-- MENYOAL MASALAH QADIM-NYA ALAM
Aristoteles adalah salah seorang tokoh filosof Yunani yang terkenal pada zamannya. Sebelumnya muncul Plato, yang merupakan gurunya. Sebagai murid Aristoteles ingin melanjutkan pemikiran gurunya, namun dalam kenyataan selanjutnya Aristoteles mempunyai konsepsi pemikiran yang berbeda dengan gurunya sendiri, terutama mengenai konsep wujudnya alam.
Menurut Aristoteles untuk mengetahui wujud alam ini langkah pertama yang ditempuh ialah pengenalan indera, kalau hal ini sudah tersimpan dalam ingatan, maka pikiran akan memasuki tahap kedua dalama pengenalan yaitu membandingkan sesuatu dengan yang lainnya untuk mengetahui pertalian dengan sebab-sebabnya. Kemudian berpindah ketahap yang ketiga yaitu perenungan (pemikiran) menuju ke arah kesimpulan.
Bagi Plato tiap yang ada di alam mempunyai idea, sedangkan menurut Aristoteles tiap benda yang ditangkap dengan panca indera mempunyai materi dan bentuk.
Bentuk tak dapat berdiri sendiri terlepas dari materi. Materi dan bentuk selamanya satu. Materi tanpa bentuk tak mungkin ada. Materi dan bentuk hanya dalam akal dapat dipisahkan.[1]
Bentuk merupakan hakikat sesuatu sehingga kekal dan tidak berubah-ubah. Tetapi dalam panca indera terdapat perubahan, perubahan menghendaki dasar yang di atasnyalah perubahan itu terjadi, dasar inilah yang disebut materi oleh Aristoteles. Materi berubah tetapi bentuk kekal. Bentuklah yang membuat materi berubah, artinya materi berubah untuk memperoleh bentuk tertentu. Dengan memperoleh bentuk tertentu, materi mempunyai potensi yang ada di dalamnya, menjelma menjadi hakikat atau aktualitas. Antara bentuk dan materi terdapat hubungan gerak. Sedang yang menggerakkan potensialitas untuk menjadi aktualitas adalah penggerak pertama, karena penyebab utama dari gerak terjadi dari perubahan dari perbuatan yang menggerakkan, digerakkan pula oleh sesuatu penggerak lain.Demikianlah seterusnya, sehingga terdapat suatu rentetan penggerak dan yang digerakkan. Rentetan ini tidak berkesudahan bila di dalamnya tidak terdapat sesuatu penggerak yang tak bergerak.
Penggerak yang tak bergerak ini pasti dan wajib mempunyai wujud dan inilah yang disebut penggerak pertama. Penggerak pertama yang tak bergerak ini tidak mungkin mempunyai sifat materi, sebab materi adalah potensialitas dan karena itu berubah. Sebaliknya aktualitas adalah sempurna dalam arti penggerak pertama mestilah sempurna sesempurnanya, dan hanya satu dan ia berupa akal. Aktivitas akal hanya dalam pikiran. Karena penggerak pertama sempurna sesempurnanya dan tak berhajat pada yang lain maka pemikirannya hanyalah tertuju pada dirinya sendiri. Akal ini adalah akal yang suci, dan itulah Tuhan. Tuhan dalam paham ini tak mempunyai sifat pencipta terhadap alam. Hubungannya dengan alam hanya merupakan penggerak pertama.[2]
Al-Farabi (295-339 H./850 M.) adalah salah seorang pemikir yang tertarik berkunjung ke Bagdad setelah Daulah Abbasiyah mengembangkan kegiatan ilmiyah dalam lingkungan Islam. Di sanalah beliau bertemu dengan Abi Bisyr dan akhirnya selama 20 tahun al-Farabi mendalami filsafat Aristoteles dan Plato yang keduanya dipandang sebagai dua tokoh yang mewarnai filsafat bahkan pencetus dan peletak dasar dan ketentuan-ketentuannya. Al-Farabi menilai bahwa perbedaan yang ada pada keduanya hanya perbedaan sistem, oleh karena itu beliau berusaha mempertemukannya. Dari hasil usahanya itu kemudian dikembangkan pula dalam semua permasalahan yang dibahasnya termasuk masalah alam.
Al-Farabi dalam mengemukakan pandangan tentang alam mengikuti teori emanasi dari pemikiran kedua tokoh tersebut, tetapi al-Farabi lebih dahulu menjelaskan pandangannya tentang adanya dua alam, yakni alam langit dan alam bumi. Sebagaimana halnya dengan sistem yang ditempuh oleh Aristoteles yang menganggap seluruh alam ini bagaikan bulatan (bola) raksasa, berpusat pada bumi dan sekitarnya hingga ke orbit bulan yang merupakan batas dalam bumi, sedangkan apa yang berada di atas bulan sampai kebulatan langit pertama adalah alam langit.
Dengan adanya pandangan yang membagi alam atas dua, dimana alam yang tertinggi ialah alam langit dirumuskanlanh kejadian alam yang menghasilkan teori emanasi dalam pemikiran al-Farabi yang pada hakikatnya sama dengan teori Aristoteles sekalipun berbeda perinciannya namun apabila dipahami secara menyeluruh dapat disimpulkan bahwa beliau berpendapat bahwa alam ini qadim[3].
Pandangan al-Farabi dalam masalah qadimnya alam ditinjau dari segi aqidah Islam tidaklah bertentangan atau tidak mengurangi nilai-nilai aqidah Islam, adapun mengenai keikutsertaan dan keterpengaruhan al-Farabi terhadap Aristoteles bukanlah berarti al-Farabi hanya mengekor saja pada pendapat-pendapat Aristoteles tanpa mengemukakan pandangan dan ide-ide pemikirannya. Al-Farabi telah berjasa dalam hal ini, ia mampu memperbaiki kejanggalan-kejanggalan yang sulit dipahami pada pandangan Aristoteles.
Mengenai baharu dan qadimnya alam yang telah diperdebatkan antara kaum theolog dan para filosof adalah merupakan suatu hal yang tidak dapat ditanggapi secara negatif. Masing-masing mempunyai kebenaran sebab pandangan kaum theolog tentang qadimnya alam hanya meninjau dari segi kacamata agama, al-Farabi memandang dari segi filsafat dan hanya untuk memperluas cakrawala berpikir, sebab qadimnya alam menurut pandangan al-Farabi adalah qadim menurut logika yang berarti alam ini bisa saja hancur karena ia diciptakan Tuhan yang tidak berarti persis sama dengan qadimnya Tuhan. Berbeda dengan kaum theolog yang memberikan pengertian bahwa yang disifatkan dengan qadim selalu diasosisikan dengan Qadimnya Tuhan, oleh kaena itu ia memandang bahwa alam ini baharu karena diciptakan oleh Tuhan.
Sebagai hasil dari keinginan al-Farabi mempertemukan pandangan tersebut maka pemikirannya tentang alam semesta melahirkan suatu konsepsi tersendiri dalam hal kejadian alam ini yakni teori emanasi yang bertingkat sampai sepuluh tingkatan. Dengan demikian sekaligus al-Farabi berdiri sendiri tetapi ada kecenderungannya kepada Aristoteles dalam uraiannya yang lain. Dan kecenderungannya paling menonjol adalah pada segi logika atau rasionalitasnya.
Al-Farabi tidak menerima apabila dikatakan bahwa sesuatu itu tercipta dari tiada menjadi ada, hal ini sekali lagi membuktikan kecenderungannya pada logika Aristoteles. Begitu terikatnya pada logika Aristoteles sehingga al-Farabi mengikuti kesimpulan bahwa alam ini qadim walaupun keqadimannya alam ini berbeda dengan keqadiman Allah.
Tentang penggunaan teori emanasi sebagai pengganti dari penciptaan yang ditunjukkan dalam al-Qur’an, al-Farabi sebenarnya tidak sepenuhnya ikut pada Aristoteles, keikutsertaannya hanya pada logika saja yakni menurut al-Farabi untuk menghindari pengertian adanya zat yang qadim itu berhubungan dengan yang baharu, yang tidak bisa diterima akal maka dirumuskanlah sampai sepuluh tingkatan sehingga jauh hubungan antara zat yang qadim dengan yang banyak.
Dengan demikian pemikiran ini lebih banyak dijiwai oleh keinginan merasionalkan pengertian penciptaan yang ditunjukkan dalam al-Qur’an.
No comments:
Post a Comment