Saturday, November 5, 2011

GOENAWAN MOHAMAD



YANG-LAIN

Beberapa saat sebelum ia tewas, Karna tahu ia akan kalah. Dan ia akan kalah dengan kesadaran yang pahit: ia akhirnya memang bukan apa-apa. Ia merasa diri telah bertempur dengan keberanian seorang pendekar perang, tapi siapakah dia sebenarnya? Bukan seorang dari keluarga Kurawa yang dibelanya. Bukan seorang ksatria seperti para pangeran di pertempuran di Kurusetra itu. Ia hanya seorang yang, ketika terpojok, tak bisa membaca lengkap mantra yang mungkin akan menyelamatkannya dari panah Arjuna.

Saat terlalu sempit untuk memaki atau menangisi nasib. Tapi ia ingat: mantra yang lengkap itu tak diberikan kepadanya oleh gurunya, Rama Bargawa. Sang guru membatalkan memberinya versi yang penuh, karena ia dianggap telah berdusta: ketika ia datang berguru, Karna tak mengaku ia datang dari kasta ksatria—kasta yang bagi Rama Bargawa, yang berasal dari kaum brahmana dan punya dendam khusus kepada para ksatria, harus dimusnahkan.

”Tapi hamba memang bukan dari kasta itu,” Karna ingin memprotes ketika sang guru membongkar ”kepalsuan” dirinya. Tapi protes itu, seperti air matanya, harus ia tahan. Ia segera kembali ke asrama, mengemasi pakaian dan busur serta panahnya, lalu pergi seperti dikehendaki: seorang murid yang diusir.

Tidak, Rama Bargawa tak akan mempertimbangkannya kembali. Guru ini merasa tahu bagaimana dengan tepat meletakkan orang lain. Baginya tak ada yang tak terduga: manusia selalu ada dalam kategori tertentu. Kasta. Asal-usul. Agama. Kategori itu memberinya kekuatan, juga kekuasaan, untuk mengerti dan menguasai benda-benda dan apa saja yang di luar dirinya. Anak muda tampan dan cerdas yang dulu datang kepadanya untuk berguru itu harus seorang ksatria, apabila ia bukan brahmana. Identitas itu kukuh, dan harus ditegakkan. Bagi Rama Bargawa, tak ada yang tak dapat digolongkan.

Yang tak diketahui Bargawa ialah bahwa Karna justru tak dapat digolongkan. Kisah hidupnya kita kenal: seorang bayi hanyut di sungai, dalam sebuah kotak kulit, tak tahu dibuang dari mana dan oleh siapa. Orang hanya bisa menduga: kotak itu, dan selimut yang menutupi tubuh bayi itu, menunjukkan orok itu bukan berasal dari kaum kebanyakan. Tapi ia akhirnya harus bernasib lain. Seorang perempuan, istri seorang sais kereta, menemukannya, menyelamatkannya, dan akhirnya mengadopsinya. Karna tumbuh sebagai anak hingga remaja sebagai bagian dari kasta para sais. Tapi benarkah? Ia mencintai ayah-ibu angkatnya, tapi orang-orang selalu mengatakan bahwa ia anak dapat, ia tak sama dengan orang-orang di dusun itu. Ia berbeda.
Tapi siapa dia? Apa dia?

Dalam kisah Karna, Mahabharata menampilkan sebuah sisipan tragedi: seorang telah dengan sia-sia, meskipun heroik, mencoba melawan takdir yang tak adil. Di Kurusetra, di perang tanding dengan Arjuna itu, Karna tahu: ia kalah, ia mati, karena ia lahir dengan identitas yang tak bisa dirumuskan, tapi oleh bahasa Sang Guru, ia ditunjuk dengan pasti dan benci—dan mantra sakti itu bukan untuknya.

Di sini yang kejam bukan hanya nasib. Yang kejam adalah imperialisme pikiran ala Bargawa yang selalu ingin menaklukkan, bahkan mematikan, ”non-identitas”. Atau selalu ingin meringkus hal-hal yang tak bisa dikategorikan, dengan mengidentifikasikan unsur-unsur yang sama dalam benda-benda. Dalam penyusunan kategori, ”yang-lain” harus ditiadakan. ”Yang-lain” harus ditransformasikan ke dalam desainku yang satu. ”Yang-lain” harus diubah sebagai, atau ke dalam, sesuatu yang sama.

Dalam imperialisme pikiran itu, Rama Bargawa tak sendiri. ”Tiap kesadaran,” kata Hegel, ”memburu kematian yang-lain.” Kata-kata itu mungkin terlalu berlebihan, tapi dalam kenyataan, ”yang-lain”, ”yang-beda”, selamanya tak diakui, atau diringkus. Dan Karna mati. Ia adalah ”yang-lain”, yang di luar kasta dan kaum. Ia bukan ksatria, bukan pula brahmana atau sudra; ia bukan Kurawa, bukan pula Pandawa. Memang pernah, ia diangkat jadi adipati dalam wilayah kekuasaan Kurawa. Memang pernah, Kunti, ibu para Pandawa, mengaku bahwa Karna adalah anaknya yang dulu ia buang karena ia tak berani hidup dengan bayi yang ayahnya tak jelas. Tapi nasib sudah mencengkeram: ia, Karna, senantiasa berada di luar, sejak lahir sampai dengan mati.

Tapi Mahabharata tak menghukumnya. Para dalang tak melukiskan Karna sebagai tokoh yang sial. Dalam sebuah cerita yang membuka keragaman yang demikian besar, Karna bisa membuat kita lebih mengerti tentang manusia. Kita bisa mengerti bahwa orang lain tak pernah bisa kita rumuskan—kecuali dengan kebencian dan dendam. Orang lain adalah lain, berbeda, tapi ia tak mutlak berbeda. Sesuatu yang mutlak berbeda tak dapat disebut berbeda, karena tak dapat dibandingkan. Terapung-apung antara ”beda” dan ”sama” itulah yang membuat manusia bisa merasakan apa yang ditanggungkan liyan: orang lain yang juga bisa disebut ”sesama”.

Maka kita pun ikut berkabung untuk Karna.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 11 Oktober 2010~

No comments:

Post a Comment