Wednesday, February 29, 2012

FILSAFAT HELLENISME DAN ROMAWI




Ciri Khas Fase Hellenisme
Filsafat Yunani bukanlah hasil ciptaan filosof-filosof Yunani semata-mata, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai saingan (pilihan) dari kebudayaan Yunani sebelum masa berfilsafat, karena filsafat di Yunani mula-mula dimaksudkan untuk melepaskan diri dari kekuasaan golongan-golongan agama bersahaja dengan jalan menguji ajaran-ajarannya. Apa yang dapat dibenarkan oleh akal pikiran dinamakan filsafat, dan apa yang tidak dapat diterima oleh akal pikiran dimasukkan dalam “cerita-cerita agama”. Karena itu dalam filsafat Yunani terdapat unsur-unsur agama bersahaja (agama-agama berhala), antara lain kepercayaan tentang adanya banyak zat yang membekasi alam dan yang menjadi sumber segala peristiwanya, meskipun dalam bentuk yang berbeda dengan apa yang ada pada agama Yunani sendiri, karena zat yang berbilang dalam agama itu dinamakan ‘dewa-dewa’, sedang dalam filsafat disebut ‘akal benda-benda langit’, sebagaimana yang kita lihat antara ‘akal bulan’ dengan ‘akal manusia’. Menurut filsafat Yunani bukan hanya sebab yang pertama (first cause) yang mempengaruhi alam, tetapi juga ada kekuatan-kekuatan lain yang ikut serta mempengaruhinya yaitu akal-akal yang menggerakkan benda-benda langit.
Demikian pula “Api Heractilus” yang dianggap sebagai asal kejadian alam, boleh jadi karena pengaruh pemujaan api yang dikenal oleh agama-agama Iran pada umumnya dan yang sampai di Yunani sesudah adanya pertemuan antara barat dengan timur.
Ciri kedua dari pemikiran filsafat Yunani ialah ketidak-selarasan, karena filsafat ini mula-mula terdiri dari bermacam-macam soal yang tidak selaras. Sampaipun orang-orang yang mempunyai pemikiran filsafat yang sistematis, seperti Plato dan Aristoteles, juga tidak terhindar dari ketidak-selarasan ini dalam pemikirannya. Karena dalam menguraikan sesuatu persoalan filsafat, mereka masih terpengaruh oleh pikiran-pikiran orang sebelumnya, dengan segala macam perbedaannya dan yang mengandung ketidak-selarasan pula. Sedang sistem filsafat mereka tidak lain hanyalah merupakan usaha secara luas untuk mencakup segala hasil pemikiran filsafat yang telah ada.
“Teori ide” dari Plato misalnya merupakan usaha pemaduan antara dua pemikiran yang berlawanan. Heraclitus dan pengikut-pengikutnya mengatakan bahwa segala sesuatu selalu berubah (perpetual flux, panta rhei) dan pendapat ini telah dirubah oleh Pythagoras tokoh aliran “Sofisme”, menjadi ajaran yang mengatakan bahwa “Perorangan menjadi ukuran segala sesuatu” (man  is the measure of all things). Kebalikan dari Heraclitus ialah Parmenides, terkenal dengan sebutan ajaran aliran “Elea”, yang mengatakan bahwa semua wujud ini satu, tidak ada yang banyak; yang satu tersebut tetap, dan dalam alam ini  tidak ada perubahan. Kedua pendapat yang berlawanan ini dipadukan oleh Plato dengan mengatakan adanya dua alam, yaitu “alam yang nyata’ (real) dan “alam indrawi” (sensible).
Pembagian Aristoteles terhadap wujud menjadi form dan matter merupakan bentuk lain dari cara penggabungan terhadap pendapat-pendapat Heraclitus dan Parmenides. Seperti halnya dengan Plato, Aristoteles mengatakan bahwa hanya zat yang ada dengan sendirinya dan tidak berubah-ubah (necessary and unchangeable) itulah yang bisa menjadi obyek pengetahuan. “Alam indrawi” (sensible things) mendatang kemudian dan bisa berubah-ubah, dan oleh karena itu bisa ada dan bisa tidak ada (to be and not to be possible both to be and not to be). Hanya zat yang bukan indrawi (non sensible) yang menjadi objek pikiran kita dapat tidak berubah,  dan tiap-tiap kejadian memerlukan adanya zat  yang tidak dijadikan (that all change presupposes an unchangeable and every becoming something that has not become).
Meskipun Plato dan Aristoteles telah berhasil memadukan pikiran-pikiran filsafat yang sebelumnya, namun keduanya tidak dapat melarutkannya sama sekali, karena pikiran-pikiran filsafat tersebut adalah pemikiran bermacam-macam aliran yang boleh jadi berbeda-beda pandangannya terhadap hidup dan alam ini. Aliran-aliran ini adalah:
  1. Aliran tabii (natural philosophy) dengan Democritus sebagai tokohnya dan filosofi-filosoflonia, yang menghargai alam dan wujud benda setinggi-tingginya. Karena itu menurut aliran ini alam itu abadi.
  2. Aliran ketuhana yang mengakui zat-zat yang metafisik, diwakili oleh aliran Elea dan Socrates, yang mengatakan bahwa sumber alam indrawi adalah sesuatu yang berada diluarnya.
  3. Aliran mistik dan Pythagoras sebagai tokohnya, yang bermaksud memperkecil atau mengingkari nilai alam indrawi, dan oleh karena itu aliran ini menganjurkan kepada manusia untuk meninggalkannya, serta menuju kepada alam yang penuh kesempurnaan, kebahagiaan dan kebebasan mutlak, sesudah terikat oleh benda alam ini.
  4. Aliran kemanusiaan yang menghargai manusia setinggi-tingginya dan mengakui kesanggupannya untuk mencapai pengetahuan, serta menganggap manusia sebagai ukuran kebenaran. Aliran ini diwakili oleh Socrates dan golongan “sofis” meskipun ada perbedaan antara dia dengan mereka.
Aliran-aliran filsafat tersebut sudah barang tentu mempengaruhi hasil pemikiran filosof-filosof  yang datang kemudian, bagaimanapun kuat dan besarnya filosof-filosof tersebut. Plato meskipun mengakui adanya Tuhan, tetapi tidak jelas pendapatnya tentang alam, qadim-kah atau hadis. Ia lebih condong kepada tasawuf, namun ia terkenal sebagai pencipta “teori universalitas” (kulliyat) dan logika seperti yang terlihat dalam bukunya yang berjudul Euthydemus dan Gorgias, sedang tasawuf berdasarkan mata hati”, dan logika berdasarkan pikiran.
Aristoteles adalah seorang monoisme, yang mengakui keesaan sumber alam semesta, yaitu Zat yang wajibul-wujud. Tetapi dalam pada itu ia membenarkan azali-nya alam keabadian jiwa, hal mana menyebabkan adanya pluralitas (bilangan) pada alam yang qadim. Ia mengarang buku Organon yang mengatur cara berpikir dan menciptakan adanya pengaruh akal bulan, sebagai benda langit yang terdekat dengan bumi, pada akal manusia. Meskipun Aristoteles telah lebih mampu dalam mempertemukan aliran-aliran filsafat yang hidup sebelum dia, namun hasil pemikirannya masih menunjukkan adanya ketidakselarasannya.
Ketidakselarasan ini menyebabkan adanya perbedaan yang agak jauh antara Plato dengan Aristoteles sendiri, meskipun ada usaha-usaha dari al Faribi dalam bukunya al Jam’u baina Sa’jai al Hakimain (Pemanduan pikiran-pikiran kedua filosof) untuk menghapuskan perbedaan-perbedaan itu, atau dengan mengatakan bahwa sebagai pendapatnya dikeluarkan pada masa-masa tertentu dan pendapat-pendapat lain dikeluarkan pada masa sesudahnya atau sebelumnya.
Akan tetapi bagi mereka yang mengetahui ciri-ciri khas pemikiran Yunani, sebagai pemikiran yang dipengaruhi oleh berbagai faktor atau aliran filsafat yang tidak seirama satu sama lain, maka tidak perlu  mengadakan pemaduan tersebut.
Ciri-ciri Fase Hellenisme-Romawi
Meskipun keseluruhan masa Hellenisme Romawi mempunyai corak yang sama, namun apabila mengingat perkembangannya, maka dapat dibagi menjadi tiga masa, dimana tiap-tiap masa mempunyai corak tersendiri.
Masa pertama, masa pertama dimulai dari empat abad sebelum masehi sampai pertengahan abad pertama sebelum masehi. Aliran-aliran yang terdapat didalamnya ialah:
  1. Aliran Stoa (ar-Riwaqiyyah) dengan Zeno sebagai pendirinya. Ia mengajarkan agar manusia jangan sampai bisa digerakkan oleh kegembiraan atau kesedihan (jadi tahan diri dalam menghadapinya) dan menyerahkan diri tanpa syarat kepada suatu keharusan yang tidak bisa ditolak dan yang menguasai segala sesuatu.
  2. Aliran Epicure, dengan Epicurus sebagai pendirinya. Aliran ini mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia merupakan tujuan utama.
  3. Aliran Skeptis (ragu-ragu) yang meliputi “aliran Phyro” dan “aliran akademi Baru” aliran skeptis mengajarkan bahwa untuk sampai kepada kebenaran, kita harus percaya dulu bahwa segala sesuatu itu tidak benar, kecuali sesudah dapat dibuktikan kebenarannya. Ajaran lain ialah bahwa pengetahuan manusia tidak akan sampai kepada kebenaran, atau dengan perkataan lain mengingkari kebenaran mutlak (obyektif).
  4. Aliran elektika-pertama (aliran seleksi).
Masa kedua ini dimulai dari pertengahan abad pertama sebelum masehi sampai pertengahan abad ketiga masehi. Corak pemikiran pada masa ini ialah seleksi dan penggabungan, yaitu memilih beberapa pikiran filsafat kuno dan menggabungkan pikiran-pikiran itu satu sama lain, atau menggabungkan pikiran-pikiran itu di satu pihak dengan ketentuan agama dan tasawuf timur di lain pihak. Masa ini terkenal dengan adanya ulasan ilmiah terhadap kerja-kerja filosof-filosof Yunani. Aliran yang terdapat pada masa ini ialah; 1) aliran peripatetic terakhir, 2) aliran Stoa baru; 3) aliran epicure baru; 4) aliran Pythagoras, dan 5) aliran filsafat Yahudi dan Plato.
Filsafat Hellenisme Yahudi ialah suatu pemikiran filsafat, di mana filsafat Yahudi dipertemukan dengan kepercayaan Yahudi, dengan jalan penggabungan atau mendekatkan salah satunya kepada lain, atau membuat susunan baru yang mengandung kedua unsur tersebut.
Masa ketiga ini dimulai dari abad ketiga Masehi sampai pertengahan abad keenam masehi di Bizantium dan Roma, atau sampai pertengahan abad ketujuh atau kedelapan di Iskandariah dan Timur dekat (Asia Kecil). Pada masa ketiga ini kita mengenal aliran-aliran 1) Neo platonisme; 2) iskandariah; 3) filsafat di asia kecil, yang terdapat di antiochia, harran, ar ruha dan nissibis. Aliran-aliran ini merupakan kegiatan terakhir menjelang timbulnya ‘aliran Bagdad” yaitu aliran filsafat Islam.
Aliran iskandariah mempunyai corak tersendiri yang lain dari aliran Neo Platonisme, meskipun kedua aliran tersebut memberikan ulasan-ulasan terhadapnya. Perhatian aliran Iskandariah lebih banyak ditujukan kepada lapangan eksakta, seperti matematika, fisika, dari pada kepada lapangan metafisika, bahkan dengan berlalunya masa maka soal-soal metafisika ditinggalkan sama sekali.
Tokoh-tokoh aliran Iskandariah ialah; Hermias, Stepanus, dan Yoannes Philoponos.
Diantara aliran-aliran filsafat dari masa ketiga, Neo Platonisme lah yang terpenting dan yang paling banyak pengaruhnya terhadap filsafat Islam.
Aliran neo platonisme merupakan rangkaian terakhir atau rangkaian sebelum terakhir dari fase Hellenisme Romawi, yaitu fase mengulang yang lama dan bukan fase mencipta yang baru. Neo Platonisme ini juga masih berkisar pada filsafat Yunani, tasawuf timur dan memilih dari sana sini, kemudian digabungkannya. Karena itu di dalamnya terdapat ciri-ciri filsafat Yunani yang kadang-kadang bertentangan dengan agama-agama langit, yaitu agama Yahudi dan agama Masehi, karena dasar filsafat tersebut ialah kepercayaan rakyat yang mempercayai sumber kekuasaan yang banyak. Karena sistem pilihan ini pula, mempercayai sumber kekuasaan yang banyak. Karena sistem pilihan ini pula, maka di dalam Neo Platonisme merupakan rangkaian terakhir atau rangkaian sebelum terakhir dari fase Hellensime Romawi, yaitu fase mengulang yang lama dan bukan fase mencipta yang baru. Neo Platonisme ini juga masih berkisar pada filsafat Yunani, tasawuf timur dan memilih dari sana sini, kemudian digabungkannya. Karena itu didalamnya terdapat ciri-ciri filsafat Yunani yang kadang-kadang bertentangan dengan agama-agama langit, yaitu agama Yahudi dan agama masehi, karena dasar filsafat tersebut ialah kepercayaan rakyat yang mempercayai sumber kekuasaan yang banyak. Karena sistem pilihan ini pula, maka didalam Neo Platonisme terdapat unsur-unsur Platonisme, Pythagoras, Aristoteles, Stoa dan tasawuf timur. Jadi Neo Platonisme mengandung unsur-unsur kemanusiaan (hasil usaha pemikiran manusia), keagamaan dan keberhalaan (bukan agama langit).
Neo Platonisme yang meliputi unsur-unsur ini semua datang kepada kaum muslimin dengan melalui aliran Masehi di Timur Dekat, tetapi dengan sampul lain, yaitu tasawuf Timur dan pengakuan akan keesaan Tuhan, zat “Yang pertama’, dengan ketungalan yang sebenar-benarnya. Karenanya, mereka tertarik ( )
SUMBER: www.masbied.com

No comments:

Post a Comment