Essai
GOENAWAN MOHAMAD
Gus Dur adalah seorang pelintas batas. Atau barangkali bataslah yang melintasi Gus Dur.
Berhadapan dengan Abudurrahman Wahid kita berhadapan dengan seorang kyai tetapi juga bukan kyai, seorang yang bukan kyai tetapi juga kyai. Saya pemah melihatnya berbaju piyama Cina yang ringan, bersarung palekat yang sudah pucat dan tentu saja berpeci (seraya mengenakan sepatu). Tapi saya pernah pula melihat gambarnya, bersama istrinya, mengenakan pakaian petani Belanda abad lampau—sebagai turis Nederland.
Genealoginya kukuh sebagai santri dari pedalaman Jawa Timur, tetapi ia mengenal peta Menteng di Jakarta—daerah kelas atas Indonesia ketika kelas atas tidak seperti sekarang —seintim ia mengenal daerah kanak-kanaknya.
Gus Dur di sana-sini menulis risalah agama. Saya ingat deskripsinya yang akrab tentang para ulama terkenal dan tak terkenal di pelbagai pesantren. Tapi Gus Dur juga menulis komentar yang pintar tentang pertandingan sepakbola. Atau sebuah esai pendek yang cemerlang tentang film. Orang kagum kepada luasnya cakupan pengetahuannya, tetapi juga bisa mengganggapnya sebagai seorang “diletant” terus menerus.
Siapakah dia sebenarnya? Dimana ia harus ditaruh?
Satu hal jelas: Gus Dur pemimpin Nahdlatul Utama, organisasi Islam besar yang oleh banyak pakar di sebut “tradisional” itu. Tapi satu hal lain yamg jelas juga: ia sering mengemukakan pendapat yang juga melampaui kalangan muslim dan garis-garis tradisi. Dan orang pun terkejut, atau marah, seperti ketika ia dikutip (sepulang dari Yerusalem) agar Indonesia bersiap menghadapi saat untuk pada suatu hari, mau tak mau, mengakui Israel.
Orang terkejut, orang marah, saya kira itu karena tak selamanya jelas bahwa Abdurrahman Wahid adalah seorang cendikiawan par exellence. Ia bukan saja mengemukakan pikirannya dengan bagus dalam tulisan dan ceramah, tapi juga selalu terpanggil untuk tampil dengan wacana altematif. la mampu merangsang perdebatan publik seraya meningkatkan kualitasnya. Dan sebagaimana umumnya mereka yang hidup sebagai intelektual, ia punya komitmen yang penuh resiko ke arah masyarakat yang terbuka.
Tapi tentu saja Abdurrahman Wahid juga seorang pemimpin gerakan. Ia, dalam artinya yang longgar, seorang politikus. la harus mengayuh biduk di antara kompromi-kompromi. la harus efektif.
Mungkin sebab itu buah pikiran yang dituliskannya sering lebih terarah pada aksi transformatif ketimbang benar-benar pemikiran reflektif —seakan-akan ia tak sabar dengan penalaran yang rigorous seorang filosof dan kehati-hatian yang njelimet dari seorang ahli fiqih.
Tetapi ia mengemukakan semuanya dengan konsisten, terutama bila ia bicara tentang hubungan agama, masyarakat dan demokrasi. Dan ia mengemukakan semuanya itu tanpa, dalam hidupnya sehari-hari, pernah kehabisan kekayaannya yang menyenangkan (atau menjengkelkan tergantung bagaimana kita melihatnya): lelucon, lelucon, leleucon.
Humor, cemooh, kitab kuning, ayat-ayat, Piala Dunia, demokrasi, persamaan hak semua warganegara, tanfidziyah… Seorang pengecamnya menganggap Gus Dur “tidak mudah dipegang.”
Tentu saja Gus Dur, sebagai keseluruhan, tak bisa dimasukan kedalam kandang kategorisasi. Ia melawan stereotip. Besar dari kalangan santri yang telah mengarungi dunia yang beragam, yang seringkali mengasyikan tetapi juga memojokkan. Gus Dur mungkin tahu benar apa yang pernah disebut oleh Ulil Abshar-Abdalla, dalam sebuah diskusi yang saya hadiri suatu malam di Ciputat, sebagai “pedihnya streotip.”
Kategorisasi, apalagi penciptaan streotip (”santri NU pasti lebih udik ketimbang santri ICMI”, misalnya), adalah sebenarnya ketidaksiapan menerima yang berbeda, yang lain, yang tak putus-putusnya lain. Kategorisasi adalah sebuah agenda kekuasaan berdasarkan pengetahuan, suatu imperialisme yamg membekukan wajah, sejarah dan sukma orang lain. Dengan kategorisasi, suatu abstraksi telah menyebabkan yang berbeda, yang Lain, berhenti menjadi yang Sama.
Kita, sayangnya, hidup di sebuah zaman, di sebuah lingkungan yang menyetop yang berbeda —yang tak putus-putusnya berbeda— dengan pelbagai modus. Kita bahkan hidup dengan politik kategorisasi. Yang singular, yang unik, yang tak bisa dikopi, dianggap mustahil atau meracau. Manusia adalah “oknum” atau “anggota,” tidak bisa tidak. Si Badu itu “santri” atau kalau tidak “abangan”. Si Jengkol itu “kiri”, atau kalau tidak, “kanan”.
Kita hidup di zaman deret. Insiden, spontanitas, kebetulan, semua dianggap omong kosong. Selalu ada rekayasa, katanya, karena kita tak bisa membayangkan sesuatu yang tak terduga-duga. Dengan kata lain: kita tak punya ide tentang sesuatu yang sama sekali bebas dari suatu deret, sesuatu yang sama sekali berbeda.
Apalagi selama sekian dasawarsa kita membungkuk di bawah sebuah kekuasaan, di mana birokrasi dan aparat seakan-akan menggantikan Munkar dan Nakir. Birokrasi memang menghendaki deret dan barisan; kita melihatnya pada meja-meja kantor pemerintah, acara tanggal 17, atau seri nomor SK, atau baju safari.
Gus Dur membingungkan semua itu, karena ia anti deret. Karena ia pelintas batas, atau dilintasi batas. Karena ia adalah suatu proses dekonstruksi yang tak habis-habisnya. Dan dengan demikian, karena ia menjadi contoh: pada momen Gus Dur adalah Gus Dur, ia manusia merdeka. Pada saat seperti itu yang lain dihormati sebagai yang lain —dan politik menjadi sesuatu yang tak kehilangan manusia. Bahkan kehidupan, mungkin sejenak, tak kehilangan rohnya.
10 Januari 1996
No comments:
Post a Comment