Wednesday, November 2, 2011

GOENAWAN MOHAMAD



P O H O N


Di separuh Bukit Pasir Tengah di atas Dusun Sarongge, hutan jadi monoton. Pohon-pohon kayuputih menguasai area. Batang mereka yang lurus menjulang bisa sampai 15 meter, berjajar rapi, masing-masing dengan kulit yang seakan-akan jangat telanjang yang di sana-sini terkelupas.

Di bawahnya: hamparan perdu daun wortel. Bumi dibudidayakan dengan telaten di lereng ini. Dari pucuk bukit, sesekali terdengar deru beberapa sepeda motor tua yang datang untuk mengangkut hasil bumi itu, tak hendak terhambat oleh jalan mendaki yang buncah dan bongkah karena deras hujan. Tak lama lagi para pengendaranya akan turun, dengan mesin yang dimatikan, nekad tapi tangkas seperti pemain sirkus, ke arah tempat pengumpulan di bawah, melalui ladang cabai dan bawang-daun, melintasi tenda-tenda putih yang melindungi perkebunan strawberry.

Ekonomi bergerak di kesepian ini. Para petani bekerja dan hidup. Tanah adalah nafkah. Pohon adalah bagian dari proses produksi manusia. Sebuah perusahaan negara telah mengubah bukit dan hutan tropis ini untuk maksud itu, dengan perspektif itu.
Tapi hanya beberapa hektar di sebelah sana, tampak lanskap yang berbeda: sisi bukit yang belum disentuh. Hutan masih penuh ragam dan masih gelap lebat. Batang-batang rasa mala dan mahoni, suren dan puspa, tampak menongol dengan pelbagai derajat warna, nuansa coklat-abu-abu-hjiau, bertaut dengan belukar yang tak tepermanai yang mungkin bermula di zaman purba.

Seorang polisi hutan mengatakan, bahkan di bagian bukit itu masih hidup sekitar 60 ekor harimau. Di situ manusia belum berdaulat. Pohon-pohon masih punya hayat dan riwayatnya sendiri.

Dengan sekali pandang, kita memang akan menyaksikan dua sisi tanah tinggi dan kehidupan.
Yang satu disebut secara resmi sebagai “hutan industri”, yang sebenarnya adalah “kebun” – sesuatu yang telah diolah, tempat di mana alam rapi dan jinak, atau, dalam kata-kata Penyair Hölderlin, “di mana alam hidup dengan sabar dan mrumah” (häuslich).

Yang lain, yang di sebelah sana: pohon-pohon yang — seperti pokok eik yang disanjung sang penyair –- mengorak tanpa dikelola “sekolah manusia”,
… mendesak maju dengan gembira dan bebas, dari akar yang kukuh, saling berjalin, mencengkeram ruang, dengan lengan perkasa, seperti elang menangkap mangsa…
Kontras antara “kebun” dan “pohon eik” dalam sajak Die Eichbäume itu – yang diterjemahkan seorang teman Jerman buat saya – memang sebuah kiasan dari masa ketika sang penyair akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 itu, dalam hidupnya yang menyendiri, merindukan kemerdekaan. Hanya dengan kebebasan, katanya, ia tak akan menampik das gesellige Leben, hidup yang asyik nyaman beramai-ramai.

Kini kita hidup di masa yang berbeda, di negeri yang berbeda. Tapi tampaknya kita belum bisa melepaskan hasrat itu: tak hendak menyerah kepada persetujuan orang banyak yang hanya tunduk kepada pasar, seperti disentuh Hölderlin dalam sajaknya Menschenbeifall, (“Persetujuan Orang-orang”). Pasar dan demokrasi memang menjurus ke arah penciptaan “kebun” ketimbang pohon-pohon yang, seperti pokok eik “tegak, bagaikan para titan”. Tapi haruskah hidup jadi seluruhnya sebuah hutan industri?

Hari itu saya, bersama sekitar 80 orang relawan, menanam tunas yang berbeda ke celah-celah pohon kayuputih – sebuah tindakan yang kami anggap memberikan sebuah alternatif. Tapi tunas yang berbeda itu bukanlah tunas yang ganjil, yang tak pantas di kawasan itu, bukan pohon-pohon yang “eksotik”, kata petugas Departemen Kehutanan itu, melainkan yang “endemik”. Para petani pada akhirnya tak hanya akan hidup dengan pohon-pohon yang produktif, tetapi sesuatu yang tak produktif — sesuatu yang jauh dari fleissigen Menschen, “manusia yang bekerja keras untuk hasil”.

Yang tanpa hasil, yang tak produktif, yang tak jelas tujuannya …..Tapi justru “kontra-guna” itulah yang jadi “guna” ketika jarak antara produksi dan destruksi begitu dekat, ketika hutan tropis yang menakjubkan itu kehilangan diversitasnya, ketika bumi yang tua itu tak lagi menyimpan cukup air.

Kini keindahan lembah dan bukit hijau bukan lagi masalah estetik. Ia jadi masalah ethik: bagaimana saya bersikap ke dunia, ke orang lain, dengan kehendak untuk tak menghancurkan. Pada gilirannya ia jadi masalah politik. Kehendak untuk menyelamatkan mau tak mau akan melibatkan orang lain, kekuasaan, dan juga harapan yang mungkin dan tak mungkin, yang harus dijangkau bersama.

Pohon tegak, “masing-masing bagaikan dewa, dalam sebuah aliansi merdeka”, kata Hölderlin. Seandainya sang penyair pernah melihat sebuah hutan tropis, (bukan hutan Jerman), ia mungkin tak akan bicara tentang pohon yang tampak berdiri “masing-masing”. Di hutan tropis bukit ini, pohon-pohon saling merapat, terkadang bertaut, semua bergerumbul dengan semak dari jenis dan zaman yang berjauhan. Di bagian bukit ini Hölderlin tak akan melihat keterpisahan, bukan hanya dalam ruang, tapi juga waktu.

Manusia tak bisa sebagai dewa ketika membentuk aliansi merdeka – sebab aliansi itu bukan hanya dengan yang hadir hari ini. Ketika saya menanam tiga tunas rasamala, saya diingatkan bahwa baru lebih 30 tahun kemudian pohon itu akan setinggi lima meter. Saya tak akan melihatnya.

Sesaat saya tertegun: jika ada yang berharga dalam apa yang kami lakukan di bukit di pedalaman Cipanas itu, maka itu adalah membuat sesuatu yang bukan untuk diri sendiri. Calon pohon-pohon itu mempertautkan mereka yang akan hidup dengan kami yang akan mati, terbenam seperti humus, dilupakan.

~Majalah Tempo Edisi 19 Januari 2009~
 

No comments:

Post a Comment