paling ditakuti tentara-tentara Belanda ini
kembali menjadi pembicaraan hangat terutama di Terbanggi Marga, kampung adat
tempatnya menetap. Terakhir kabar, pos militer belanda di Draad langsung bersiaga satu. Kantor-kantor utama mereka dijaga
ketat dan mulai jarang patrol tentara muncul di beranda-beranda kampung.
Terakhir terungkap, sebulan Nimah jatuh
sakit ternyata akibat racun minuman yang masuk ke tubuhnya. Cerita yang
berkembang, lelaki yang katanya bertubuh tak tembus besi dan peluru ini
dikelabui oleh teman dekatnya sendiri, seorang juru tulis kekresidenan bernama Madhali gelar Suttan Rajo Penggulung Bumi. Bermula, Madhali mengundang Nimah
makan malam di rumahnya di kampung Dam Aji. Nimah datang tanpa curiga. Seusai
memuaskan makan dan minum, Nimah melenggang pulang. Namun persis di depan
rumahnya, ia tiba-tiba muntah, lalu
jatuh tak sadarkan diri. Buai-buai Terbanggi
Marga, tua dan muda, lantas berbondong-bondong menolongnya. Mereka kemudian tak
hanya mengobatinya, melainkan berinisiatif pula menyembunyikan Nimah di tempat
aman, sebab, tak lama berselang patrol tentara Draad langsung bermunculan hendak menangkap Nimah begitu mereka
tahu gelagat ia gagal diracuni. Kondisi Nimah yang sedang lemah tentunya mudah
untuk ditangkap. Namun tentara-tentara Belanda itu gagal. Beberapa orang
bergerak lebih cepat membawa Nimah menghilang. Terakhir kabar, Madhali memang
disuap tentara Belanda untuk membunuh Nimah. Madhali yang khianat hanya
menggunakan racun biasa, di situlah ia keliru.
***
Terakhir terlihat, sesembuhnya ia
dari sakit, Nimah segera mengumpulkan buai-buai
Terbanggi Marga. Bahkan ia ikut mengundang buai-buai dua kampung adat terdekat, yakni buai Mataram dan buai Nuban.
Beberapa Pesirah dan belasan Penyimbang adat ikut berkumpul
bersamanya. Nimah meminta persetujuan dan restu dari semua yang hadir karena ia
akan membalaskan sakit hatinya kepada Madhali.
“Nyow
pai pendapet sekam-sekam? Nyak mak ago lagiy ngenah raghah ino uric. Nyak anak
kappang lamun mak dapok nettek pegat galahno—Apa pendapat saudara-saudara
sekalian? Aku tidak mau lagi melihat lelaki itu hidup. Aku anak jadah jika mala
mini tak mampu memenggal kepalanya,” tutur Nimah dengan logat dan bahasa
Lampung yang nyaring. Bau kematian seketika menebar di pertemuan itu.
Para buai
yang tua-tua lama berembug dengan para Pesirah
dan Penyimbang adat. Dalam
pandangan adat, selalu dianjurkan menghindari kekerasan antar sesame. Namun di
hadapan Nimah malam itu siapapun jelas tak kuasa berasosiasi mencegah
rencananya menumpahkan darah.
Seorang sepuh bernama Mulak gelar Suttan Seteru Jagat akhirnya angkat
bicara. “Ikam pandai khedi sei waway,
namun nikuw lebih ngertiy khedo sei waway guway aneg gham. Madhali sangun kak
ngiyek-yek kuto persatuan aneg. Jadi lamun ngecucak ragah ino kak terserah
niku, ikam-ikam ijo nutuk gaweh—Kami tahu mana yang baik, tapi kamu lebih
paham mana yang baik untuk kampung kita. Madhali memang sudah menginjak-injak
persatuan kampung. Jadi soal lelaki itu sudah terserah kamu, kami semua ikut
saja.”
Terakhir tertengok, begitu pertemuan
bubar, Nimah langsung pergi mencari Madhali di kampung Dam Aji. Malam itu
ketegangan sontak menyelimuti hamper seluruh kampung adat di Onder Distrik. Kabar akan terjadi
pembunuhan menyebar cepat. Malam terasa amat panjang.
Seusai azan Subuh barulah Nimah muncul
lagi di kampungnya. Ia muncul dengan kepala tegak dan sikap gagah. Orang-orang
hanya berani mengintip dari jendela rumah masing-masing. Ada kengerian manakala
mereka lihat Nimah berteriak-teriak menang di sepanjang jalan, sambil membawa
sepotong kepala penuh darah. Itu adalah kepala Madhali dengan bentuk wajah yang
sudah remuk tak berupa. Terakhir terkabar, sebelum Nimah memenggal kepala
Madhali, terlebih dahulu ia harus menghadapi hadangan serta berondongan peluru
tentara Belanda yang menjaga ketat rumah juru tulis khianat itu. Tapi seperti
biasa tak ada satu peluru yang berhasil melumpuhkannya. Malah tentara-tentara
Belanda itu dibuatnya berlarian tunggang-langgang. Madhali sendiri dibunuh dan
dipenggal di dapur rumahnya.
Terakhir terlihat, sehari setelah pembunuhan
itu, muncul seorang utusan dari Dam Aji. Utusan itu dengan penuh ketakutan
bertamu ke rumah Nimah, untuk meminta kembali kepala Madhali. Ia memohon-mohon
kepada Nimah karena kepala itu sangat diperlukan untuk melengkapi jasad Madhali yang hendak dikubur.
Namun utusan itu pingsan ketika Nimah memperlihatkan kepadanya satu belanga
besar berisi gulai pindang yang masih hangat. Kepala Madhali ikut dipindang di
dalamnya. Sesaat setelah utusan itu siuman, Nimah sempat memaksa lagi tamu
nekatnya untuk menyantap bersama-sama rebusan daging wajah dan kepala Madhali
yang mengambang di belanga gulai. Terakhir terlihat, utusan itu pingsan lagi.
***
Terakhir terbetik, seminggu
setelah jasad Madhali dikuburkan tanpa kepala, buai-buai kampung Dam Aji bersatu dengan para tentara Draad untuk membasmi Nimah dan buai-buai tiga kampung adat yang
mendukungnya. Para pria buai Dam Aji
giat melatih raga dan melengkapi diri masing-masing dengan pusaka tua yang mereka
anggap mengandung tuah kedigdayaan. Aneka rupa jimat dan senjata purba mereka
pinjam dari “datuk-datuk” setempat. Semangat balas dendam mereka rupanya
dikobarkan oleh Gondani gelar Pangeran
Pengatur Angin yang tak lain adalah adik Madhali. Sementara, tentara
Belanda di Draad menambah jumlah
personilnya dengan mendatangkan tentara tambahan dari markas induk mereka di
Teluk Betung. Terakhir terbetik, kekuatan gabungan ini direncana akan mengepung
dan menyerang kampung Terbanggi Marga, kampung Mataram, dan kampung Nuban
secara frontal siang dan malam sampai Nimah tertangkap hidup atau mati.
Terakhir tersiar, begitu pengepungan dan
serangan dimulai, dua minggu lamanya Onder
Distrik Sukadana panas mencekam. Balatentara Belanda yang dipimpin Mark Van
Dellan berkeliaran tak kenal waktu dan mereka tegas bertindak di tiga kampung
yang dikepung. Karena perlawanan kalah dari segi persenjataan, banyak anggota buai-buai tiga kampung itu akhirnya
dianiaya dan ditangkap. Mereka yang ditangkap otomatis menjadi tahanan di Draad. Banyak pula yang ditembak mati di
tempat. Buai-buai Dam Aji tak sedikit
pula ikut membunuh.
Melihat saudara-saudaranya menderita,
Nimah tak tinggal diam.
“Ngelalung
indui jimo-jimo kemejo—Bangsat semua orang-orang ini!” ia marah, kemudian
mengobarkan semangat perlawanan. “Kaban
buai, dang mettiy meneng gegeh manuk keno dugug. Lebih ngemik igo badan mettiy
dipepeh rah timbang meneng ngenah pelatik-pelatik ijo ngiyek-yek ulow rham.
Tano lawan! Bo luwah segalo pekakas perang mettiy—Wahai sanak kerabat
saudara sekampung, jangan kalian diam saja seperti ayam sakit. Lebih terhormat
tubuh kalian dicuci darah daripada diam melihat setan-setan ini menginjak-injak
kepala kita. Sekrang lawan! Keluarkan semua perlengkapan perang kalian.”
Seruan Nimah menjadi seruan yang tak
biasa. Buai-buai tiga kampung yang
mulai patah arang tertuntun kembali memperkuat barisan dan mengeraskan
perlawanan.
Perang hebat pecah. Ratusan payan berterbangan di udara. Segala
badik dan pedang beraksi menjemput nyawa. Terakhir tersiar, balatentara Belanda
kewalahan juga menghadapi amuk Nimah dan amuk buai-buai tiga kampung yang akhirnya ikut kesetanan. Pihak Belanda
akhirnya mundur teratur setelah melihat personilnya banyak mati menggenaskan.
Bahkan, leher Mark Van Dellan tak luput dari tebasan payan Nimah. Buai-buai Dam
Aji otomatis kocar-kacir dan menghilang pula. Pusaka-pusaka tua mereka luruh
tak membantu.
Terakhir tersiar, kemarahan Nimah tak
berhenti sampai di situ. Sehari seusai perang, Nimah dengan gagah berani
mendatangi markas Belanda di Draad.
Sambil melempar kepala Mark Van Dellan ke pintu penjaga, ia menuntut anggota buai-buai tiga kampung yang ditahan agar
segera dibebaskan. Tuntutannya dipenuhi. Tapi itu belum memuaskan Nimah.
Setelah memulangkan anggota buai-buai yang
sempat ditahan tentara Belanda, Nimah mendatangi kampung Dam Aji. Rumah di
kampung itu hamper separuh dibakarnya. Lalu siapapun buai-buai Dam Aji yang tampak di mata, langsung dibunuh, kecuali
anak-anak dan kaum perempuan. Terakhir ia berhasil menemukan Gondani yang
bersembunyi di dalam sumur. Lelaki itu dipenggalnya. Setelah ditancapkan di
ujung sebatang bambu, kepala Gondani dipajang di tepi waduk Dam Aji. Nimah
mengangkat sumpah di depan kepala itu, siapapun anak-cucu keturunannya haram membangun
keturunan dengan buai Dam Aji. Karena
peristiwa itulah kampung Dam Aji kemudian menjadi wilayah mati tak berpenghuni.
Anak-anak dan kaum perempuan Dam Aji yang dibiarkan hidup oleh Nimah menghilang
pergi entah kemana. Dan untuk mengingat sumpah Nimah, buai-buai tiga kampung jadi terbiasa menyebut wilayah Dam Aji
sebagai “Pringgondani” atau bamboo
Gondani, tempat dimana sumpah itu diucap. Terakhir kabar, wilayah Dam Aji atau Pringgondani kembali berpenghuni setelah
didatangi warga transmigran.
***
Terakhir terkisah, seusai
pergolakan yang menghanguskan riwayat kampung Dam Aji, setahun lamanya tentara
Belanda di Draad mencari-cari lagi
cara untuk melenyapkan Nimah. Bagi mereka Nimah tetap menjadi ancaman serius.
Setelah melakukan kontak dan konsultasi berulang-ulang dengan para pucuk
pimpinan colonial di pusat, akhirnya diutuslah dari Batavia seorang pedagang
dari pribumi-keturunan bernama Berik. Dalam penyamarannya, mula-mula Berik
hanya datang bergaya seperti pedagang-pedagang biasa. Ia berkeliling setiap
hari menjual kain dan kasut di sekitar wilayah Onder Distrik Sukadana. Kehadirannya cepat diterima di kampung mana
saja karena sikapnya yang ramah dan murah hati.
Suatu hari Nimah membutuhkan kasut baru
dan mengundang Berik datang ke rumahnya. Da-ri situlah perkenalan keduanya
dimulai. Nimah langsung menaruh simpati kepada Berik karena hari itu ia tak
hanya diberi kasut gratis oleh si pedagang, melainkan dihadiahi juga kain-kain
yang bagus. Bahkan beberapa waktu kemudian setelah keduanya saling sering
bertemu dan menjalin persahabatan, Nimah menyediakan tempat bagi Berik untuk
membuka toko. Dengan toko, perniagaan Berik pun maju pesat karena Nimah berdiri
sebagai pelindung di belakangnya. Tak hanya kasut dan kain saja kemudian dijual
Berik, tetapi meningkat ke beraneka-ragam barang lain yang didatangkannya dari
Batavia.
Terakhir terkisah, begitu melihat hubungan
Nimah dan Berik semakin erat, pihak Belanda akhirnya tak sabar. Mereka segera
mengirim sinyal rahasia agar Berik tak menunda-nunda lagi menjalankan misinya
membunuh Nimah dengan racun terganas yang jauh-jauh hari sudah disiapkan.
Terakhir terkisah, perintah itupun dilaksanakan oleh Berik saat Nimah singgah
di tokonya dan saat Nimah minta dihidangkan kopi sebagaimana biasanya. Racun
itu terminum. Reaksinya cepat sekali. Kali ini Nimah tak kuasa melawan racun
yang memang diracik sendiri oleh Berik. Nimah mati dalam hitungan detik.
Tubuhnya kaku biru di dalam toko. Dan hari itu juga Berik langsung dipulangkan
oleh tentara-tentara Belanda ke Batavia.
Terakhir kabar, buai-buai tiga kampung adat berkabung selama tujuh hari tujuh malam
meratapi kematian Nimah. Mereka mengutuk Berik dan pihak Belanda, karena begitu
mereka menemukan tubuh tak bernyawa Nimah yang dilempar tentara Belanda ke tepi
jalan, mereka yakin yang meracuni Nimah adalah Berik dan mereka tahu pihak
Belanda ada di belakang semua kejadian itu. Sakit hati warga tiga kampung tak
terpanai rasanya. Dalam perkabungan, mereka semua jelas tak bisa menyembunyikan
ekpresi dendam kepada Berik yang dianggap licik dan tak tahu terima kasih.
Dibakar benci dan sakit hati, buai-buai tiga
kampung kemudian memutuskan beramai-ramai membakar toko pedagang itu. Di toko
itu seluruh amarah mereka luapkan. Tapi mereka tak berdaya ketika
tentara-tentara Belanda datang menghalau dengan bedil. Tanpa Nimah,
tentara-tentara dari Draad itu tentu
berani menindas mereka kembali. Penindasan kembali tentara Belanda akhirnya
berlangsung cukup lama, sampai kemudian terdengar kabar telah meletus perang
dunia kedua. Belanda menyerah di tangan Jepang dan angkat kaki dari Nusantara.
Tentara-tentara Jepang kemudian masuk menggantikan tentara-tentara Belanda di Draad. Namun itu tak berlangsung lama.
Cengkraman Jepang di Pasifik dan Asia Tenggara berakhir setelah Amerika
menjatuhkan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima. Tak lama kemudian Ir. Soekarno
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Terakhir kabar, berpuluh tahun setelah Indonesia merdeka, Onder Distrik Sukadana diubah statusnya
menjadi negeri adat, lalu tak lama
menjadi sebuah kecamatan, sampai kemudian statusnya ditingkatkan menjadi
Ibukota Kabupaten Lampung Timur. Berpuluh-puluh tahun dilampaui, sekian
generasi buai berganti sudah. Tapi siapapun
tahu, buai-buai tiga kampung yang
kini hidup sebagai cicit-cangkang penerus tampaknya sudah melupakan kisah
Nimah. Bahkan bagi buai-buai Terbanggi
Marga yang ada sekarang, sejarah Nimah mungkin tak penting lagi. Jika ditanya,
mungkin tak satupun mereka tahu siapa Nimah dan di mana kuburnya. Di Sukadana
sekarang hanya satu mungkin jejak rekam historis Nimah yang masih kuat
tertanam, yang abadi seperti dogma alami, yakni sikap antipati local dan tidak welcome-nya
masyarakat asli setempat terhadap orang-orang keturunan seperti Berik.
Sukadana, 15 September 2011
Catatan
Onder
Distrik :
Bentuk kewilayahan di bawah kresidenan
pada masa Hindia Belanda
Draad : Tempat yang dinamai Belanda untuk markasnya
di Onder Distrik Sukadana
Buai : Sanak-kerabat-saudara sekampung yang satu
marga
Pesirah : Pejabat setingkat kepala
kampung pada masa Hindia Belanda
Penyimbang : Pemuka adat
Payan : Nama tombak tradisional
masyarakat Lampung
No comments:
Post a Comment