Orang-orang tidak dapat melihat pantulan wajah mereka di air mengalir, melainkan hanya di air tenang. Hanya orang yang tenang bisa tetap menjadi pencari ketenangan.
-- CHUANG TZU
Setiap manusia butuh hening, meski tak panjang. Frekuensi kerja otak dan laku pikir yang masif kalanya harus diistirahatkan meski tubuh sedang terjaga.
Ironinya, hening itu langka. Di kota-kota besar, nuansa alam yang mendekatkan manusia memetik keheningan nyaris sukar didapat.
Keriuhan mesin transportasi, aktifitas ruang publik yang dipenuhi dengan bicara, suara alat berbagai-bagai, semua membentuk satu kesatuan suara bising. Bahkan di ruang privat sekalipun, kita telah dikepung oleh atribut-atribut kehidupan yang merampas nuansa keheningan, entah itu berisik televisi, ribut tetangga, suara anjing, dering telpon, gemerisik mesin air, atau gemelising alat pemasak, semua menghasilkan bunyi yang bisa berlangsung serentak. Akibatnya, totalitas kemurnian hening di kota besar menjadi sangat mahal. sekalipun penduduk di kota-kota masih dapat berdiam diri sejenak menikmati dan meresapi keheningan, kadang tidak serta-merta kualitas keheningan total dipetik, sehingga tidak serta-merta pula frekuensi kerja otak dan narasi pikiran itu berhenti.
Dalam keheningan manusia menemukan ketenangan. Dalam keheningan manusia menemukan jawaban. Dalam keheningan manusia dapat menemukan keheningan mutlak. Dalam keheningan mutlak manusia dapat bersua kebenaran dan sang realitas yang paling rahasia sekalipun.
Tercapainya kualitas keheningan tentu berkait dengan kemampuan manusia keluar dari internalisasi kebisingan, kecemasan, pengekangan, mobilitas pikiran, litanitas sesat atau dialog-dialog ego. Totalitas keheningan akan terpusat lebih intens tatkala selubung batin manusia ikut merekah menunjukkan keindahan sifat menerima, memaafkan, lapang dada, terbuka, mengasihi. Dalam kualitas ini sejenak manusia dapat menikmati pikiran jernih yang menghanyut ke semcam relaksasi atau setidak-tidaknya menangkap secercah energi terang yang membuai dari dalam: mengistirahatkan sejenak jiwa dan pikiran yang penat.
Laku mengikatkan diri dalam keheningan telah lama dipraktekkan oleh orang-orang suci dari agama manapun sehingga kualitas inilah yang membedakan mereka dari manusia biasa. Sejak lama metode keheningan menjadi penunjang praktik spiritual dimana orang-orang suci dapat lebih dalam mendengan dan mendengar suara Hakikat yang tak dapat ditangkap manusia dengan pendengaran biasa. Dalam keheningan mutlak, para sufi atau orang-orang kudus banyak bertutur bagaimana melalui batin mereka seakan-akan mendengar SuaraNYA. Suara Sang Realitas Tertinggi tentu tak akan pernah didengar oleh telinga batin yang tak pantas. Dalam Islam, keheningan mutlak hanya mungkin dicapai lewat perjalanan spiritual (sayr wa suluk) seorang insan irfan, dengan kehendak NYA.
Kini sebagaimana kita lihat, sekalipun keheningan mulai sukar didapat di kota-kota besar, banyak orang memang tetap memutuskan: hening itu penting meskipun tujuannya untuk sekedar merelaksasi pikiran dan jiwa. Itulah sebab banyak muncul kelas-kelas meditasi yang memikat orang ramai. Namun sayang sering terjadi, tujuan individu di kelas-kelas meditasi dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk menyeret mereka memasuki dimensi spiritual yang tidak jelas. Banyak orang yang semula bertujuan mencari pencerahan jiwa, justru terjebak dalam perangkap para penipu, sehingga bukannya madu jiwa yang mereka dapatkan melainkan racun iblis yang menggelincirkan mereka ke jurang sesat.
Itulah sebab, ada baiknya, percayalah pada suara batin kita sendiri dalam mencari dan menggapai kualitas keheningan; meski sekedar untuk merelaksasi jiwa dan pikiran yang penat. Berzikirlah! (RD)
No comments:
Post a Comment