Saturday, October 15, 2011

CATATAN: INDRA GUNAWAN

Setelah perjalanannya yang tak bisa dibilang singkat bersama YAMAHA, sang "maestro" bernama Indra Gunawan itu akhirnya pergi damai menghadap Penciptanya. Ia saya sebut maestro karena dalam empat tahun belakangan serta-merta perannya telah membentuk anyaman penting  di tengah-tengah kita semua yang bergulat di kota ini sebagai marketing YAMAHA. Suka atau tidak suka, namanya ada di tengah setiap pergulatan kita, dan kita selalu menempatkan namanya sebagai episentrum, dan tanpa Indra nilai-nilai profetik marketing mungkin tak akan pernah terdobrak. Tanpa Indra sebagai seorang episentrum perang, gereget pasar YAMAHA di kota ini mungkin sunyi-sunyi saja dan berjalan eskapis.

Sosok Indra memicu dan mengangkat produktifitas YAMAHA di kota ini, sebagaimana kita tahu, bukanlah sekedar bermodal koar-koar atau silat lidah ala priyayi. Sosok priyayi adalah seorang yang duduk di kursi, kakinya tidak menyentuh tanah, dan kepalanya dilindungi dengan payung. Indra bukan itu. Setiap perangnya, perjuangannya, berkoinsidensi dengan pengorbanan dan realitas yang berlangsung di lapangan. Marketing tidak dilihatnya secara hitam-putih, namun totalitas pencapaian. Will power  inilah yang selalu menempatkan namanya sebagai episentrum, terlepas itu kontradiktif atau tidak, terlepas itu relevan atau tidak. Terlepas Indra dituduh melipat-lipat tatanan, menjungkirkan hukum pasar, menubruk tata psiko-etik marketing, YAMAHA harus mengakui jasanya yang tidak kecil di kota ini sebagai pendobrak pasar. Tatanan ini dan itu, hukum ini dan itu, hanyalah politik lamis dan skenario para feodal agar bisnis regionalnya tidak ambruk. Indra tidak mau menjadi marketing tertindas atau marketing yang terkooptasi oleh skenario elitisme semacam itu. Ia merasa hidup di tanah nenek moyangnya yang merdeka, maka ia anti untuk tunduk.

Selama mengenal Indra Gunawan, dengan komunikasi kami yang sedikit-sedikit, saya memang banyak berbeda pendapat dengannya soal market creation. Debat terakhir kami kira-kira dua minggu yang lalu, soal kesepakatan "0 - 200"  yang harus dipatuhi oleh semuanya untuk mencegah terjadinya ancaman potensi meletusnya perang harga yang gawat. Indra hanya mencibir sambil mengingatkan saya, "Kalau kesepakatan 0 - 200  itu memang serius, kenapa daftar harga mereka masih dibalut dengan hadiah televisi 14 inch?" Saya tidak tahu siapa yang ia maksud sebagai "mereka" itu.

Tetapi begitulah Indra, yang selalu ia pegang adalah realitas pasar dan realitas N&W personal. Ia tak pernah percaya kepada mimpi awang-awung yang dianggapnya hanya sampah ego penguasa dan kepicikan mereka berbisnis. Suara dan gerakannya selama ini saya maknai sebagai kristalisasi gugatan terhadap elite yang mati rasa dalam mengapresiasi peran marketing sebagai ujung tombak pemasaran. Indra tidak terlalu percaya dengan visi membangun orientasi marketing baru untuk mengubah watak pasar dan untuk menjaga pasar dari potensi perang harga tanpa sebelumnya didahului dengan perbaikan sistem penghasilan untuk para marketing. Ia menganggap visi itu hanya kerangka orientasi elite yang justru berpotensi semakin memperlebar jurang kaya dan miskin, memperlebar jurang antara majikan dan kawula. Ia pernah menggugat lewat telpon, bahwa secara real-fungsional  para elite sebenarnya tak mempunyai kontribusi apa-apa kecuali mendikte dan mempolitisasi, dan sebagian mereka tak ubah pengangguran yang digaji besar dan menerima insentif besar. Sementara nilai kontribusi yang real  terkristalisasi dari keringat para marketing justru acap terdistorsi, dikikis, dikebiri. Para marketing ibarat batu yang mudah dibentur-benturkan, ibarat kue lapis yang mudah diiris-iris.

Kabar di Senin siang itu benar-benar tak bisa saya percaya. Banyak cerita yang tak bisa luput dari ingatan, begitu mendengar Indra pergi. Siang itu saya tak banyak bersuara saat melayat jenasahnya. Yang paling cepat saya ingat tentang Indra, bagaimana dulu kami berempat, bersama Christian Sutanto dan Yusuf Saleh, pernah saling kejar-mengejar mendrive penjualan di kota ini. Indra adalah sosok yang tak mau menyerah dan sulit kalah. Itu sebab ia terus bertahan sebagai episentrum, dimana yang lain terus berminat dan tergugah untuk melampaui pencapaiannya. Namun sayang, kreatifitas dan totalitas panjang yang selalu ia perjuangkan, jarang terkalahkan, tak pernah bisa membawanya kemana-mana, tidak membawanya mendaki tangga karier, karena sepertinya tujuan dan antusias Indra memang tidak ke arah itu. Indra sepertinya lebih fanatik bekerja dengan isme wilayah batin yang merdeka, sebagaimana prinsipnya yang tak terlalu percaya pada mimpi awang-awung. Sekarang pun saya yakin, batin merdeka itu yang dibawanya menuju Kecerahan Sang Pencipta.

Selamat jalan, Kawan!     (RD) (03 Mei 2011)




No comments:

Post a Comment