Thursday, November 3, 2011

GOENAWAN MOHAMAD



D E B A T


Saya malas berdebat. Tiap debat mengandung unsur berlaga, ujian, dan telaah. Memang, dulu ketika Socrates menanyai seseorang, menggunakan teknik eclenchus, menyoal dan meminta jawab dan siap dibantah serta membantah, ia tak bermaksud mengalahkannya hingga takluk. Ia menggugah orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya, dan menjadi lebih bijaksana sedikit. Tapi tidak setiap orang seperti Socrates. Dan saya cepat lelah dengan berujar lisan.

Pengalaman saya mengajari saya bahwa debat, seperti umumnya dialog, acap kali berakhir dengan dua-log: saya dan lawan bicara saya akan seperti dua pesawat televisi yang disetel berhadap-hadapan. Dia tak mencoba mengerti saya dan saya tak mencoba mengerti dia. Bahasa punya problem. Kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah sana dalam makna yang seperti ketika ia keluar dari kepala saya.

Pengalaman saya juga membuat saya bertanya: apa tujuan sebuah perdebatan? Untuk menunjukkan bahwa saya tak kalah pintar ketimbang lawan itu? ”Kalah pintar” tidak selamanya mudah diputuskan, kalaupun ada juri yang menilai. Atau untuk meyakinkan orang di sebelah sana itu, bahwa pendirian saya benar, dan bisa dia terima? Saya tak yakin.

Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi yang ”rasional” akan menghasilkan sebuah konsensus. Bahkan Mikhail Bakhtin cenderung menganggap bahwa debat yang terbuka dan kritis tidak dengan sendirinya akan membuka pintu ke sebuah ruang di mana orang bisa bertemu dan bersepakat. Justru sebaliknya: yang akan terjadi adalah makin beragamnya pendapat dan pendirian.

Bagi Bakhtin, orang yang berbeda punya pandangan dunia yang berbeda pula, dan pada saat mereka sadar bahwa intuisi mereka tentang realitas berbeda—dan teknik Socrates akan menimbulkan kesadaran itu—mereka akan makin ketat dalam pilihan posisi mereka. Ada yang selamanya tak terungkap, juga bagi diri sendiri, dalam kalimat.

Di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan? Mungkin jawabnya lebih sederhana dari yang diharapkan seorang Socrates: percakapan punya momen persentuhan yang tak selamanya bisa dibahasakan—momen ketika tubuh jadi bagian dari keramahan dan redanya rasa gentar.

Tapi orang senang menonton debat, apalagi debat para calon presiden. Saya tidak tahu apakah setelah menonton itu, orang akan mengambil keputusan mana yang lebih baik dia pilih. Saya duga lebih sering yang terjadi adalah pilihan sudah dijatuhkan sebelum debat mulai—dan orang menonton sebagai pendukung atau penggembira, seperti orang menonton pertandingan badminton atau tinju. Maka saya lebih cenderung menganggap, debat diselenggarakan lebih untuk jam-jam hiburan—dengan segala ketegangan yang dirasakan dalam menonton itu. Kita tegang, maka kita senang. Juga debat calon presiden. Pendek kata, debat itu tidak untuk meyakinkan. Debat itu untuk membuat kita bertepuk.

Tidak mengherankan bila televisi mengambil peran besar dalam debat politik. Sementara mereka yang berdebat mempersiapkan diri baik-baik dengan mengumpulkan bahan serta mempertajam argumen dan juga berlatih menyusun kata, tuan rumah dari acara itu sebenarnya punya tujuan yang tak ada hubungannya dengan discourse. Sang tuan rumah hanya menginginkan sesuatu untuk ditonton khalayak seperti orang Roma dulu menyelenggarakan pertandingan gladiator.

Suka atau tidak suka, politik kini terjebak dalam sebuah arena apa yang disebut Milan Kundera sebagai ”imagologi”. Politik telah jadi sebuah tempat bertarung yang dibangun oleh media massa, di mana wajah, sosok, artikulasi, dan janji diperlakukan sebagai komoditas yang ditawarkan ke konsumen yang sebanyak-banyaknya. Makin banyak calon pembeli yang dibujuk, makin ditemukan titik pertemuan yang paling dangkal. Dan ketika televisi—dengan kebiasaannya untuk gemebyar, dengan ongkos mahal—jadi makin komersial, pendangkalan itu makin tak terelakkan.

Tidak mengherankan bila setelah debat calon presiden, disusul debat para komentator debat—yang umumnya seru, bisa lebih kasar, lebih tak sabar, dan lebih tak berpikir. Kini para komentator hampir sudah seperti pesohor: yang terpenting adalah bahwa mereka dikenal, atau bisa menarik perhatian. Mengapa harus digubris adakah pendapat mereka punya dasar yang bisa dipertanggungjawabkan? Dan karena air time mahal, jawaban cepat lebih diperlukan ketimbang jawaban masuk akal. Socrates dan eclenchus-nya sudah lama dikuburkan.

Saya malas berdebat. Meskipun seperti banyak orang, saya tak malas menonton para calon presiden berdebat. Saya tahu apa yang mereka lakukan di sana itu tak banyak manfaatnya bagi mereka sendiri. Tapi setidaknya saya mendapatkan hiburan. Dan mungkin juga komodifikasi yang terjadi pada acara yang seolah-olah serius itu punya manfaat lain, punya peran lain: proses itu membuat para calon pemegang jabatan tertinggi Republik itu lebih menarik, dan tidak lebih angker, apalagi menakutkan, ketimbang komoditas lain yang ditebarkan televisi.

Tampaknya demokrasi bisa juga dibangun dari perdagangan.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 22 Juni 2009~

No comments:

Post a Comment