Thursday, September 6, 2012

RASULLULLAH MUHAMMAD SAW (3)








3

Seperti biasanya Rasulullah saw keluar pada suatu hari bersama saudara susuannya dengan menunggangi sekawanan domba menuju tempat pengembalaan. Di tengah hari, saudaranya berlari-lari dalam keadaan takut dan menangis sambil berteriak bahwa Muhammad telah terbunuh. Muhammad diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai baju yang putih lalu kedua orang itu menelentangkannya dan membelah dadanya.

Mendengar hal itu, Halimah sangat kaget dan terpukul. Ia segera pergi sambil berlari mencari Muhammad dan diikuti oleh suaminya yang mengikuti petunjuk anak kecil dari saudara Muhammad. Akhirnya, mereka menemukan Muhammad sedang duduk di atas tanah di mana wajahnya tampak pucat dan kedua matanya menyala.

Halimah dan suaminya mencium dengan lembut dan mulai menampakkan kasih sayangnya. Kemudian mereka bertanya, "apa yang terjadi?" Muhammad menjawab: "Ketika aku memperhatikan domba-domba yang sedang bermain aku dikagetkan dengan kedatangan dua orang yang memakai pakaian yang putih. Mula-mula aku menyangka bahwa mereka adalah burung yang besar, namun ternyata aku salah. Mereka adalah dua orang yang tidak aku kenal yang memakai pakaian warna putih. Salah seorang dari mereka berkata kepada temannya dengan menunjuk ke arahku, "Apakah ini anaknya?" Yang lain menjawab, "benar." Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu mereka mengambilku dan menidurkan aku serta membelah dadaku dan mereka mengambil sesuatu darinya hingga mereka mendapatinya dan membuangnya jauh-jauh. Setelah itu, mereka bersembunyi laksana bayangan."

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Anas dan juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Para mufasir berbeda pendapat tentang simbolisme yang dalam ini. Sebagaian besar ulama menakwilkan peristiwa tersebut. Pakar-pakar klasik, seperti Qurthubi berpendapat bahwa peristiwa itu diisyaratkan oleh firman-Nya: "Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?. " (QS. Alam Nasyrah: 1)

Sedangkan tokoh-tokoh hadis, seperti Ghazali berpendapat bahwa manusia istimewa seperti Muhammad saw tidak mungkin terlepas dari bimbingan Ilahi dan tidak mungkin terkena waswas sekecil apa pun yang biasa menimpa manusia biasa. Jika suatu kejahatan menjadi suatu gelombang yang memenuhi cakrawala, maka di sana terdapat hati yang segera memungutnya dan terpengaruh dengannya, namun hati para nabi dengan adanya bimbingan Allah SWT tidak akan terpanggil dan tidak terkena arus kejahatan tersebut.

Dengan demikian, usaha para nabi terfokus pada peningkatan kemajuan atau ketinggian, bukan memerangi kerendahan. Diriwayatkan oleh Abdillah bin Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada seseorang di antara kalian kecuali ia diawasi oleh temannya dari kalangan jin dan temannya dan dari kalangan malaikat." Para sahabat berkata: "Apakah hal itu juga berlaku kepadamu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Ya, tetapi Allah SWT membantuku, sehingga ia berserah diri dan tidak memerintahkan kepadaku kecuali dalam kebaikan."

Begitulah sikap orang-orang yang dahulu dan para ahli hadis berkaitan dengan peristiwa pembelahan dada. Kami kira bahwa kejadian yang luar biasa tersebut berhubungan dengan persiapan Nabi untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Ia merupakan perjalanan di mana Rasulullah saw akan menebus alam angkasa dan akan mencapai alam langit. Kemudian beliau akan melampaui alam ini, sehingga sampai di Sidratul Muntaha yang di sana terdapat Janatul Ma'wah.
Pandangan tersebut kembali kepada pendapat kami yang mengatakan bahwa peristiwa pembelahan dada berulang lebih dari sekali saat Rasul saw mencapai usia lima puluh tahun. Dan peristiwa pembelahan dada terjadi kedua kalinya pada malam Isra' dan Mi'raj.

Bukhari meriwayatkan dari Malik bin Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw menceritakan kepada mereka peristiwa malam Isra' di mana beliau bersabda: "Ketika aku berada di Hathim—atau beliau berkata di Hijr—saat aku dalam keadaan antara tidur dan bangun, maka seorang datang kepadaku lalu ia membelah antara ini dan ini. Yaitu antara kerongkongan dan perutnya. Beliau melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan hatiku dan membawa mangkok dari emas yang penuh dengan keimanan lalu ia menyuci hatiku. Kemudian diulanginya."

Kami kira bahwa pembelahan dada merupakan bentuk simbolis yang menunjukkan kesucian Rasul saw dan sebagai bentuk penyiapannya untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Itu merupakan pemberitahuan dari Ilahi bahwa anak ini akan mencapai suatu kedudukan yang belum pernah dicapai oleh manusia dan tidak akan dicapai manusia sesudahnya. Setelah peritiwa pembelahan dada, berubahlah kehidupan anak kecil itu di mana sebagian besar waktunya digunakan untuk merenung dan menyendiri. Dari roman wajahnya tampak keseriusan yang biasanya menghiasi wajah orang-orang dewasa.

Berlalulah hari demi hari, tahun demi tahun dan Selesailah masa menetapnya bersama Halimah di dusun Bani Sa'ad. Beliau sangat terpengaruh dan sangat terkesan dengan keadaan di sana. Diriwayatkan bahwa beliau pemah mengingat masa kecilnya di Bani Sa'ad dan beliau membanggakannya. Beliau menyebutkan pengorbanan mereka dan sikap mereka yang baik. Beliau berkata: "Aku termasuk dari Bani Sa'ad, tanpa bermaksud menyombongkan diri. Jika mereka berhadapan atau menyaksikan salah seorang mereka lapar, maka mereka akan membagi makanan di antara mereka."

Kemudian Muhammad bin Abdillah kembali ke Mekah saat usianya lima tahun. Beliau hidup beberapa hari bersama ibunya di mana si ibu merasakan kesedihan yang dalam atas kepergian ayahnya. Sesuai janji untuk mengingat ayahnya yang telah pergi, Aminah menetapkan untuk mengunjungi kuburannya di Yatsrib. Jarak antara Mekah dan Yatsrib lebih dari lima ratus kilo meter di gurun yang kering yang jauh dari tanda-tanda kehidupan. Anak itu menempuh peijalanan yang berat. Setelah perjalanan yang berat ini, Muhammad bin Abdillah tinggal di tempat paman-paman dari ibunya di Madinah selama satu bulan. Muhammad melihat rumah yang di situ ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia berziarah bersama ibunya ke kuburan yang sederhana yang ayahnya dikuburkan di dalamnya. Mula-mula pikirannya terfokus pada keadaan yatim sambil ia mulai memperhatikan linangan air mata ibunya yang diam.

Selesailah masa satu bulan keberadaannya di sisi paman-pamannya. Kemudian ibunya menemaninya untuk kembali ke Mekah. Kedua anak manusia itu sampai di pertengahan jalan. Muhammad bin Abdillah tidak mengetahui rahasia kepucatan wajah ibunya. Lalu malaikatul maut turun di suatu tempat yang yang bernama Abwa. Di situlah Aminah binti Wahab telah bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT.

Sang ibu meninggal dan meninggalkan anak satu-satunya bersama seorang pembantu. Pembantu itu menampakkan rasa kasihnya terhadap anak kecil yang kehilangan ayahnya saat masih janin dan kehilangan ibunya saat berusia enam tahun. Muhammad bin Abdillah kini menjadi sendiri dan ia dalam keadaan menangis. Ia mencapai kematangan setelah ia melewati kesedihan kehidupan dan kerasnya kehidupan sebagai anak yatim.

Rasulullah saw pernah ditanya setelah masa diutusnya: "Bagaimana pandanganmu?" Beliau menjawab: "Pengetahuan adalah modalku. Akal adalah dasar agamaku. Cinta adalah pondasiku. Zikrullah adalah kesenanganku. Dan kesedihan adalah temanku."

Allah SWT telah menyiramkan kepadanya sungai-sungai kesedihan sehingga beliau dapat memberikan kepada manusia buah dari kegembiraan dan ketulusan.

Anak kecil itu kembali ke Mekah dalam keadaan sedih dan ia tampak terpaku. Lalu Abdul Muthalib, kakeknya menampakkan cinta yang luar biasa dan penghormatan padanya. Setelah dua tahun ketika Muhammad bin Abdillah berusia delapan tahun, maka meninggallah salah satu benteng yang terbaik yang menjaganya, yaitu kakeknya Abdul Muthalib. Kemudian anak kecil itu kini merenungi kakeknya laksana orang dewasa. Ia tampak tegar seperti layaknya orang dewasa.

Kita tidak mengetahui mengapa terjadi demikian. Mengapa hikmah Allah SWT mencegah Nabi yang terakhir untuk mendapatkan kasih sayang seorang ayah, kasih sayang seorang ibu, dan bimbingan seorang kakek? Apakah Allah SWT ingin memberi Nabi yang terakhir suatu kasih sayang dan cinta yang semata-mata bersumber dari sisi-Nya? Apakah Allah SWT ingin mendidiknya dengan kesedihan dan memberinya perasaan-perasaan yang penuh dengan penderitaan? Apakah Allah SWT ingin membuat hati Rasul-Nya hanya tertuju kepadanya? Dahulu Allah SWT berkata kepada Musa:
"Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41)

Dahulu Allah SWT memberi kabar gembira kepada Musa di dalam Taurat sebagaimana Isa memberi kabar gembira di dalam Injil dengan kedatangan seorang Nabi setelahnya yang bernama Ahmad. Dan Nabi Musa meminta kepada Tuhannya agar memberinya dan memberi umatnya puncak keutamaan, lalu Allah SWT menjawab bahwa Dia telah menetapkan keutamaan ini kepada Nabi yang terakhir Ahmad dan umatnya.

Allah SWT telah memilih Musa untuk diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia tidak mencegahnya untuk mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan mendidiknya di tengah-tengah keluarganya. Namun Dia berkehendak untuk menjadikan Nabi yang terakhir tercegah dari mendapatkan kasih sayang seorang manusia dan cinta seorang manusia, sehingga Nabi tersebut hanya mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.

Allah SWT berfirman menceritakan tentang keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-11)

Makna ayat tersebut secara harfiah adalah bahwa beliau dalam keadaan yatim lalu Allah SWT melindunginya; beliau dalam keadaan tersesat lalu Allah SWT memberinya petunjuk; beliau dalam keadaan fakir lalu Allah SWT memampukannya. Allah SWT melindunginya dengan mengasuhnya, membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah derajat keutamaan yang tidak pernah dicapai oleh seseorang pun di dunia.
S
etelah kematian kakeknya, maka pamannya Abu Thalib mengasuhnya. Allah SWT telah meletakkan kecintaan pada hati pamannya, sehingga pamannya mengutamakan Muhammad saw daripada anak-anaknya dan memuliakannya serta menghormatinya, bahkan Abu Thalib mendudukkannya di ranjangnya yang biasa dibentangkannya di hadapan Ka'bah di mana tidak ada seorang pun yang duduk selainnya.

Muhammad bin Abdillah hidup di jantung gurun Mekah sebagai seorang yang memiliki kesadaran yang tinggi di antara kaum yang sedang lalai dan kaum yang mabuk-mabukan dan para penyembah berhala serta para pedagang minuman keras dan para syair dan orang-orang yang berperang dan tokoh-tokoh kabilah.

Muhammad bin Abdillah seorang yang banyak diam dan ketika usianya semakin dewasa, maka ia bertambah banyak diam. Beliau tidak berbicara kecuali jika diajak seseorang berbicara; beliau tidak terlibat dalam permainan hura-hura anak-anak muda; beliau merasakan kesedihan yang dalam; beliau sering menyendiri dan membuka matanya di hamparan pasir-pasir. Mulutnya terdiam dan akalnya berpikir. Beliau merenungkan di masa kecilnya bagaimana kaumnya bersujud terhadap berhala dan terpukau dengannya; bagaimana orang-orang berakal mau bersujud kepada batu-batu yang tidak memberikan mudharat dan manfaat dan tidak berbicara serta tidak dapat melakukan apa-apa. Beliau mewarisi dari kekeknya Ibrahim kebencian yang fitri terhadap dunia berhala dan patung.

Di dalam dirinya terdapat penghinaan yang besar terhadap sembahan-sembahan dari batu ini, suatu penghinaan yang menjadikannya tidak mau mendekat selama-lamanya terhadap patung tersebut. Namun hatinya yang besar dipenuhi dengan kesedihan yang lebih hebat dari kesedihan kakeknya Ibrahim. Beliau sedih karena akal manusia menyembah batu dan emas, kesombongan serta kekuasaan penguasa; beliau mendengar apa yang dikatakan manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan dan keadaan masyarakat; beliau juga menyaksikan betapa banyak pertentangan dan perkelahian di antara manusia yang justru disebabkan oleh masalah-masalah yang sepele, sehingga keheranan beliau semakin bertambah dan sudah barang tentu kesedihannya pun semakin dalam. Tidakkah manusia mengetahui bahwa mereka akan mati seperti ayahnya, ibunya, dan kakeknya? Mengapa mereka menimbulkan pertentangan ini, hingga mereka mendapatkan lebih banyak kejahatan?

Ketika usianya semakin bertambah, maka bertambahlah kezuhudannya dalam hidup, dan sepak terjangnya terus bersinar memenuhi penjuru Mekah. Beliau tidak sama dengan seseorang pun dari kalangan pemuda saat itu. Meskipun kami kira bahwa kesedihannya disebabkan oleh hal-hal yang umum, tetapi beliau tidak mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang pun. Beliau belum bertujuan untuk memperbaiki masyarakat atau kemanusiaan. Benar bahwa pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam benaknya dan ingin segera menemukan jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan jawaban atau jalan keluar. Inilah yang dimaksud dengan makna ayat:

"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (QS. adh-Dhuha: 7)

Yang dimaksud ad-Dhalal (kesesatan) di sini ialah kebingungan akal dalam menafsirkan kejahatan dan usaha melawannya karena ketiadaan senjata dan kecilnya usia. Semua itu justru menambah sikap diam anak kecil itu dan menjauhkannya dari dunia yang akan mencemari akal, sehingga akalnya selamat dari segala noda dan tetap di bawah naungan kejernihannya.

Anak kecil itu tetap jauh dari dosa-dosa yang dilakukan oleh kaumnya yang berupa kecenderungan untuk menyembah berhala dan cinta kekuasaan dan kebanggaan. Ia selalu mendekat dan lebih mendekat kepada hakikatnya yang suci; ia mampu mempengaruhi orang lain dengan jiwanya yang bersih dan rahmatnya atau kasih sayangnya tertuju kepada manusia, bahkan kepada binatang dan burung. Ketika ia duduk akan makan lalu ada burung merpati berkeliling di seputar makanannya rnaka ia meninggalkan makanannya untuk burung itu. Pada saat orang-orang memukul anjing yang mendekat kepada makanan mereka, maka ia justru mencabut suapan yang ada di mulutnya dan memberikannya pada anjing, kucing, anak-anak kecil, dan orang-orang fakir. Bahkan seringkali di waktu malam ia tidur dalam keadaan lapar karena ia memberikan makanannya ke orang lain.

Muhammad saw adalah seorang fakir yang harus bekerja agar dapat makan, maka beliau bekerja sebagai pengembala kambing, seperti Nabi Daud, Nabi Musa, dan nabi-nabi yang lain yang diutus oleh Allah SWT. Kemudian beliau melakukan perjalanan bersama kafilah pamannya Abu Thalib menuju Syam saat beliau berusia tiga belas tahun. Beliau menyaksikan keadaan umat-umat yang lain, maka keheranannya semakin bertambah terhadap masa jahiliyah ini. Ketika beliau menyaksikan orang-orang tersesat, maka kesedihannya semakin bertambah dan hatinya semakin tersentuh dan pikirannya semakin dalam.

Pada saat perjalanan menuju ke Syam ini terjadi suatu peristiwa terhadap anak kecil itu. Kemungkinan besar itu justru menambah kebingungannya. Seorang pendeta yang bernama Buhaira berdiri di jendela rumah yang menjadi tempat peribadatannya di Suria. Tiba-tiba ia memperhatikan suatu awan putih—tidak seperti biasanya—yang menghiasai langit yang biru. Saat itu udara sangat terang, sehingga munculnya awan tersebut sangat mengherankan. Kemudian pandangan Buhaira yang tertuju ke langit, kini tertuju ke bumi di mana ia mendapati awan itu menyerupai burung yang putih yang menaungi kafilah kecil yang menuju ke arah utara. Buhaira memperhatikan bahwa awan tersebut mengikuti kafilah.

Jantung Buhaira berdebar dengan keras karena ia mengetahui melalui buku-buku peninggalan kaum Masehi yang otentik bahwa seorang nabi akan muncul ke dunia setelah Isa. Sifat dan kabar nabi tersebut diceritakan dalam buku-buku kuno. Buhaira segera meninggalkan tempatnya, lalu ia segera memerintahkan untuk menyiapkan makanan yang besar. Kemudian ia mengutus seseorang untuk menemui kafilah tersebut dan mengundang mereka untuk jamuan makan. Salah seorang mereka berkata dengan nada bercanda kepada Buhaira: "Demi Lata dan 'Uzza, engkau hari ini tampak lain wahai Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan demikian kepada kami, padahal kami telah melewati dan singgah di tempat ini lebih dari sekali. Ada peristiwa apa gerangan wahai Buhaira?"

Buhaira menjawab: "Hari ini kalian adalah tamu-tamuku." Pertanyaan orang tersebut tidak dijawab dengan terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya dan tidak menyingkapkan rahasia kemuliaan yang datangnya tiba-tiba ini. Buhaira memberi makan mereka dan mulai memperhatikan di antara mereka adanya seseorang yang memiliki tanda-tanda yang dibacanya dalam kitab-kitabnya yang kuno tentang seorang rasul yang ditunggu. Namun ia tidak menemukannya, hingga ia bertanya kepada mereka: "Wahai kaum Quraisy, apakah ada seseorang yang tidak hadir bersama jamuanku ini?" Mereka menjawab: "Benar, ada seseorang yang tidak ikut bersama kami. Kami meninggalkannya karena ia masih kecil." Buhaira berkata: "Sungguh aku telah mengundang kamu semua. Panggilah ia supaya hadir bersama kami dan memakan makanan ini." Salah seorang lelaki dari kaum Quraisy berkata: "Demi Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami untuk meninggalkan Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang kami diundang di dalamnya.
Pamannya meminta maaf karena Muhammad masih kecil, kemudian sebagian mereka berdiri dan menghadirkannya. Belum lama Buhaira memandangi kejernihan dua mata Muhammad, sehingga ia mengetahui bahwa ia telah mendekati tujuannya. Buhairah terpaku ketika memandangi Muhammad bin Abdillah sehingga kaum selesai makan dan mereka berpisah.

Muhammad bin Abdillah duduk sendirian. Buhaira menghampirinya dan berkata: "Wahai anak kecil, demi kedudukan Lata dan 'Uzza, sudikah kiranya engkau memberitahu aku terhadap apa yang aku tanyakan kepadamu?" Buhaira ingin mengetahui sikap anak ini terhadap berhala kaumnya. Anak kecil itu menjawab: "Jangan engkau bertanya kepadaku tentang Lata dan 'Uzza. Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada keduanya." Buhaira berkata: "Dengan izin Allah aku ingin bertanya kepadamu." Anak kecil itu menjawab: "Tanyalah apa saja yang terlintas di benakmu."

Buhaira bertanya kepada anak kecil itu tentang keluarganya, kedudukannya di tengah-tengah kaumnya, mimpinya dan pendapat-pendapatnya. Dialog tersebut terjadi jauh dari pantauan kaum karena mereka tidak akan diam ketika mendengar bahwa Muhammad membenci berhala-berhala mereka. Kemudian Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Buhaira dengan yakin, hingga membuat Buhaira mantap bahwa ia sekarang duduk bersama seorang Nabi yang kabar berita gembiranya disampaikan oleh Nabi Isa sebagaimana disampaikan oleh nabi-nabi dari kaum Israil dari kaum Nabi Musa. Setelah itu, ia bangkit meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke Abu Thalib ia bertanya tentang kedudukan anak kecil itu di sisinya. Abu Thalib menjawab: "Ia adalah anakku." Buhaira berkata: "Tidak mungkin ayahnya masih hidup." Abu Thalib berkata: "Benar. Ia anak saudaraku. Ayahnya dan ibunya telah meninggal." Buhaira berkata: "Engakau benar, kembalilah kamu ke negerimu dan hati-hatilah dari kaum Yahudi." Abu Thalib bertanya tentang rahasia dari apa yang dikatakan oleh pendeta itu. Pendeta itu mulai mengetahui bahwa ia telah berbicara lebih dari yang semestinya. Lalu ia berkata: "Ia akan memiliki kedudukan tertentu." Buhaira tidak menjelaskan lebih dari itu dan ia tidak menentukan kedudukan yang dimaksud.

Lalu berlalulah peristiwa tersebut tanpa terlintas dari benak seseorang atau tanpa menggugah kesadaran di antara mereka. Kisah tersebut tidak membawa pengaruh berarti bagi kafilah atau kepada Nabi sendiri. Kafilah menganggap bahwa penghormatan pendeta kepada Muhammad bin Abdillah dan memberitahunya akan kedudukan yang akan disandangnya adalah semata-mata basa-basi yang biasa diucapkan di atas meja makan ketika para tamu memuji kedermawanan tuan rumah. Dan sebagai balasannya, orang yang mengundang akan memuji akhlak para pemuda mereka. Alhasil, peristiwa tersebut tidak membawa pengaruh apa pun, baik bagi Muhammad maupun bagi sahabat-sahabat yang ikut dalam kafilah, sehingga mereka tidak mengetahui rahasia perkataan pendeta dan mereka tidak menyebarkan pembicaraan yang mereka dengar darinya. Peristiwa itu tersembunyi meskipun ia sungguh sangat membingungkan Muhammad.

Apa gerangan yang terjadi antara dirinya dan orang-orang Yahudi, sehingga pendeta perlu mengingatkan pamannya dari ancaman mereka? Apa kedudukan yang akan diembannya seperti yang diceritakan oleh pendeta itu? Dan apa hubungan semua ini dengan kesedihan-kesedihannya yang dalam serta kebingungannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit demi sedikit berputar di benaknya. Kemudian seperti biasanya kafilah tersebut kembali ke Mekah. Muhammad kembali menuju keterasingannya. Ia memperhatikan keadaan alam di sekitarnya. Kemudian ia melihat kembali penderitaannya; ia berusaha untuk mendapatkan kehidupannya; ia mengabdi kepada manusia dan mengorbankan apa saja demi kemuliaan mereka...

No comments:

Post a Comment