Sunday, June 10, 2012

CERPEN


N  I  M  A  H



Caranya menatap, tajam menebas setiap jalinan basa-basi dan kebimbangan. Gerak-geriknya seperti ombak, berkelindan tak sepenuhnya bisa diam. Bicaranya tidak disukai, pedas dan anarkis, sekalipun dengan itu mungkin ia hanya ingin bicara untuk pantas. Lalu orang banyak tahu riak keberaniannya, semirip tarian api yang tak pernah bisa dipertalikan rapi. Setiap ia bertanya, tanyanya mengandung pahit dan getir. Setiap ia menjawab, jawabnya bengis dan mengandung bau kematian. Itu sebab, asa dan hormat warga-warga kampung  adat tumpah kepada Nimah. Begitu banyak harapan diam-diam disisipkan di pundaknya untuk memerangi pemerintahan Belanda di Onder Distrik. Suatu ketika harapan itu memang nyaris pudar manakala tersiar kabar Nimah jatuh sakit dan harus dirawat. Ia dirawat cukup lama dan mula-mula tak seorangpun tahu dirawat di mana. Tetapi setelah hanya sebulan menghilang, sukacita warga kampung  kembali merekah.
     Terakhir kabar, Nimah gelar Rajo Gunung sudah sembuh dari sakitnya. Terakhir terbisik, rupanya selama menghilang Nimah bersembunyi dan dirawat di kampung  Gedungwani. Anak keturunan Raden Cakradinata berbaik hati menampung dan mengobatinya selama di sana. Sesembuhnya Nimah, berita sukacita ini berkembang cepat, dari mulut ke mulut, hingga seluruh kampung  adat di Onder Distrik Sukadana langsung mengetahuinya. Tukang jagal yang paling ditakuti tentara-tentara Belanda ini kembali menjadi pembicaraan hangat terutama di Terbanggi Marga, kampung adat tempatnya menetap. Terakhir kabar, pos militer belanda di Draad langsung bersiaga satu. Kantor-kantor utama mereka dijaga ketat dan mulai jarang patrol tentara muncul di beranda-beranda kampung.
     Terakhir terungkap, sebulan Nimah jatuh sakit ternyata akibat racun minuman yang masuk ke tubuhnya. Cerita yang berkembang, lelaki yang katanya bertubuh tak tembus besi dan peluru ini dikelabui oleh teman dekatnya sendiri, seorang juru tulis kekresidenan bernama Madhali gelar Suttan Rajo Penggulung Bumi. Bermula, Madhali mengundang Nimah makan malam di rumahnya di kampung Dam Aji. Nimah datang tanpa curiga. Seusai memuaskan makan dan minum, Nimah melenggang pulang. Namun persis di depan rumahnya, ia  tiba-tiba muntah, lalu jatuh tak sadarkan diri. Buai-buai Terbanggi Marga, tua dan muda, lantas berbondong-bondong menolongnya. Mereka kemudian tak hanya mengobatinya, melainkan berinisiatif pula menyembunyikan Nimah di tempat aman, sebab, tak lama berselang patrol tentara Draad langsung bermunculan hendak menangkap Nimah begitu mereka tahu gelagat ia gagal diracuni. Kondisi Nimah yang sedang lemah tentunya mudah untuk ditangkap. Namun tentara-tentara Belanda itu gagal. Beberapa orang bergerak lebih cepat membawa Nimah menghilang. Terakhir kabar, Madhali memang disuap tentara Belanda untuk membunuh Nimah. Madhali yang khianat hanya menggunakan racun biasa, di situlah ia keliru.
                                                              ***
Terakhir terlihat, sesembuhnya ia dari sakit, Nimah segera mengumpulkan buai-buai Terbanggi Marga. Bahkan ia ikut mengundang buai-buai dua kampung adat terdekat, yakni buai Mataram dan buai Nuban. Beberapa Pesirah dan belasan Penyimbang adat ikut berkumpul bersamanya. Nimah meminta persetujuan dan restu dari semua yang hadir karena ia akan membalaskan sakit hatinya kepada Madhali.
     Nyow pai pendapet sekam-sekam? Nyak mak ago lagiy ngenah raghah ino uric. Nyak anak kappang lamun mak dapok nettek pegat galahno—Apa pendapat saudara-saudara sekalian? Aku tidak mau lagi melihat lelaki itu hidup. Aku anak jadah jika mala mini tak mampu memenggal kepalanya,” tutur Nimah dengan logat dan bahasa Lampung yang nyaring. Bau kematian seketika menebar di pertemuan itu.
     Para buai yang tua-tua lama berembug dengan para Pesirah dan Penyimbang adat. Dalam pandangan adat, selalu dianjurkan menghindari kekerasan antar sesame. Namun di hadapan Nimah malam itu siapapun jelas tak kuasa berasosiasi mencegah rencananya menumpahkan darah.
     Seorang sepuh bernama Mulak gelar Suttan Seteru Jagat akhirnya angkat bicara. “Ikam pandai khedi sei waway, namun nikuw lebih ngertiy khedo sei waway guway aneg gham. Madhali sangun kak ngiyek-yek kuto persatuan aneg. Jadi lamun ngecucak ragah ino kak terserah niku, ikam-ikam ijo nutuk gaweh—Kami tahu mana yang baik, tapi kamu lebih paham mana yang baik untuk kampung kita. Madhali memang sudah menginjak-injak persatuan kampung. Jadi soal lelaki itu sudah terserah kamu, kami semua ikut saja.”
     Terakhir tertengok, begitu pertemuan bubar, Nimah langsung pergi mencari Madhali di kampung Dam Aji. Malam itu ketegangan sontak menyelimuti hamper seluruh kampung adat di Onder Distrik. Kabar akan terjadi pembunuhan menyebar cepat. Malam terasa amat panjang.
     Seusai azan Subuh barulah Nimah muncul lagi di kampungnya. Ia muncul dengan kepala tegak dan sikap gagah. Orang-orang hanya berani mengintip dari jendela rumah masing-masing. Ada kengerian manakala mereka lihat Nimah berteriak-teriak menang di sepanjang jalan, sambil membawa sepotong kepala penuh darah. Itu adalah kepala Madhali dengan bentuk wajah yang sudah remuk tak berupa. Terakhir terkabar, sebelum Nimah memenggal kepala Madhali, terlebih dahulu ia harus menghadapi hadangan serta berondongan peluru tentara Belanda yang menjaga ketat rumah juru tulis khianat itu. Tapi seperti biasa tak ada satu peluru yang berhasil melumpuhkannya. Malah tentara-tentara Belanda itu dibuatnya berlarian tunggang-langgang. Madhali sendiri dibunuh dan dipenggal di dapur rumahnya.
     Terakhir terlihat, sehari setelah pembunuhan itu, muncul seorang utusan dari Dam Aji. Utusan itu dengan penuh ketakutan bertamu ke rumah Nimah, untuk meminta kembali kepala Madhali. Ia memohon-mohon kepada Nimah karena kepala itu sangat diperlukan  untuk melengkapi jasad Madhali yang hendak dikubur. Namun utusan itu pingsan ketika Nimah memperlihatkan kepadanya satu belanga besar berisi gulai pindang yang masih hangat. Kepala Madhali ikut dipindang di dalamnya. Sesaat setelah utusan itu siuman, Nimah sempat memaksa lagi tamu nekatnya untuk menyantap bersama-sama rebusan daging wajah dan kepala Madhali yang mengambang di belanga gulai. Terakhir terlihat, utusan itu pingsan lagi.
                                                               ***
Terakhir terbetik, seminggu setelah jasad Madhali dikuburkan tanpa kepala, buai-buai kampung Dam Aji bersatu dengan para tentara Draad untuk membasmi Nimah dan buai-buai tiga kampung adat yang mendukungnya. Para pria buai Dam Aji giat melatih raga dan melengkapi diri masing-masing dengan pusaka tua yang mereka anggap mengandung tuah kedigdayaan. Aneka rupa jimat dan senjata purba mereka pinjam dari “datuk-datuk” setempat. Semangat balas dendam mereka rupanya dikobarkan oleh Gondani gelar Pangeran Pengatur Angin yang tak lain adalah adik Madhali. Sementara, tentara Belanda di Draad menambah jumlah personilnya dengan mendatangkan tentara tambahan dari markas induk mereka di Teluk Betung. Terakhir terbetik, kekuatan gabungan ini direncana akan mengepung dan menyerang kampung Terbanggi Marga, kampung Mataram, dan kampung Nuban secara frontal siang dan malam sampai Nimah tertangkap hidup atau mati.
     Terakhir tersiar, begitu pengepungan dan serangan dimulai, dua minggu lamanya Onder Distrik Sukadana panas mencekam. Balatentara Belanda yang dipimpin Mark Van Dellan berkeliaran tak kenal waktu dan mereka tegas bertindak di tiga kampung yang dikepung. Karena perlawanan kalah dari segi persenjataan, banyak anggota buai-buai tiga kampung itu akhirnya dianiaya dan ditangkap. Mereka yang ditangkap otomatis menjadi tahanan di Draad. Banyak pula yang ditembak mati di tempat. Buai-buai Dam Aji tak sedikit pula ikut membunuh.
     Melihat saudara-saudaranya menderita, Nimah tak tinggal diam.
     Ngelalung indui jimo-jimo kemejo—Bangsat semua orang-orang ini!” ia marah, kemudian mengobarkan semangat perlawanan. “Kaban buai, dang mettiy meneng gegeh manuk keno dugug. Lebih ngemik igo badan mettiy dipepeh rah timbang meneng ngenah pelatik-pelatik ijo ngiyek-yek ulow rham. Tano lawan! Bo luwah segalo pekakas perang mettiy—Wahai sanak kerabat saudara sekampung, jangan kalian diam saja seperti ayam sakit. Lebih terhormat tubuh kalian dicuci darah daripada diam melihat setan-setan ini menginjak-injak kepala kita. Sekrang lawan! Keluarkan semua perlengkapan perang kalian.”
     Seruan Nimah menjadi seruan yang tak biasa. Buai-buai tiga kampung yang mulai patah arang tertuntun kembali memperkuat barisan dan mengeraskan perlawanan.
     Perang hebat pecah. Ratusan payan berterbangan di udara. Segala badik dan pedang beraksi menjemput nyawa. Terakhir tersiar, balatentara Belanda kewalahan juga menghadapi amuk Nimah dan amuk buai-buai tiga kampung yang akhirnya ikut kesetanan. Pihak Belanda akhirnya mundur teratur setelah melihat personilnya banyak mati menggenaskan. Bahkan, leher Mark Van Dellan tak luput dari tebasan payan Nimah. Buai-buai Dam Aji otomatis kocar-kacir dan menghilang pula. Pusaka-pusaka tua mereka luruh tak membantu.
     Terakhir tersiar, kemarahan Nimah tak berhenti sampai di situ. Sehari seusai perang, Nimah dengan gagah berani mendatangi markas Belanda di Draad. Sambil melempar kepala Mark Van Dellan ke pintu penjaga, ia menuntut anggota buai-buai tiga kampung yang ditahan agar segera dibebaskan. Tuntutannya dipenuhi. Tapi itu belum memuaskan Nimah. Setelah memulangkan anggota buai-buai yang sempat ditahan tentara Belanda, Nimah mendatangi kampung Dam Aji. Rumah di kampung itu hamper separuh dibakarnya. Lalu siapapun buai-buai Dam Aji yang tampak di mata, langsung dibunuh, kecuali anak-anak dan kaum perempuan. Terakhir ia berhasil menemukan Gondani yang bersembunyi di dalam sumur. Lelaki itu dipenggalnya. Setelah ditancapkan di ujung sebatang bambu, kepala Gondani dipajang di tepi waduk Dam Aji. Nimah mengangkat sumpah di depan kepala itu, siapapun anak-cucu keturunannya haram membangun keturunan dengan buai Dam Aji. Karena peristiwa itulah kampung Dam Aji kemudian menjadi wilayah mati tak berpenghuni. Anak-anak dan kaum perempuan Dam Aji yang dibiarkan hidup oleh Nimah menghilang pergi entah kemana. Dan untuk mengingat sumpah Nimah, buai-buai tiga kampung jadi terbiasa menyebut wilayah Dam Aji sebagai “Pringgondani” atau bamboo Gondani, tempat dimana sumpah itu diucap. Terakhir kabar, wilayah Dam Aji atau Pringgondani kembali berpenghuni setelah didatangi warga transmigran.
                                                               ***
Terakhir terkisah, seusai pergolakan yang menghanguskan riwayat kampung Dam Aji, setahun lamanya tentara Belanda di Draad mencari-cari lagi cara untuk melenyapkan Nimah. Bagi mereka Nimah tetap menjadi ancaman serius. Setelah melakukan kontak dan konsultasi berulang-ulang dengan para pucuk pimpinan colonial di pusat, akhirnya diutuslah dari Batavia seorang pedagang dari pribumi-keturunan bernama Berik. Dalam penyamarannya, mula-mula Berik hanya datang bergaya seperti pedagang-pedagang biasa. Ia berkeliling setiap hari menjual kain dan kasut di sekitar wilayah Onder Distrik Sukadana. Kehadirannya cepat diterima di kampung mana saja karena sikapnya yang ramah dan murah hati.
     Suatu hari Nimah membutuhkan kasut baru dan mengundang Berik datang ke rumahnya. Da-ri situlah perkenalan keduanya dimulai. Nimah langsung menaruh simpati kepada Berik karena hari itu ia tak hanya diberi kasut gratis oleh si pedagang, melainkan dihadiahi juga kain-kain yang bagus. Bahkan beberapa waktu kemudian setelah keduanya saling sering bertemu dan menjalin persahabatan, Nimah menyediakan tempat bagi Berik untuk membuka toko. Dengan toko, perniagaan Berik pun maju pesat karena Nimah berdiri sebagai pelindung di belakangnya. Tak hanya kasut dan kain saja kemudian dijual Berik, tetapi meningkat ke beraneka-ragam barang lain yang didatangkannya dari Batavia.
     Terakhir terkisah, begitu melihat hubungan Nimah dan Berik semakin erat, pihak Belanda akhirnya tak sabar. Mereka segera mengirim sinyal rahasia agar Berik tak menunda-nunda lagi menjalankan misinya membunuh Nimah dengan racun terganas yang jauh-jauh hari sudah disiapkan. Terakhir terkisah, perintah itupun dilaksanakan oleh Berik saat Nimah singgah di tokonya dan saat Nimah minta dihidangkan kopi sebagaimana biasanya. Racun itu terminum. Reaksinya cepat sekali. Kali ini Nimah tak kuasa melawan racun yang memang diracik sendiri oleh Berik. Nimah mati dalam hitungan detik. Tubuhnya kaku biru di dalam toko. Dan hari itu juga Berik langsung dipulangkan oleh tentara-tentara Belanda ke Batavia.
     Terakhir kabar, buai-buai tiga kampung adat berkabung selama tujuh hari tujuh malam meratapi kematian Nimah. Mereka mengutuk Berik dan pihak Belanda, karena begitu mereka menemukan tubuh tak bernyawa Nimah yang dilempar tentara Belanda ke tepi jalan, mereka yakin yang meracuni Nimah adalah Berik dan mereka tahu pihak Belanda ada di belakang semua kejadian itu. Sakit hati warga tiga kampung tak terpanai rasanya. Dalam perkabungan, mereka semua jelas tak bisa menyembunyikan ekpresi dendam kepada Berik yang dianggap licik dan tak tahu terima kasih. Dibakar benci dan sakit hati, buai-buai tiga kampung kemudian memutuskan beramai-ramai membakar toko pedagang itu. Di toko itu seluruh amarah mereka luapkan. Tapi mereka tak berdaya ketika tentara-tentara Belanda datang menghalau dengan bedil. Tanpa Nimah, tentara-tentara dari Draad itu tentu berani menindas mereka kembali. Penindasan kembali tentara Belanda akhirnya berlangsung cukup lama, sampai kemudian terdengar kabar telah meletus perang dunia kedua. Belanda menyerah di tangan Jepang dan angkat kaki dari Nusantara. Tentara-tentara Jepang kemudian masuk menggantikan tentara-tentara Belanda di Draad. Namun itu tak berlangsung lama. Cengkraman Jepang di Pasifik dan Asia Tenggara berakhir setelah Amerika menjatuhkan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima. Tak lama kemudian Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
     Terakhir kabar, berpuluh  tahun setelah Indonesia merdeka, Onder Distrik Sukadana diubah statusnya menjadi negeri adat, lalu tak lama menjadi sebuah kecamatan, sampai kemudian statusnya ditingkatkan menjadi Ibukota Kabupaten Lampung Timur. Berpuluh-puluh tahun dilampaui, sekian generasi buai berganti sudah. Tapi siapapun tahu, buai-buai tiga kampung yang kini hidup sebagai cicit-cangkang penerus tampaknya sudah melupakan kisah Nimah. Bahkan bagi buai-buai Terbanggi Marga yang ada sekarang, sejarah Nimah mungkin tak penting lagi. Jika ditanya, mungkin tak satupun mereka tahu siapa Nimah dan di mana kuburnya. Di Sukadana sekarang hanya satu mungkin jejak rekam historis Nimah yang masih kuat tertanam, yang abadi seperti dogma alami, yakni sikap antipati local  dan tidak welcome-nya masyarakat asli setempat terhadap orang-orang keturunan seperti Berik.

Sukadana, 15 September 2011
Catatan
Onder Distrik     : Bentuk kewilayahan di bawah kresidenan pada masa Hindia Belanda
Draad               : Tempat yang dinamai Belanda untuk markasnya di Onder Distrik Sukadana
Buai                 : Sanak-kerabat-saudara sekampung yang satu marga
Pesirah             : Pejabat setingkat kepala kampung  pada masa Hindia Belanda
Penyimbang      : Pemuka adat
Payan              : Nama tombak tradisional masyarakat Lampung

















No comments:

Post a Comment