Thursday, October 20, 2011

LAILA

Kadang kerinduan aku padatkan dalam anggur cempa, mengembara bersama jerau gemintang di kepala. Mulut merayakan tura. Orakel-orakel pecah dilindas mabuk pikiran yang resah. Ganar gelap merayakan igau darun. Jisim dan jiwa membunuh izahnya. Keletah anggur, dari ragi dan cempa, menista

Wanita itu setia mendatangiku. Laila. Wanita cendayam yang takah meski daster lusuhnya selalu biasa. Pagi petaka jika Laila mengendus bibir gelasku. Suaranya cemuh mendidis. Tatapannya laksana buah sesira yang menghamili biji mataku. “Kau hanya lampu kandil rusak yang tak pernah memberi cahaya di rumah ini. Hai. Budak napsi, berhentilah menjelinut lil iblis!” Itulah pagi demi pagi yang jujai berulang. Murka Laila layaknya doa yang melulum jiwa. Ia membangunkanku. Sejak saat itulah kerinduan aku padatkan dalam satu madu bersama Laila

Rumah kami ringkih dan usang seperti pertapa renta yang bulai. Hanya jejawi dan pepohon jarak yang tertanam menjadi pagar. Di dalamnya kami maknai cinta seperti nafiri sajak Isbedy dan Afrizal. Cinta, yang mairatnya lumur dengan metafor-metafor sunyi serau. Sangsai. Medu. Rudin. Setiap malam kebisuan tak bergerak. Dan bila pada akhirnya kebisuan itu pecah, hanya Laila yang mendesah seraya bertanya, “Adakah manusia di luar sana pemerhati orang-orang terluka?”
“Tidak,” jawabku, “di luar sana hanya mayat-mayat hidup. Hanya maru. Hanya mujadid-mujadid palsu yang masih rakus ditaklukkan oleh kelaparan dan haus kejayaan.” Laila hanya diam mendengarkan suaraku yang ricih. Ia biarkan tanganku merayau di sekujur wajah dan sasira layunya. “Kenapa kita?” Laila meratap

Lebaran demi lebaran! Kami merayakan lebaran seperti sajak terang bulan di atas kuburan. Selewat satu lusin lebaran bersama Laila, aku belikan ia sehelai kain hitam penutup kepala. Itulah jilbab pertama Laila yang melipurku dan memberi perasaan sentausa. Di rumah, kami mulai belajar membaca dan menulis huruf-huruf gundul. Dan lebih banyak waktu kami pergi mengembara. Bermukta. Bermulakat. Menapak sirat bermohon menjadi hamba-hamba yang labut. kami mulai membayangkan kebahagiaan orang-orang yang telah meninggal. Membayangkan orang-orang yang telah bersua seminau pintu al-futuhat. Dan Laila selalu menggeligis dan menangis dalam bayangan itu

Laila rindu. Doanya berputar bermalam-malam. ia merintih sar hingga jalad. Ia rindu menapaki hakikat, menapaki ampunan seperti taubat para sani. Ia ingin keluar dari bungkus dirinya yang gelap, berosmosa, dan berhenti menjadi tawanan maru dan mara. Diam. Khidmat. Bertahun-tahun Laila berpasrah. Tubuh dan wajahnya meluyut susut. Hingga, aku dapati sasiranya beku. Keras pawana

Laila tak pernah berbisik atau meninggalkan pesan kepadaku ketika pergi mencari rumah lain, rumah yang pasti akan aku datangi jua

Aku cium wajahnya dengan bulir-bulir kepedihan. Tidurlah Lailaku–

Bertahun. Aku tak pernah alpa menjelau Laila di pandam makamnya. Nisannya pirus. Jika kurasa rapuh hidupku dan jika kurasa mataku hujan, maka aku pergi untuk rebah di tanah kuburnya. Dan jika kurasa rinduku kejora dan jika kurasa jiwaku rindunya, maka aku biarkan ia bertamu ke alam mimpiku. Niskala

No comments:

Post a Comment