Dulu,hampir setiap sekian menit di tengah paruh pertama malam, sebuah iklan bergentayangan menteror psikis pemirsa televisi dengan teks persuasinya: Buktikan Nyalimu! Masih di layar kaca, film action semakin banyak bisa ditonton dan seluruh kisah menonjolkan heroism dan nyali. Lalu simaklah peristiwa-peristiwa sosial, hukum, dan akrobat panggung politik di berbagai lintas berita, di sana berbagai kasus kriminal, kekerasan, bunuh diri, konflik, korupsi pejabat, semua tak lepas dari "nyali" pelakunya.
Nyali barangkali adalah keteguhan menantang resiko yang berbarengan dengan laku mengabaikan pakem dan aturan-aturan, yang mengandung sikap gagah. Nyali adalah satu dasar tindakan manusia yang membelakangi sikap pasrah, ragu, sabar, dan takut.
Namun siapapun tahu, setiap nyali tak selamanya berada di laku yang benar. Hanya dengan nyali saja, manusia tak selalu tepat memilih dan menghitung resiko. Nyali hanya mewakili sikap gagah, namun kadang juga dapat berarti sombong, serakah, tolol, atau pongah. Nyali yang dijadikan dasar tindakan menantang resiko kadang tak bersih dari distorsi ego dan kadang dilakukan dengan cara-cara ironi, hipokrit, dan melanggar rasa keadilan orang banyak. Di jalanan atau terminal banyak sekali orang gagah dan bernyali, tapi sebenarnya mereka preman. Para pejabat terhormat banyak sekali yang bernyali merekayasa uang publik, tapi sebenarnya mereka koruptor. Orang-orang pun semakin banyak yang berkoar menonjolkan nyalinya tak peduli dengan itu ia menggadaikan kejujuran, nurani, dan harga dirinya, tapi sebenarnya mereka sedang berbuat konyol. Dan lebih tragis tentu saja nyali manusia yang mengakhiri hidupnya sendiri dengan aksi bunuh diri karena ia tak lagi melihat harapan dalam hidupnya, tapi sebenarnya ia pengecut menjalani apa yang sementara.
Nyali hanya dasar tindakan yang mewakili sikap gagah menantang resiko, namun ia tak berarti selalu mulia mewakili bunyi genderang kebenaran. Inilah yang membedakan asosiasi antara "nyali" dan "berani".
Makna "berani" lebih utuh dan mulia, lebih bulat, tak bias. Sementara "nyali" hanya prasyarat untuk menjadi orang berani. Keberanian adalah keteguhan menerobos resiko di jalan kebenaran dan untuk menggapai tujuan yang benar. Tanpa nyali, keberanian memang mustahil. Namun dalam keberanian, tanpa kebenaran, tujuan juga mustahil. Itulah sebab ada istilah yang lama kita kenal: berani karena benar! Dengan nyali, dengan tekat, dengan kebenaran, keteguhan, dan kesadaran akan nurani dan pikiran yang tajam, keberanian adalah pelita tindakan yang lebih memiliki kepastian-- dan terang maslahatnya. Tak setiap keberanian membutuhkan sikap gagah.
Namun siapapun tahu, tak mudah menemukan orang-orang berani dalam setiap lapisan jaman. Lebih sering, jaman hanya melahirkan orang-orang bernyali yang risau dengan egonya sendiri atau orang-orang bernyali yang hanya terampil gagah-gagahan untuk merusak, menjarah, menganiaya, dan memperkaya diri sendiri. Orang berani memang ibarat permata yang tak selalu ada. Sebab, jika ia hadir, ia tak sekedar mewakili bunyi genderang kebenaran, tak sekedar sosok yang teguh menerobos resiko, tak sekedar insan yang rela menggumuli model tantangan hidup tak nyaman atau terjal, namun ia juga menjadi titik pusat tempat orang ramai banyak berharap, entah berharap tentang keadilan atau kedamaian, entah berharap tentang perubahan dan kesejahteraan. Menanti orang berani tak ubah kita menanti messiah atau satria piningit di tengah anarkisnya tubir harapan.
Maka apa yang tejadi jika di setiap penantian sudah tak mungkin muncul orang berani? Dahaga dan asa kita hanya diobati oleh film-film action produksi Hollywood dan Bollywood semacam Superman, Spiderman, atau Kabhi Kushi Kabhie Gham, atau sekedar dihibur pertarungan sengit retoris di televisi yang dibintangi para politikus Senayan. Dan yang tak disangka-sangka, banyak orang yang sebenarnya sekedar bernyali, mengklaim dirinya sebagai pemberani. Mereka mempertontonkan dirinya seolah-olah heroik, paling gagah, lalu mengatur, mengalahkan dan menjinakkan apa saja. Anehnya mereka bertindak sebagai subjek yang tampak bercahaya dimana-mana, namun tiap cahayanya adalah malapetaka dan kesengsaraan bagi orang lain dan kesenangan atau kemenangan bagi kelompok dan dirinya sendiri. (RD)
No comments:
Post a Comment