Saturday, October 15, 2011

MITRA MARKETING


Siapapun tahu, kini banyak sistem dan birokrasi di berbagai perusahaan marketing adalah biang keladi fenomena "idea inertia" yang membunuh kreatifitas dan pemikiran serta menghambat orang-orangnya bekerja dengan passion. Urgensi kantor, budaya absensi, meeting yang menjemukan, dan berbagai bentuk formalitas lain kini kembali dipertanyakan relevansinya berkait pertumbuhan added value di perusahaan. Ternyata berbagai formalitas dan existing perusahaan, terutama di perusahaan berbasis marketing, sudah tak memberi pengaruh mendorong pekerjanya menggapai hasil gemilang.
        Ijinkan saya menggambarkan apa yang terjadi dengan beberapa perusahaan otomotif sepeda motor di Bandar Lampung. Saya menyaksikan betapa perusahaan-perusahaan di bisnis ini mati-matian mengcover pasar. Masing-masing berlomba merekrut lusinan sales. Pekerja-pekerja lapangan ini diberi seragam dan dikontrol se-existing mungkin dengan berbagai aturan dan disiplin kantor. Trkadang sales-sales ini dikordinir untuk bekerja fulltime. Terkadang mereka didogma untuk terus bekerja hingga larut malam dan pada hari libur. Namun banyak perusahaan tidak sadar apa yang mereka lakukan hanya menjalankan "business as usual" yang hasilnya tak pernah jauh berbeda dari bulan ke bulan. Banyak perusahaan di bisnis ini hanya menekankan pada aspek kerja keras, namun abai menggiatkan brainstorming yang dapat menambah kreatifitas, passion, dan skill yang dapat diberdayakan dari diri setiap individunya. Setelah waktu tertentu banyak sales mengalami burn out atau kelelahan tanpa makna. Inilah sebab kenapa kemudian individu-individu di perusahaan memilih happy-happy saja menjalankan status quo dengan persepsi dan terjemahan yang seragam terhadap sasaran di pasar dan cara mencapainya. Banyak individu di perusahaan sudah merasa cukup dimanja oleh konsep perang harga. Tak dapat dipungkiri, adanya progress di banyak perusahaan dalam bisnis ini bukanlah didorong oleh profesionalitas dan integritas kerja individu-individu di dalamnya, melainkan dipacu oleh konsep perang harga.
        Dalam konsep perang harga tak ada pencapaian yang bisa dibilang luarbiasa. Dalam konsep perang harga nenek-nenek berkonde pun bisa jualan motor.
          Jadi apa fungsi para manejer cabang dan para supervisor di perusahaan jika setiap added value dan progress terjadi semata-mata karena perang harga? Mereka tidak berguna. Mereka hanya menghabis-habiskan anggaran perusahaan, enjoy dengan gaji besar, namun kemampuannya nol besar. Namun sayangnya para owner dan CEO di bisnis ini sendiri pun masih belum pede berpaling dari konsep perang harga.
           
Jika demikian, jika konsep perang harga memang menjadi keniscayaan, kenapa perusahaan-perusahaan di bisnis ini tidak terbuka saja untuk melibatkan langsung lapisan masyarakat di pasar dan membuang jauh-jauh birokrasi, formalitas, dan existing yang tidak berperan apa-apa itu? Dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang direkrut dan dimobilisasi secara terbuka, menjadikan mereka sebagai MITRA MARKETING, otomatis seluruh pasar akan tercover. Di sini tidak berarti saya mengecilkan peran sales. Justru saya ingin mengajak para sales untuk bergabung bersama dalam mengelola dan menggaungkan konsep MITRA MARKETING ini. Inovasi yang menggebrak semacam ini sudah pasti lebih menjanjikan, bukan hanya untuk sales dan perusahaan, namun untuk masyarakat juga.
          Saya tahu bahwa kebanyakan sales sepeda motor sebenarnya tidak happy menjalankan business as usual di perusahaan mereka. Sasaran-sasaran mereka di pasar semakin kabur oleh implikasi perang harga, banyak yang sadar bahwa di profesi ini sekarang upaya dan kerja keras tidak lagi menjamin sukses. Belum ditambah lagi banyaknya formalitas dan birokrasi di kantor membuat mereka menjadi sulit mengembangkan kreatifitas. Alih-alih ingin mengejar sukses dan prestasi lewat kerja keras dan disiplin kaku, para sales justru "bonyok" di lapangan akibat pemborosan energi, waktu, dan cost operasional yang harus ditanggung sendiri. Yang enak siapa? ya atasannya. Para sales "bonyok" di lapangan karena kebanyakan atasan-atasan mereka adalah bos-bos tanpa visi dan tidak tahu harus berbuat apa untuk membenahi prestasi bawahannya. Bos-bos itu hanya tahu memberi perintah agar sales-salesnya rajin bagi-bagi brosur, rajin kanvasing, dan rajin berhubungan dengan makelar. hanya konsep-konsep dasar itu yang mereka bolak-balik di meja meeting. Dulu konsep itu memang masih relevan dan bertaji menganggit prestasi, namun sekarang pasar terus berubah, tak mau diam, dan sulit diprediksi. Tak ada lagi hasil hebat bisa digapai hanya dengan mengandalkan selembar brosur. Berton-ton brosur yang disebar kadang-kadang tidak lagi diperdulikan orang. Pasare ingin merespon sesuatu yang berbeda, menarik, apik, dan cerdas. Apakah membagi-bagi brosur yang bentuk dan modelnya begitu-begitu saja berarti akan lebih produktif dan mencapai sasaran? Penelitian saya akhir-akhir ini justru mengindikasikan sebaliknya. Hanya mengandalkan brosur semata, sales di lapangan seperti pesakitan yang berlari kesana-kemari tanpa tujuan dan makna.

Kecenderungan orang kekinian yang lebih menyukai bekerja mandiri, dilakukan dari rumah, tidak mau terikat, ternyata lebih menunjukkan dampak positif dari segi kreatifitas, penghasilan, waktu, dan kesehatan. Di era milenium ini segala sesuatunya jadi lebih terasa mudah berkat teknologi telpon dan komputer. Ketika teori purba mengajarkan kita mengeksploitasi pasar dengan berdarah-darah dengan resiko menyedot polusi karbon setiap hari, teknologi memungkinkan kita untuk melakukan sebaliknya. Hanya dengan memencet telpon dan komputer, semua bisa dilakukan dari rumah. Ketika teori purba mendogma kita mengorbankan banyak waktu berkumpul kita dengan keluarga di rumah demi pekerjaan, teknologi memungkinkan kita untuk meninggalkan dogma tak manusiawi itu. hanya dengan memencet telpon dan komputer kita bisa menciptakan pekerfjaan sendiri di rumah. Dari segi kesehatan, efisiensi waktu, dan penghematan penghasilan, ini jelas lebih menguntungkan. Konsep bekerja di rumah bahkan bisa dijalankan sambil memomong anak dan memasak.
          Inilah yang menginspirasi saya untuk mendesain konsep MITRA MARKETING dalam bisnis penjualan motor. Dari segi sosial, konsep ini seluas-luasnya memberdayakan masyarakat dan memberi peluang meningkatkan income mereka, siapapun tak pandang bulu. Konsep MITRA MARKETING meniscayakan mekanisme penjualan berjalan "dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat" sehingga bentuk-bentuk formalitas dan existing yang banyak memakan biaya di perusahaan sudah tak dibutuhkan lagi.
          Ke depannya, dealer-dealer sudah tak membutuhkan lagi kehadiran seorang Area Manejer, Manejer Cabang, atau Supervisor, yang hanya menyedot cost. Tugas dealer hanya menyediakan unit barang dan mempekerjakan tenaga-tenaga administrasi, keuangan, kurir surat, petugas Deliveri Inspection, dan petugas pengiriman barang. Dan sales? Biarkan mereka ikut melebur diri mengelola pengembangan MITRA MARKETING. Toh, dengan tetap bertahan sebagai sales, penghasilan mereka masih tetap tak memadai. Malah nombok! Kerja kok nombok, dasar katro!

No comments:

Post a Comment