Essai
GOENAWAN MOHAMAD
UNTUK jadi presiden di Amerika Serikat, seseorang harus menempuh suatu “Long March”. Seorang penulis menyebut perjalanan panjang itu sebagai ordeal, percobaan yang berat, yang mungkin lebih berat ketimbang susah payah seorang Jawa modern yang pergi dengan mobil ke gunung menunggu “wangsit”. Ambisi untuk jadi presiden dianggap cukup sah. Tapi—secara kasarnya—si calon harus mengemis. Ia harus mengemis restu kepada rakyat.
Kampanye sebenarnya adalah proses pengemisan itu. Memang, di masa lalu, hal itu tak berlangsung demikian. Di abad ke-19, si calon presiden cukup tinggal di rumah. Satu panitia kemudian datang, memberitahu kepadanya bahwa konvensi nasional telah mencalonkannya untuk jabatan presiden. Lalu ia bisa memberikan satu pidato penerimaan. Bahkan di tahun 1860 Lincoln tak membuat pidato apa-apa, sementara lawan-nya, Stepen A. Douglas, yang mengunjungi seantero negeri untuk memperoleh suara, dikecam: “Itu cara baru yang patut disesalkan, karena tak layak dilakukan oleh seorang calon untuk jabatan kepresidenan”.
Kini cara baru itu menjadi kemestian. Seorang calon presiden harus jadi salesman, juru jual yang berkeliling membujuk, bagi dirinya sendiri dan cita-citanya. Ia harus bersedia mandi keringat, lelah, kotor, dengan tangan lecet saking banyaknya berjabatan.
Buat apa? Demi apa? Orang Amerika tahu jawabnya.
Sebab dalam proses pengemisan itu juga akan tampak betapa mutu seorang tokoh. Di tahun 1972, misalnya, dalam kampanye, Senator Edmund Muskie tak bisa menahan diri dan menangis, waktu ia harus menjawab kritik sebuah koran terhadap istrinya. Ia gagal dalam cobaan. Muskie mengundurkan diri. Ia sadar bahwa rakyat tak mungkin memberikan mandat kepada seorang yang ternyata begitu mudah terguncang dalam soal pribadi seperti itu.
Maka salah satu dasar kecaman David Halberstam dalam The Best and The Brightest terhadap orang-orang di sekitar pemerintahan Kennedy, yang menyebabkan Amerika terlibat dalam perang Vietnam, ialah bahwa para perumus politik itu—betapapun pintar dan cemerlangnya mereka—tak pernah mencicipi kehidupan politik yang sebenarnya. “Seandainya mereka pernah mencalonkan diri dalam pemilihan sheriff saja . . .”
Tapi mereka tak bisa mengalami jerih-payahnya mengemis restu rakyat. Mereka tak pernah menghargai bobot suara warganegara. Mereka itu angkuh—dan ternyata betapa buta.
No comments:
Post a Comment