Thursday, February 16, 2012

SEJENAK BERSAMA NEGATIVITAS


Oleh ROBERTUS ROBET

Di dalam demokrasi kontemporer, siapa pun kita, lepas dikehendaki atau tidak dikehendaki, setiap kita, dengan sendirinya terlibat di dalam suatu perkubuan politis. Tidak ada subyek yang netral dari politik. Di dalam matriks demikian, yang jadi pertanyaan adalah sejauh mana dimungkinkan, politik dengan suatu pendasaran etis-emansipatif ?

Sewaktu Machiavelli mengatakan bahwa politik adalah ketegangan antara virtu (hal-hal yang bisa diprediksi yang dalam tradisi Italia menunjuk pada atau berasal dari kata lama ”vir” yang artinya laki-laki) dan ”fortuna” (hal-hal yang tidak bisa dipastikan), maka Machiavelli membuka peluang untuk berlangsungnya sebuah pertemuan yang unik, ganjil, tetapi sekaligus megah dan menggembirakan.

Sebuah pertemuan antara dua kubu pemikiran politik yang selama dan sebelum ini sulit untuk dibayangkan dapat direkonsiliasikan: republikanisme klasik dan paham subyek radikal Lacanian. Yang satu biasanya dikesankan konservatif, sementara yang satunya lagi dipandang terlampau radikal dan ekstrem.

Kembali ke virtu dan fortuna. Kalau politik adalah ketegangan antara virtu dan fortuna, maka politik yang sejati pada akhirnya harus berhenti atau bertitik pada keputusan. Politik pada akhirnya adalah momen ”s u b y e kt i f ”, di mana subyek bertindak. Lebih jauh lagi adalah bertindak yang bukan sembarang bertindak, tetapi bertindak dalam kerangka memutuskan atau memecah ketidakpastian dan ketegangan.

Dengan itu, maka di dalam Machiavelli, bertindak tidak sama dengan ”aksi” atau sekadar bertindak dalam pengertian kaum behavioralis. Bertindak dalam Macvhiavelli adalah bertindak dengan implikasi mengubah koordinat situasi. Apa hubungan ini semua dengan Lacan?

Lacan pernah mengatakan bahwa the only authentic act is suicidal act. Satu-satunya tindakan yang otentis adalah tindakan bunuh diri. Bagaimana ini dijelaskan? Slavoj Zizek memperjelas metafora Lacan ini.

Menurutnya, bunuh diri di dalam Lacan harus dimengerti dalam pengertian membunuh atau melampaui ”sang simbolik” (dalam hal ini termasuk tubuh/struktur) yang lama hingga menghasilkan kebaruan dan perubahan dalam koordinat situasi.

Pelampauan terhadap simbolik lama ini, di dalam Lacan dan Zizek dijelaskan dalam kaitannya dengan kategori lain yang dinamakan Lacan dengan istilah ”sa n g ny a t a ”, yakni semacam kondisi primordial sebelum manusia mengenal atau masuk ke dalam bahasa atau masuk ke dalam ”dunia simbolik”.
Sumur tanpa dasar

Dengan demikian, ”sang nyata” adalah sumur tanpa dasar atau ketakmungkinan itu sendiri. Artinya, tindakan adalah gerak dari yang simbolik ke arah ketidakmungkinan itu sendiri.

Baru dari situ dimungkinkan adanya kebaruan. Kebaruan dari tindakan dimungkinkan meski dengan itu sering kali subyek mesti terlebih dahulu mengambil risiko kehilangan tubuh simboliknya. Di titik inilah Lacan/ Zizek bertemu dengan Machiavelli.

Apabila di dalam Machiavelli tindakan muncul sebagai akibat dari pemutusan atau pelampauan antara virtu dan fortuna, di dalam Lacan/Zizek tindakan dan subyek muncul dari pelampauan simbolik lama ke arah ”ket akmungkinan” atau ”sang nyata”.

Bertindak adalah melampaui dan memutuskan simbolik yang lama dalam suatu matriks ketakmungkinan dengan tujuan kebaruan. Dari sini merekahlah subyek.

Lantas, apa kaitan ini semua dengan kondisi kita di Indonesia? Kita menghargai demokrasi Indonesia. Suatu tatanan yang kita hasilkan dengan susah payah. Akan tetapi, demokrasi sebagai tatanan yang sedang dipraktikkan kini bukanlah sebuah entitas dengan makna positif.

Demokrasi yang kita sebut saat ini berbeda dengan demokrasi yang kita sebut sebagai ideal di masa kita hidup di dalam rezim otoritarian Orde Soeharto. Di masa lalu, demokrasi adalah ideal yang kita dambakan, normativitas yang kita harapkan. Di masa sekarang, demokrasi adalah arena di mana kita hidup di dalamnya.
Salah satu kondisi yang tidak mengenakkan yang muncul di dalam demokrasi adalah menguatnya relativisasi selain pluralisasi keaktoran politik. Relativisasi di dalam demokrasi di Indonesia adalah harga yang harus kita bayar akibat penjatuhan struktur otoritarianisme yang tidak tuntas, tidak total

Yang mengakibatkan kita mesti menerima untuk ”hidup” bersama dengan ”musuh-musuh lama” atau bagian- bagian dari ancien regime. Dengan kata lain, pendasaran etis untuk demokrasi kita sekarang pada hakikatnya bersifat timpang, somplak, dan serba canggung.

Buktinya, kita mesti bersa m a ”berdemokrasi” dengan berbagai elite, ormas, dan partai lama pendukung Orde Baru, dengan para pelanggar HAM, dengan pengecut yang sembunyi tangan dan tanggung jawab dari kejahatan politik serta korupsi di masa lalu.

Kapitalisme media massa

Relativisasi ini makin diperparah dan sekaligus diperdalam dengan mengencangnya industri atau kapitalisme media massa. Media massa bergerak dan mereproduksi segala hal tanpa seleksi. Akibatnya, penjungkirbalikan memori dan pembalikan nilai-nilai mudah terjadi: Soeharto bisa kembali sebagai pahlawan karena media, para pelaku kekerasan ditampilkan sebagai selebriti, para bandit, koruptor, politisi busuk berdiskusi bersama dengan para artis, aktivis LSM, dan rohaniwan.

Di dalam kotak televisi, segala perbedaan diluruhkan semua karena aktor berada di dalam sebuah frame dan skenario yang sama: para bandit menjadi ”rekan dialog” di televisi atau dalam wawancara di berita koran. Ringkasnya, relativisasi menghadirkan negativitas yang tak terperikan di dalam demokrasi.

Matriks politik yang serbacanggung ini menyediakan kita pilihan-pilihan yang jelek. Partai politik, misalnya, semua partai politik kita adalah partai politik yang berdiri dengan pendasaran etis yang somplak tadi.

Partai yang sama-sama mengumpulkan dan mengikat para bandit bersama-sama dengan para reformis. Lepas apa pernyataan tekstual ideologisnya: semua partai berada dalam atau tidak bisa terhindarkan dari jurang relativisasi ini: siapa di antara kita yang bisa menunjuk satu partai saja yang hidup tanpa masalah etis yang mendasar?

Inilah paradoks terbesar dalam politik kita: kita hidup dalam struktur/tatanan yang kotor, sementara alat yang kita punya dan tersedia untuk mengubah struktur itu sendiri juga adalah alat yang juga kotor.

Sialnya, paradoks ini bukanlah satu-satunya ”kutukan” dalam kondisi kita sekarang. Kutukan kedua berada dalam pertanyaan dan tuntutan: sikap apa yang mesti diambil? Lagi-lagi dalam situasi yang serbarelatif ini diam atau bertindak menjadi sama buruknya.

Di sinilah, Machiavelli dan Zizek menjadi sangat penting. Dalam struktur politik yang demikian sumpek total, sejauh mana tindakan ke arah kebaruan itu mungkin?

Di sini, baik Zizek maupun Machiavelli kiranya akan sama-sama meyakinkan dan memprovokasi kita untuk mengambil pandangan bahwa kebaruan sudah tidak mungkin dihipotesakan, ia hanya mungkin setelah tindakan. Bertindak dulu supaya kemungkinan untuk pembaruan datang. Bukan sebaliknya, tunggu peluang baru bertindak.

Di titik inilah, pada akhirnya untuk menilai ”siapa” subyek kita tidak bisa lagi menggunakan suatu kategori atau indikator moralitas empirik yang dangkal.

Pertama, siapa orang ditentukan dari subyektivitas dan tindakannya sebagai subyek: bukan lagi ditentukan oleh identitas struktur simbolik, baik yang berupa lembaga, organisasi, institusi, apalagi tokoh yang melingkupinya atau di sekitarnya.

Kedua, siapa orang, juga ditentukan dari arah tindakannya: apakah bermaksud menghasilkan kebaruan ataukah justru hanya memproduksi dan merepetisi keterbelakangan.

Kebaruan di sini juga mesti dihitung dengan kemungkinan ”kerug ian” atau kehilangan bagi subyek yang bertindak. Ketiga, apakah orientasi tindakannya mengarah kepada yang universal ataukah sekadar self-interest dan bersifat ”privat”?

Dengan kategori ini, pada akhirnya, di titik ini, siapa kita sudah tidak dapat lagi dinilai dari dengan siapa kita berada. Siapa kita sekarang adalah pertanyaan yang terbentang di hadapan keputusan kita sendiri.
Setiap keterlibatan adalah keterlibatan dalam keburukannya yang khas. Siapa pun kita, apa pun pilihan kita, kita tidak dapat lolos darinya: negativitas adalah faktisitas! Yang tersisa adalah kehendak untuk melampauinya.

ROBERTUS ROBET Pengajar Filsafat Politik, UNJ
SUMBER: KOMPAS

No comments:

Post a Comment