Thursday, October 27, 2011

28 APRIL

Essai
GOENAWAN MOHAMAD


Pekan ini saya ingin mengenang Chairil Anwar, sebagaimana orang-orang lain mengenangnya, tapi saya akan menambahkan sebuah catatan yang terselip. Beberapa lama setelah Chairil Anwar meninggal 28 April 1949, ia berangsur-angsur menjadi seseorang yang hanya terkait dengan sajak Aku: “binatang jalang” yang berteriak ingin hidup 1.000 tahun lagi.
Saya tahu, penyair selalu mati direduksi orang ramai. Tapi agaknya puisinya selalu bisa membebaskan dirinya
Bagi saya, sajak-sajak Chairil bermula dengan sesuatu yang justru ada, terkadang tersembunyi, di bawah “aku”.


Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
Dalam Yang Terampas dan Yang Putus itu “aku” adalah antara “tangan yang bergerak lantang” dan tubuh yang “diam dan sendiri”, di saat ketika “cerita dan peristiwa” seakan-akan tak pernah terjadi, “berlaku beku”, tak diberi arti. “Aku”-nya adalah sebuah nuansa. Bukan kesatupaduan yang tegas, bukan sebuah pernyataan diri yang sukses.
Dalam banyak hal, Chairil memukau saya karena ia menghadirkan apa yang saya sebut “sajak suasana”. Ia menampilkan subyek yang gawal.
“Sajak suasana” berbeda dari “sajak pernyataan”: seperti Aku. Dalam “sajak pernyataan”, subyek masih tampak dalam posisi yang ingin mengendalikan arti. Dalam Aku (juga dalam Diponegoro, atau Krawang-Bekasi), sang penyair masih tampak hadir mengkonstruksikan “isi” puisinyayang sering disebut “pesan”dalam susunan dan kosa-kata yang seakan-akan tak terganggu oleh apa yang dimaksudkan Julia Kristeva dengan kata le semiotique, oleh getar, gejolak, irama yang bergerak tanpa kata, tanpa arti, di bawah dunia verbal. Dalam sajak pernyataan, sang penyair masih merasa diri sang “pembentuk”, bukan “khaos”.
Tentu saja tak sepenuh demikian. Selama sebuah sajak dilahirkan dalam impuls puitik, selama ia bukan sebuah uraian diskursif seperti penjelasan filsafat atau pernyataan politik, sebuah sajak pernyataan tetap tak bisa mengelakkan sepenuhnya saat ketika getar dan gejolak di bawah “aku” yang kukuh itu menghadang dan menerobosmelalui getar irama dan bunyi, misalnya.
Kita lihat dalam Aku. Di sana “aku” yang luka kena peluru akan tetap “berlari”, hingga hilang “pedih peri”. Chairil tak dapat sepenuhnya menghindar dari getar “i” yang terbangun oleh sajaknya sendiri, hingga bukan “pedih, perih” yang muncul, melainkan “pedih, peri”. Maka arti kalimat itu pun terguncang, meskipun sentuhan afektifnya tetap.
Dengan kata lain, bukan hanya “sajak suasana”, tapi juga “sajak pernyataan” tak bisa mengelakkan labilnya arti, gawalnya subyek: puisi, barangkali setelah puisi modernis yang di Indonesia tumbuh setelah Chairil Anwar, adalah petunjuk bahwa hubungan antara subyek dan bahasa bukanlah hubungan antara “aku” dan makna sebagai sang pembangun dan yang dibangun.
Bahkan sebaliknya. Bahasa memanggil kita dan melibatkan kita ke dalam kodratnya. Bahasalah yang bicara, kata Heidegger, dan oleh bahasalah manusia dilecut, atau persisnya mendapatkan “lecutan” (Zuspruch) untuk bicara. Dalam puisi, “aku” bukan lagi nakhoda kata-kata.
Sajak-sajak suasana adalah isyarat bahwa “aku” hanya tersisip di antara deretan obyek:
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut..
“Aku” bahkan seakan-akan larut: dalam sajak Senja di Pelabuhan Kecil itu, arti tak dibentuknya, melainkan datang dari proses lain: dari hubungan antarpenanda. Kita lihat Chairil menyebut “cerita tiang serta temali”.
Di sana alam sekitar menghadirkan diri tapi pada saat yang sama menyembunyikan dirinya, suatu isyarat tentang adanya yang tak terjangkau, tak terumuskan, dan tak terkendalikan nun di sana.
“Nun-di-situ” berarti berada di atas bumi dan di bawah langit, bersama sesama makhluk, di bawah misteri nasib. Kefanaan bukanlah ditandai oleh satu titik, “kalau sampai waktuku”; kematian adalah bagian dari ada.
Sajak Derai-Derai Cemara menggambarkan itu dengan baiknya
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Yang hadir adalah suasana bersentuhan dengan waktu yang berubah dan rasa gentar yang sayup-sayup, ketika “terasa hari akan jadi malam”. Terdengar “angin yang terpendam” memukul-mukul dahan di dekat jendela kamar, menegaskan betapa fana benda-benda yang begitu dekat, yang dulu melindungi. Tingkap itu, misalnya, “merapuh”. Pada saat itu terbit kesadaran.
…dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
“Dulu”: sesuatu yang telah lewat tapi diingat. Dalam suasana gamang, cemas, dan murung itu, yang datang dari masa lampau seakan-akan hadir kembali, mengingatkan apa yang dulu pernah tak terjangkau.
Agaknya dengan itu puisi Chairil mencatat bahwa ada yang meragukan dalam zaman ketika manusia hanya melihat dirinya lempang: dari sini, ke sana, ke dunia yang lebih baik, ke surga yang sempurna.
Saya tak tahu apakah Chairil tahu bahwa baginya, garis lempang itu rapuh. Ia mati umur 26.

25 April 2011

No comments:

Post a Comment