Thursday, November 3, 2011

GOENAWAN MOHAMAD



A N A K



Hampir tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang dihilangkan. Orang-orang dewasa telah menguasai mereka. Di layar televisi, mereka dibikin menyanyi seperti para biduan komersial menyanyi, berkhotbah seperti para kiyai berkhotbah, bersaing seperti para pecundang dewasa bersaing.

Mereka dicetak. Model mereka bukan datang dari imajinasi sendiri. Mereka dikepung. Di rumah, di sekolah, di tempat ibadah, anak-anak harus mengikuti apa yang dipetuahkan. Si bocah mesti menuruti tatanan simbul-simbul yang dijadikan sendi kehidupan ibu-bapa.

Tentu, masih ada dunia fantasi mereka sendiri. Tapi inipun sebagian besar sudah dibentuk oleh selera orang-orang yang punya pengaruh: pemilik taman hiburan, entrepeneur baju dan sepatu, industri mainan, produser acara TV, pengelola jasa-jasa iklan, pengarah kindergarten dan sekolah dasar.

Lewat itu semua, tiap hari anak-anak sedang hendak dihilangkan.

Mungkin ini tanda-tanda dua masa yang cemas.

Yang pertama masa ketika kita cemas kalau-kalau sebuah generasi baru akan meninggalkan tradisi — sisa simptom masyarakat petani yang berubah. Dalam masyarakat agraris, ketika perubahan teknik dan nilai-nilai hampir tak terasa, orang bisa bertahan dengan ingatan dan masa lalu kolektif. Mereka gentar kepada yang baru, malah mungkin tak merasa butuh dengan yang baru.

Tapi masa ini juga masa ketika modal, persaingan, perbedaan, dan perubahan mendesak. Merasa dilecut, orang-orang tua dengan agak gugup dan tak sabar mempersiapkan anak mereka untuk masuk ke dunia yang baru – tapi yang sebenarnya bukan dunia anak-anak.

Di tengah kecemasan itu, anak hanya diberi, tapi dengan sikap mendua. Sang pemberi, si orang tua, merasa diri berkorban, dan dengan pengrobanan itu memposisikan diri lebih mulia.. Saya kira ambivalensi itulah yang tercermin dalam satu sajak Amir Hamzah yang ditulis di tahun 1930-an:
Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta
Sajak itu mencerminkan pandangan orang tua: si bocah dinilai lasak dan manja, dan orang tua dinyatakan penuh ikhlas melayani. Tapi tak ada peluang si anak untuk menampilkan sudut pandangnya. Amir Hamzah, seperti banyak sastrawan Indonesia lain, tak menghadirkan karya dengan perspektif anak-anak yang menggugat kearifan orang dewasa – satu hal yang kita temukan dalam Pangeran Kecil Antoine de Saint-Exupèry.

Maka bukan hal yang mengherankan anak-anak disisihkan tiap hari.

Tapi agaknya bukan hanya Indonesia yang menyaksikan ketersisihan itu. Di awal abad ke-20, ketika kapitalisme industri makin kukuh, Eropa merasakan hilangnya saat-saat anak –hilangnya suasana ketika kita bisa, (dalam kata-kata Tagore), ”duduk di atas debu, bermain dengan ranting patah sepanjang pagi”.

Kian lama kehidupan kian ditentukan oleh “hasil”, “guna”, “perhitungan”, “efisiensi”, dan aturan-aturan yang pakem. Orang ingin terus menerus menguasai ruang dan waktu. Maka, yang semula hidup dibuat beku. Cara pun jadi formua, alam jadi proyek, ibadah jadi ritual, yang disembah jadi berhala, kesenian jadi klise, dan benda yang akrab ke dalam hatiku cuma jadi benda yang tiap saat bisa dipertukarkan dengan benda lain. Mungkin inilah yang disebut Hegel sebagai “kehidupan yang bergerak sendiri tapi sebenarnya tersusun dari bentuk-bentuk yang mati,” ein sich in sich selbst bewegende Leben des Todes.

Pada saat itulah kalkulasi jadi paradigma. “Orang dewasa,” kata sang Pangeran Kecil dalam karya de Saint-Exupéry itu, “menyukai angka-angka”. Orang dewasa (sebuah kiasan untuk “orang modern” atau lebih tepat “borjuis”) hanya mampu melihat setangkai mawar sebagai eksemplar dari mawar yang lain. Dengan kata lain, “mawar” telah jadi konsep yang abstrak, bukan kehadiran yang singular dan tak terbandingkan.
Pangeran Kecil sebenarnya sebuah penyesalan. De Saint-Exupéry menyesali hilangnya sebuah dunia di mana imajinasi bebas jadi paradigma.

Imajinasi bebas itu, bagi para penyair, ditauldankan oleh keasyikan anak-anak. Sebelum Tagore dan de Saint-Exupéry, Rilke sudah mengemukakan hal itu, di tahun 1901: hanya anak, bukan orang dewasa, yang dapat menemukan keindahan “dalam sekuntum bunga, dalam sekerat batu, dalam kulit kayu, atau di sehelai daun birka”. Orang dewasa tak mungkin merayakan benda-benda sepele itu. Mereka, tulis sang penyair, hanya “berkisar dalam urusan dan kecemasan, seraya menyiksa diri sendiri dengan segala detail.”

Tapi Rilke juga menyadari: pada gilirannya anak-anak berubah. Kita telah mengubah mereka. Kita telah menggantikan pandang mereka yang intuitif dengan pandang yang rasional. Mereka kita dorong memandang bunga, batu, daun sebagai benda mati yang bisa dimanfaatkan. Maka hadirlah kebekuan. Rilke mengungkapkannya dalam Elegi ke-8 dari seri Elegi Duino yang terkenal itu:
… sebab telah kita balikkan arah anak-anak memandang
Hingga ia menatap ke belakang, ke arah apa yang mapan
Bukan ke sana yang terbuka, yang tersembunyi
Dalam tatapan hewan: bebas dari kematian.
Dan hampir tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang dihilangkan.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 26 Juli 2010~
 

No comments:

Post a Comment