D A R W I N
Darwin, lelaki pemalu itu, tak ingin membunuh Tuhan. Ini agaknya yang sering dilupakan orang sampai hari ini, ketika dunia memperingati 200 tahun hari lahirnya, 12 Februari.
Menjelang akhir hidupnya, ia hanya mengatakan bahwa ia ”harus puas untuk tetap jadi seorang agnostik.” Teori evolusinya yang mengguncangkan dunia pada akhirnya bukanlah penerang segala hal. Ketika ditanya mengapa manusia percaya kepada Tuhan, Darwin hanya mengatakan, ”Misteri tentang awal dari semua hal tak dapat kita pecahkan.”
Dia sendiri pernah jadi seorang yang alim, setidaknya jika dilihat di awal perjalanannya mengarungi laut di atas kapal HMS Beagle dari tahun 1831 sampai 1836. Pemuda berumur 22 tahun itu, yang pernah dikirim ayahnya untuk jadi pastor (setelah gagal bersekolah dokter), dan di penjelajahan itu diajak sebagai pakar geologi, amat gemar mengutip Alkitab. Terutama untuk menasihati awak kapal yang berfiil ”buruk”. Selama belajar di Christ’s College di Cambridge, sebuah sekolah tua yang didirikan pada abad ke-15, Darwin memang terkesan kepada buku seperti Evidences of Christianity karya William Paley, pemikir yang gigih membela ajaran Kristen pada zaman ketika rasionalitas dan otonomi manusia dikukuhkan tiap hari.
Tapi Darwin pelan-pelan berubah pandangan. Otobiografinya mengatakan, ketika ia menulis karyanya yang termasyhur, On the Origin of Species, yang terbit pada 1859, ia masih seorang ”theis”. Sampai akhir hayatnya ia tak pernah jadi atheis. Namun, setelah lima tahun penjelajahan menelaah kehidupan satwa liar dan fosil, ditanggalkannya argumen Paley.
Bagi seorang apologis, segala hal di alam semesta adalah hasil desain Tuhan yang mahasempurna. Tapi Darwin menemukan bahwa tak ada satu spesies pun yang bisa dikatakan dirancang ”sempurna”; makhluk itu berubah dalam perjalanan waktu, menyesuaikan diri dengan kondisi tempatnya hidup.
Darwin juga menemukan hal yang lain. Ia tak hanya menyiasati hidup alam di pantai Amerika Selatan dan ceruk Pulau Galapagos. Ia memandang juga ke dunia manusia di zamannya, dan bertanya: bagaimana desain Tuhan dikatakan sempurna bila ketidakadilan begitu menyakitkan hati? Darwin melihat kejamnya perbudakan. Ia, yang pernah bersahabat dengan seorang bekas budak dari Guyana yang mengajarinya teknik taksidermi ketika ia bersekolah kedokteran di Edinburgh, menganggap perbudakan sebagai ”skandal bagi bangsa-bangsa yang beragama Kristen”. Dalam perjalanan dengan HMS Beagle itu ia juga menyaksikan nestapanya manusia yang jadi pribumi Tierra del Fuego.
Tak bisa diterangkan dengan cara Paley mengapa Tuhan yang adil dan maha-penyayang menghasilkan desain yang melahirkan keadaan keji itu. Tentu ia bisa menemukan tema ini dalam kisah kesengsaraan Ayub dalam Alkitab, tapi bagaimana ”keadilan” Tuhan di situ bisa diterima seseorang yang berpikir kritis dan tak takut?
Bagi Darwin, apologia ala Paley gagal. Darwin tak melihat ada desain dalam keanekaragaman makhluk hidup
dan kerja seleksi alamiah. Lingkungan hidup yang mengontrol nasib kehidupan di alam semesta bekerja tak konsisten dan tanpa tujuan. Alam memecahkan problemnya dengan cara yang berantakan dan tak optimal, dan tiap penyelesaian tergantung pada keadaan ketika itu.
Mau tak mau, pandangan itu merisaukan. Darwinisme adalah bagian dari sejarah yang ikut menenggelamkan apa yang disebut penyair Yeats sebagai ”ceremony of innocence”—yang terutama dijunjung oleh lembaga agama. Di Amerika Serikat, lebih banyak orang tak percaya kepada teori evolusi. Di sana pula, para pengkritik Darwin mengibarkan teori tentang adanya ”desain yang pintar” di alam semesta. Mereka mengatakan, ada ”kecerdasan” yang datang dari luar alam yang campur tangan ke kancah hidup di sini, hingga, misalnya, bakteria bisa berpusar pada flagellum yang strukturnya begitu rumit hingga tak teruraikan.
Tapi kaum penerus Darwin bisa menunjukkan ada ribuan jenis flagella yang terbangun dari protein yang sebagian besar berbeda, dan jejak evolusi tampak jelas di dalamnya. Sebagian besar komponen yang membentuk flagella diperkirakan sudah ada dalam bakteria sebelum struktur yang dikenal kini muncul.
Artinya, tak ada desain, kata para penerus Darwin. Teori evolusi menunjukkan ketidaktetapan dan kontingensi: hal ihwal selamanya berubah, meskipun tak terus-menerus, dan perubahan itu bergantung pada konteks yang ada, dan konteks itu pun terbangun tanpa dirancang. Bahkan terjadi karena koinsidensi. Stephen Jay Gould mengiaskannya sebagai spandrel, satu bagian dari plengkung dalam gereja gothis yang tak dirancang oleh arsitek tapi terjadi secara kebetulan ketika, dan karena, plengkung yang direncanakan itu rampung dibangun.
Memang dengan demikian tak ada lagi narasi besar. Kita hidup dengan apa yang dalam bahasa program komputer disebut kluge, himpunan yang kacau dari macam-macam anasir yang terjadi dalam proses menyelesaikan satu masalah. Tak ada flow-chart yang bisa segalanya dan lengkap, tak ada resep yang akan siap.
Itulah sejarah: dibangun dari praxis, laku, keputusan setelah meraba-raba, dan mungkin juga loncatan ke dalam gelap di depan. Tapi tak semuanya gagal. Alam penuh dengan perabot yang ganjil dan awut-awutan, tapi makhluk hidup juga punya keterampilan dan kreativitas di tengah keserbamungkinan itu. ”Nature is as full of contraptions as it is if contrivance,” kata Darwin.
Mungkin Tuhanlah yang menyiapkan itu, mungkin juga Ia tak ada. Mungkin tak ada apa pun sebelumnya. Bagi Darwin itu bukan persoalan. Yang penting adalah mengakui pengetahuan kita yang guyah, rumus kita yang coba-coba, tapi pada saat yang sama kita bilang ”ya” kepada hidup.
Orang beragama akan menyebutnya syukur. Juga tawakal.
~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Februari 2009~
No comments:
Post a Comment