M O N O
Pada suatu hari di abad ke-7, dua orang Madinah bertengkar. Yang satu Muslim dan yang satu lagi Yahudi. Yang pertama mengunggulkan Muhammad SAW ”atas sekalian alam”. Yang kedua mengunggulkan Musa. Tak sabar, orang Muslim itu menjotos muka Si Yahudi.
Orang Yahudi itu pun datang mengadu ke Nabi Muhammad, yang memimpin kehidupan kota itu. Ia ceritakan apa yang terjadi. Maka Rasulullah pun memanggil Si Muslim dan berkata:
”Janganlah kau unggulkan aku atas Musa. Sebab di hari kiamat semua umat jatuh pingsan, dan aku pun jatuh pingsan bersama mereka. Dan akulah yang pertama bangkit dan sadar, tiba-tiba aku lihat Musa sudah berdiri di sisi Singgasana. Aku tidak tahu, apakah ia tadinya juga jatuh pingsan lalu bangkit sadar sebelumku, ataukah dia adalah orang yang dikecualikan Allah”.
Riwayat ini dikutip dari Shahih Muslim, Bab Min Fadla’il Musa. Dalam buku Abd. Moqsith Ghazali yang terbit pekan lalu, Argumen Pluralisme Agama, hadis itu dituturkan kembali sebagai salah satu contoh pandangan Islam tentang agama yang bukan Islam, khususnya Yahudi dan Kristen.
Pada intinya, Moqsith, sosok tenang dan alim yang mengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini, datang dengan pendirian yang kukuh: Islam adalah ”sambungan—bukan musuh—dari agama para nabi sebelumnya”, yang sering disebut sebagai agama-agama Ibrahimi.
Tapi yang bagi saya menarik adalah kata-kata Muhammad SAW yang dikutip di sana: ”Janganlah kau unggulkan aku atas Musa”, dan, ”aku tidak tahu…”.
Kini kata-kata itu tenggelam. Kini sebagian ulama merasa di atas Rasulullah: mereka merasa tahu keunggulan diri mereka. Mereka akan membenarkan Si Muslim yang memukul Si Yahudi. Mereka bahkan mendukung aniaya terhadap orang yang ”menyimpang”, walaupun orang lain itu, misalnya umat Ahmadiyah, membaca syahadat Islam.
Dari mana datangnya kekerasan itu?
Saya sering bingung. Satu kalimat suci terkadang bisa membuat orang jadi lembut, tapi satu kalimat lain dari sumber yang sama bisa menghalalkan pembunuhan.
Mungkin pada mulanya bukanlah agama. Agama, seperti banyak hal lain, terbangun dalam ambiguitas. Dengan perut dan tangan, ambiguitas itu diselesaikan. Tafsir pun lahir, dan kitab-kitab suci berubah peran, ketika manusia mengubah kehidupannya. Yang suci diputuskan dari bumi. Pada mulanya bukanlah Sabda, melainkan Laku.
Tapi juga benar, Sabda punya kesaktiannya sendiri setelah jadi suci; ia bisa jadi awal sebuah laku. Kekerasan tak meledak di sembarang kaum yang sedang mengubah sejarah. Ia lebih sering terjadi dalam sejarah Yahudi, Kristen, dan Islam: sejarah kepercayaan yang berpegang pada Sabda yang tertulis. Pada gilirannya kata-kata yang direkam beku dalam aksara itu menghendaki kesatuan tafsir.
Kesatuan: jangan-jangan mala itu datang dari angka ”satu”—dan kita harus bebas dari the logic of the One.
Kata ini dipakai Laurel C. Schneider dalam Beyond Monotheism. Pakar theologi itu menuding: ”Oneness, as a basic claim about God, simply does not make sense.” Dunia sesungguhnya melampaui ke-satu-an dan totalitas.
Schneider menganjurkan iman berangkat ke dalam ”multiplisitas”—yang tak sama artinya dengan ”banyak”. Kata itu, menurut dia, mencoba menamai cara melihat yang luwes, mampu menerima yang tak terduga tak berhingga.
Tapi Schneider, teguh dalam tradisi Ibrahimi, menegaskan ”multiplisitas” itu tak melenyapkan yang Tunggal. Yang Satu tak hilang dalam multiplisitas, hanya ambyar sebagaimana bintang jatuh tapi sebenarnya bukan jatuh melainkan berubah dalam perjalanan benda-benda planeter.
Dengan kata lain, tetap ada ke-tunggal-an yang membayangi tafsir kita. Bagaimana kalau terbit intoleransi monotheisme kembali?
Saya ingat satu bagian dalam novel Ayu Utami, Bilangan Fu. Ada sebuah catatan pendek dari tokoh Parang Jati yang bertanya: ”Kenapa monotheisme begitu tidak tahan pada perbedaan?” Dengan kata lain, ”anti-liyan”?
Pertanyaan itu dijawab di catatan itu juga: sikap ”anti-liyan” itu berpangkal pada ”bilangan yang dijadikan metafora bagi inti falsafah masing-masing”. Monotheisme menekankan bilangan ”satu”. Agama lain di Asia bertolak dari ketiadaan, kekosongan, sunyi, shunyat, shunya, sekaligus keutuhan. ”Konsep ini ada pada bilangan nol,” kata Parang Jati.
Bagi Parang Jati, agama Yahudi, pemula tradisi monotheisme, tak mampu menafsirkan Tuhan sebagai Ia yang terungkap dalam shunya, sebab monotheisme ”dirumuskan sebelum bilangan nol dirumuskan”.
Ada kesan Parang Jati merindukan kembali angka nol, namun ia tak begitu jelas menunjukkan, di mana dan bila kesalahan dimulai. Ia mengatakan, setelah bilangan nol ditemukan, manusia pun kehilangan kualitas yang ”puitis”, ”metaforis” dan ”spiritual” dalam menafsirkan firman Tuhan. ”Ketika nol belum ditemukan,” tulis Parang Jati, ”sesungguhnya bilangan tidaklah hanya matematis.”
Dengan kata lain, mala terjadi bukan karena angka satu, melainkan karena ditemukannya nol. Tapi Parang Jati juga menunjukkan, persoalan timbul bukan karena penemuan nol, melainkan ketika dan karena ”shunya menjadi bilangan nol”.
Salahkah berpikir tentang Tuhan sebagai nol? Salahkah dengan memakai ”the logic of the One”?
Di sebuah pertemuan di Surabaya beberapa bulan yang lalu saya dapat jawab yang mencerahkan. Tokoh Buddhisme Indonesia, Badhe Dammasubho, menunjukkan bahwa kata ”esa” dalam asas ”Ketuhanan yang Maha Esa” bukan sama dengan ”eka” yang berarti ”satu”. Esa berasal dari bahasa Pali, bahasa yang dipakai kitab-kitab Buddhisme. Artinya sama dengan ”nirbana”.
Setahu saya, ”nirbana” berarti ”tiada”. Bagi Tuhan, ada atau tak ada bukanlah persoalannya. Ia melampaui ”ada”, tak harus ”ada”, dan kita, mengikuti kata-kata Rasulullah, ”aku tidak tahu”.
~Majalah Tempo Edisi 02 Maret 2009~
No comments:
Post a Comment