Friday, June 8, 2012

KOTOR

Catatan Pinggir GOENAWAN MOHAMAD






Aku ini—tanganku kotor. Sampai ke siku. Telah kucelupkan ke dalam tahi dan darah.”
Ucapan Ketua Partai Komunis dalam lakon Les Mains Sales karya Sartre itu kini dikenang sebagai perumusan kembali petuah Machiavelli dari abad ke-15: siapa saja yang masuk ke kancah kekuasaan harus siap menyentuh najis. Pengertian Les Mains Sales, ”tangan yang kotor”, telah jadi kiasan abad ke-20 bagi sebuah kondisi ketika cita-cita yang baik terpaksa dicapai dengan cara yang tak baik.
Machiavelli menasihati agar para penguasa mampu bertindak bagaikan hewan, bak rubah yang licik dan singa yang ganas. Sartre menampilkan Hoederer, sang Ketua Partai, untuk mengatakan bahwa yang suci murni hanyalah ”gagasan para rahib dan fakir”. Ia mengecam para intelektual yang menyerukan la pureté. ”Kalian, kaum intelektual, anarkis borjuis,” kata Hoederer, ”kalian pakai kesuci-murnian sebagai dalih untuk tak melakukan apa-apa! Tak berbuat apa pun, tinggal diam saja, merapatkan lengan ke tubuh, mengenakan sarung tangan!”
Kata-kata Hoederer bukan tanpa arah ke luar panggung. Lakon ini pertama kali dipentaskan pada 1948, pada zaman ketika Eropa dibayang-bayangi intrik dan perebutan posisi dalam Perang Dingin – sementara para pemikir bergulat dengan persoalan moralitas dalam revolusi dan demokrasi.
Dengan Les Mains Sales, Sartre memasuki perdebatan besar ini. Tapi tiap lakon yang baik tak berangkat dengan satu premis dan berakhir dengan satu pendirian. Ceritanya berlatar tahun 1930-an, ketika sebuah negeri Eropa Timur bernama Illyria—negeri khayal yang juga dipakai Shakespeare dalamTwelfth Night—menghadapi ancaman pendudukan Jerman.
Oleh kawan-kawan separtainya, Hoederer dianggap berkhianat. Ia telah membentuk kerja sama dengan partai ”borjuis” untuk menghadapi musuh dari luar itu. Pemimpin partai yang lain memutuskan dia harus dihabisi, karena ia sangat berpengaruh. Yang ditugasi adalah Hugo Barine, seorang pemuda komunis yang sebenarnya lebih seorang intelektual yang masuk Partai karena keyakinan ketimbang seorang pembunuh.
Anak muda ini bersama istrinya, Jessica, berhasil menyusup sebagai sekretaris sang Ketua. Dalam percakapan dengan calon pembunuhnya itulah Hoederer mengutarakan argumennya: kerja sama dengan partai-partai ”borjuis” diperlukan karena baginya Partai Komunis tak cukup kuat menghadapi ancaman Nazi dari luar. Memang dengan demikian kemurnian prinsip jadi bengkok. Tapi mau apa lagi? ”Kau bayangkan orang bisa mengatur kekuasaan dengan tanpa dosa?” tanya Hoederer kepada Hugo—sebuah tanya yang tak bertanya.
Mengatur kekuasaan adalah sebuah posisi dan tugas yang pada akhirnya diarahkan kepada sebuah efek. Hasil adalah yang terpenting, dan segala hal lain dinilai berdasarkan itu. ”Semua cara dinilai baik,” kata Hoederer, ”bila efektif.”
Itu sebabnya ia tak ragu untuk menajiskan tangannya. Tapi apa yang najis dan kurang najis telah diporak-porandakan Sartre dengan menampilkan Hoederer. Pada akhirnya Hugo menembak mati Hoederer. Tapi bukan karena dorongan tugasnya. Ia cemburu. Jessica, istrinya, jatuh hati kepada Hoederer yang jauh lebih tua, lebih matang, dan sebenarnya orang baik yang gampang mempercayai orang lain.
Yang ironis ialah bahwa akhirnya Partai mengakui benarnya strategi Hoederer dalam membentuk front bersama dengan partai-partai ”borjuis”. Hoederer dibersihkan namanya. Ia dinyatakan sebagai pahlawan, bukan seorang yang dibunuh karena telah menyalahi garis politik, bukan pula karena soal cinta dan cemburu.
Ia akhirnya juga bagian dari dusta, bahkan ketika ia tak berada di kancah perjuangan lagi. Mungkin Jessica benar ketika ia berkata, ”Indah sekali, manusia yang bersendiri.” Tapi dengan itu sebuah dilema tak terelakkan. Dalam kesendiriannya, manusia tak perlu mempengaruhi, menguasai, atau bersekutu dengan orang yang berfiil jahat, tak perlu pula menggunakan siasat setengah atau 100 persen menipu, tak perlu menyogok dan tak usah menakut-nakuti. Tapi dalam kesendirian itu bagaimana ia akan mengerti yang baik dan buruk, dan mengubah hidup? Bagaimana, seperti kata Hoederer, ”orang bisa mengatur kekuasaan dengan tanpa dosa?”
Makna ”tangan kotor” dalam lakon Sartre memang harus dibedakan dengan cara mereka yang bergelimang najis untuk kepentingan diri sendiri. Tentu saja tak selamanya jelas, sejauh mana seseorang tahu, atau tulus, ketika ia mengatakan bahwa ia berbuat sesuatu dengan ”tangan kotor” untuk kepentingan yang lebih besar. Di Indonesia, bahkan tentara yang dikerahkan atas nama keamanan nasional atau keutuhan teritorial mungkin hanya berdasarkan perhitungan dana anggaran yang akan dicuri sejumlah jenderal yang gemar bicara tentang patriotisme….
Itu sebabnya ada kehendak yang sah agar mana yang najis, mana yang mulia, tak ditentukan berdasarkan tujuan sebuah tindakan. Ada yang, seperti Kant, menegaskan utamanya dasar nilai yang ”deontologis”: kita berbuat baik karena kewajiban moral, bukan karena akibatnya yang bermanfaat. Jika seorang pembunuh datang ke Anda dan bertanya di mana orang yang akan dibunuhnya bersembunyi, Anda tak boleh bohong, bila Anda tahu. Bohong, biarpun untuk tujuan baik, adalah sesuatu yang secara moral tak bisa dibenarkan.
Saya tak tahu akankah saya berbuat begitu. Ada yang menakutkan dalam tiap pemutlakan. Apalagi dasar nilai ”deontologis” bisa merupakan problem, karena dalam hal menentukan apa yang ”kotor” dan ”suci” mungkin terlibat sebuah proses politik yang diam-diam menentukan siapa yang menang untuk didengar. Hoederer mencoba membongkar konstruksi itu. Ia punya alasan yang kuat. Tapi ia salah ketika menyimpulkan bahwa ”dunia diciptakan buruk”. Sebab, jika demikian, yang ”baik” harus dibangun dari titik nol—sementara yang ”baik” bukan hal yang mustahil ada di antara dan di dalam kita. Bukankah kejahatan selalu berhadapan dengan kata ”tidak”?
~Majalah Tempo, Edisi. 19/XXXIIIIII/02 – 8 Juli 2007~


No comments:

Post a Comment